Mempermainkan Angka untuk Mendukung Agenda Perang
Jumlah dan penyebab kematian orang Suriah sangat bervariasi, tergantung pada daftar mana yang dilihat. Banyak pembicara yang hanya menggunakan satu sumber utama yakni Rami Abdulrahman orang Suriah yang tinggal di Inggris, bagian dari apa yang disebut sebagai Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) (dirilis dari rumahnya dan berdasarkan informasi yang sebagian besar diperoleh dari “aktivis” yang tidak disebutkan namanya). Abdulrahman belum pernah kembali ke Suriah selama 15 tahun terakhir, dan seperti yang ditekankan Tony Cartalucci, ia “merupakan bagian dari apa yang dianggap sebagai ‘oposisi Suriah’ dan menghendaki Presiden Suriah Bashar Al Assad disingkirkan.” Selanjutnya, Cartalucci menambahkan, “Operasi yang dilancarkan Abdul Rahman didanai Uni Eropa dan satu ‘negara Eropa’ yang enggan ia indentifikasi.” Maka, ia bukan sumber yang imparsial.
Pada bulan Februari 2012, dalam tulisan “Mempertanyakan Daftar Korban Suriah” (“Questioning the Syrian Casualty List“), analis politik Sharmine Narwani memaparkan kesulitan logistik dalam mengumpulkan jumlah kematian, antara lain:
- Daftar korban yang berbeda dan kesulitan mengkonfirmasi akurasi daftar tersebut.
- Kurang informasi tentang: berapa banyak kematian yang diverifikasi, oleh siapa, dan atas dasar motivasi apa.
- Kurang informasi tentang kematian: penduduk sipil, penduduk sipil yang pro atau anti pemerintah, kelompok bersenjata, pasukan keamanan Suriah?
Ia mendapati bahwa salah satu daftar korban awal juga mencakup 29 pengungsi Palestina yang “dibunuh oleh serangan Israel di dataran tinggi Golan pada tanggal 15 Mei 2011 dan 5 Juni 2011 ketika mereka yang melakukan protes berkumpul di garis gencaran senjata Suriah dengan Israel.”
Jay Tharappel membahas dua kelompok utama lain yang mengutip pernyataan tentang korban di Suriah, yakni Jaringan Suriah untuk Hak Asasi Manusia (Syrian Network for Human Rights (SNHR)) dan Pusat Dokumentasi Pelanggaran (Violations Documentation Center -VDC).
Ia mencatat bahwa tidak satupun dari kelompok ini “yang ‘independen’, dalam arti mereka berkerja hanya untuk menyampaikan fakta-fakta, mereka sangat terbuka bahwa agenda mereka adalah untuk menggulingkan pemerintah Suriah…dan untuk menerapkan zona larangan terbang atas nama ‘pemberontak moderat’, siapapun mereka.”
Lebih jauh lagi, menurut Tharappel, “SNHR tidak memberikan bukti apapun untuk memperkuat gugatan mereka terkait jumlah orang yang tewas dibunuh pasukan bersenjata. Mereka mengklaim telah ‘mendokumentasikan (para korban) dengan mencatat nama lengkap, tempat, dan tanggal kematian,’ namun tidak satupun yang dapat ditemukan di website mereka.”
Sementara itu, terkait VDC, ia menuliskan, “ada alasan-alasan yang baik untuk percaya bahwa VDC mencatat pemberontak yang tewas sebagai penduduk sipil, serta salah mencatat pasukan pemerintah yang tewas sebagai prajurit FSA.”
Satu contoh yang ia kutip adalah pencatatan tewasnya militan Jaysh al-Islam, ‘Hisham Al-Sheikh Bakri’, yang dibunuh oleh SAA di Douma (daerah yang diduduki oleh banyak teroris Jaysh alIslam), pada bulan Februari 2015, diberitakan al-Masdar News. VDC juga mencatat ‘Hisham Abd alAziz al-Shaikh Bakri’, “namun orang ini dicatat sebagai penduduk sipil laki-laki dewasa, bukan sebagai prajurit Jaish Al-Islam,” Tharappel menuliskan.
Bahkan reporter perang Nir Rosen, menurut Tharappel, pada tahun 2012 menulis:
Setiap hari, kelompok oposisi memberikan kita daftar korban tewas, biasanya tanpa penjelasan apapun tentang penyebab kematian. Banyak di antara mereka yang tewas ternyata adalah prajurit oposisi yang tewas, namun penyebab kematian mereka disembunyikan dan mereka dilaporkan sebagai penduduk sipil yang tidak bersalah yang dibunuh oleh pasukan keamanan, seolah-olah mereka hanya melakukan aksi protes atau duduk-duduk di rumah.
