Kartu Sektarian: Slogan dan Pembantaian

Sektarianisme yang kita saksikan di Suriah hari ini sebagian besar dilancarkan oleh rezim Wahabi dan Ikhwanul Muslimin (IM) Saudi Arabia, Qatar, dan Turki, dengan dukungan dan restu NATO. Susunan lintas-sekte Negara Suriah dan tentara Suriah menunjukkan sekularisme Suriah yang disengaja, serta sikap orang Suriah pada umumnya yang menolak untuk mengidentifikasi diri berdasarkan aspek sektarian.

Di sisi lain, sejak awal, pelaku protes Barat yang ‘tanpa kekerasan’ mendengungkan slogan sektarian, misalnya “Kristen ke Beirut, Alawi ke kuburan.” Slogan popular lainnya termasuk meminta pembasmian Alawi; menyampaikan sumpah setia kepada ekstrimis Suriah yang tinggal di Saudi, Sheikh Adnan Arour, dan kepada ekstrimis IM yang mendukung Sheikh asal Mesir, Yusuf alQardawi.

Qaradawi yang tinggal di Qatar mengadvokasi pembunuhan terhadap penduduk sipil Suriah: “Boleh saja membunuh sepertiga penduduk Suriah jika mengarah pada penyingkiran rezim yang sesat.” Penghasut Arour berkata tentang kaum Alawi Suriah: “Dalam nama Allah, kita akan mencincang mereka dalam penggiling daging dan memberi makan daging mereka kepada anjing.”

Teroris aliansi NATO telah melakukan serangkaian pembantaian terhadap penduduk sipil dan prajurit Suriah, banyak di antaranya dimaksudkan untuk menebar bibit-bibit sektarian, misalnya:

  • Pada bulan Juni 2011 di Jisr al Shugour, Idlib, pembantaian hingga 120 orang (tentara dan penduduk sipil) oleh sekitar 500-600 teroris FSA; namun SAA yang disalahkan karena dianggap membunuh ‘desertir militer’. [lihat artikel Prem Shankar Jha: “Suriah – Siapa yang Melepaskan Tembakan Pertama/“Syria – Who fired the first shot?”]
  • Di Houla, pembantaian lebih dari 100 penduduk sipil pada tanggal 25 Mei 2012, baru 2 hari kemudian PBB mengklaim – tanpa didahului investigasi – kejadian tersebut dilakukan oleh Tentara Suriah. [Lihat bantahan Tim Anderson, “Melihat Kembali Pembantaian Houla: ‘Kebenaran Resmi’ dalam Perang Kotor di Suriah/“The Houla Massacre Revisited: “Official Truth” in the Dirty War on Syria”. Dalam artikel yang sama, Anderson juga mengulas pembantaian pada bulan Agustus 2012 di Daraya yang menewaskan 245 orang dan pembantaian Aqrab yang menewaskan hingga 150 orang.
  • Pembantaian Agustus 2013 yang menewaskan setidaknya 220 penduduk sipil (termasuk jabang bayi, banyak anak-anak, perempuan, orang-orang lanjut usia) dan menculik setidaknya 100 orang (sebagian besar perempuan dan anak) di desa-desa daerah pedesaan Latakia.
  • Pembantaian bulan Desember 2013 terhadap setidaknya 80 warga (banyak yang “dibantai seperti domba”, dipancung, dibakar di oven roti) di desa industri Adra.
  • Serangan mortar terus menerus terhadap wilayah sipil dan sekolah; bom mobil yang dilakukan berulang kali oleh teroris terhadap wilayah sipil dan sekolah. (lihat: “Terorisme yang Kita Bantu di Suriah: Catatan Bagaimana Mortar Digunakan terhadap Penduduk Sipil”/“The Terrorism We Support in Syria: A First-hand Account of the Use of Mortars against Civilians”]

Namun, meski banyak upaya dari luar untuk menanam sektarianisme di Suriah, sebagian besar penduduk Suriah menolaknya. Ketika Profesor Tim Anderson kembali berkunjung ke Suriah pada bulan Juli 2015, ia mencatat Latakia “telah berkembang dari 1,3 juta menjadi 3 juta orang – mereka datang dari berbagai penjuru, tidak hanya Aleppo melainkan juga Hama, Deir eZorr, dan daerah lainnya.” Ia juga mengunjungi Sweida, daerah mayoritas Druze, yang telah mengakomodasi “135,000 keluarga, sebagian besar dari Daraa – lainnya berasal dari wilayah lain”. Mayoritas keluarga Sunni.

“Perang Saudara” Suriah?!

Mengingat bahwa:

  • Setidaknya 80.000 teroris yang berasal dari lebih dari 80 negara di dunia turut berperang sebagai tentara bayaran di Suriah;
  • Israel telah berulang kali membom Suriah (contohnya: ini, ini, dan ini)
  • Israel merawat teroris al-Qaeda di rumah sakit mereka dan memungkinkan mereka keluar masuk Suriah, serta mempersenjatai mereka – bahkan media Israel telah melaporkan bahwa Israel menyediakan bantuan bagi teroris al-Qaeda; bahkan PBB telah melaporkan prajurit Israel berinteraksi dengan Jebhat al-Nusra di wilayah Suriah yang telah diduduki, yakni di Golan;
  • Turki tidak hanya mempersenjatai dan memasukkan teroris ke dalam Suriah tetapi juga berulang kali bersama-sama menyerang Suriah
  • Seluruh krisis ini telah dirancang oleh institusi think tank yang imperialis bertahun-tahun sebelum peristiwa 2011

…“Perang Saudara” adalah istilah yang sangat tidak tepat untuk menggambarkan perang di Suriah.

Pada tahun 2002, wakil menteri luar negeri John Bolton menambahkan Suriah (dan Libya, serta Kuba) ke dalam daftar “negara bandit” dalam konsep “Poros Setan” George W Bush,