Bisa dikatakan ada banyak hal yang tidak akurat dan dilakukan dengan sengaja dalam daftar kelompok-kelompok ini. Faktanya, kelompok-kelompok yang telah disebutkan sebelumnya gagal untuk melihat apa yang dilakukan komentator seperti Paul Larudee:
PBB memperkirakan ada 220.000 orang tewas hingga saat ini dalam peperangan Suriah. Namun hampir setengah merupakan pasukan tentara Suriah atau sekutu prajurit milisi lokal, dan dua pertiga merupakan pejuang jika kita ikut menghitung prajurit oposisi. Bagaimanapun, perbandingan korban penduduk sipil terhadap korban militer adalah sekitar 1:2, mengingat oposisi juga mengakibatkan korban sipil. Bandingkan dengan perkiraan perbandingan 3:1 dalam perang AS di Irak dan 4:1 dalam 5 serangan Israel terhadap Gaza pada tahun 2008-2009. (Tingkat korban Palestina terhadap Israel sangat amat tinggi, yakni 100:1).
“Kelompok Kiri” yang senantiasa Menghidupkan Mitos
Figur publik seperti Owen Jones, dan situs pro-Palestina seperti Middle East Eye dan Electronic Intifada, memiliki pengikut yang mendukung solidaritas yang lebih bisa diterima (dan aman) bagi Palestina, namun secara rutin melontarkan retorika melawan Suriah, yang kemudian digaungkan oleh pengikut mereka yang berniat baik namun memiliki informasi yang salah.
Banyak propaganda gerakan ‘kiri’ anti-Suriah sama beracunnya dengan media korporat. Secara rutin, dalam pertemuan-pertemuan yang menyerupai kegiatan anti-perang/anti-imperialisme, narasi antiSuriah sangat dominan.
Sebagai contoh, dalam Forum Sosial Dunia (World Social Forum) di Tunisia pada bulan Maret 2015, beberapa panel spesifik Suriah menyampaikan dongeng ‘para pelaku revolusi’ di Suriah, salah satu panel menuduh: “Protes-protes di Suriah berlangsung damai hingga enam-tujuh bulan; 6-7000 orang yang tidak bersenjata terbunuh; di saat itulah para ‘pemberontak’ mulai mengangkat senjata.”
Namun, sejak awal diketahui bahwa di Dara’a dan di seluruh Suriah, pelaku protes bersenjata menembaki dan membunuh pasukan keamanan dan penduduk sipil. Tulisan Tim Anderson “Suriah: bagaimana kekerasan bermula di Dara’a” (“Syria: how the violence began, in Daraa”) menunjukkan bahwa polisi dibunuh oleh penembak jitu di tengah protes 17/18 Maret; tentara Suriah baru dimobilisasi ke Dara’a setelah pembunuhan polisi. Di samping itu, senjata simpanan para pelaku protes ditemukan di masjid al-Omari di Dara’a.
Tulisan Prem Shankar Jha, “Siapa yang MelepaskanTembakan Pertama?” (“Who Fired The First Shot?”) menggambarkan pembantaian 20 prajurit Suriah di luar Dara’a sebulan kemudian, “dengan memotong leher mereka, dan memenggal kepala salah satu prajurit.” Praktik pemberontak yang sangat ‘moderat’.
Dalam tulisan “Suriah: Pembantaian yang Disembunyikan” (“Syria: The Hidden Massacre”), Sharmine Narwani menginvestigasi pembantaian awal terhadap tentara Suriah, ia mencatat banyak pembunuhan terjadi setelah pemerintah Suriah meniadakan pengadilan keamanan negara, mencabut status darurat, memberikan pengampunan umum, dan mengakui hak untuk melakukan protes damai.
Pembunuhan petani Banyas, Nidal Janoud pada 10 April 2011 adalah salah satu pembunuhan penduduk sipil Suriah yang mengerikan dan dilakukan oleh apa yang disebut sebagai ‘pelaku protes tanpa senjata”. Dengan wajah yang terluka parah, dalam keadaan dimutilasi dan berdarah, Janoud diarak oleh gerombolan bersenjata, kemudian memukulinya hingga tewas.
Father Frans Van der Ludt—pendeta Belanda yang sudah tinggal di Suriah selama hampir 5 dekade sebelum dibunuh tanggal 7 April 2014 oleh militant yang ingin mengambil alih kota tua Homs – menulis (berulang kali) tentang “demonstran bersenjata” yang ia lihat pada hari-hari awal protes yang “mulai menembaki polisi terlebih dahulu”.
Rekaman video bulan Mei 2011 oleh jurnalis Al Jazeera yang telah mengundurkan diri, Ali Hashem, menunjukkan pejuang memasuki Suriah dari Lebanon, memanggul senjata dan granat jenis RPGs (Hashem menyatakan ia telah melihat pejuang mulai memasuki wilayah ini sejak April). Al Jazeera menolak untuk menayangkan rekaman Mei ini, mereka mengatakan kepada Hashem untuk ‘melupakan orang-orang bersenjata ini.’ (Lihat: tulisan Sharmine Narwani “Video Mengejutkan Mengubah Urutan Peristiwa di Suriah/ “Surprise Video Changes Syria “Timeline””] Jadi, benarkah pelaku protes tidak bersenjata?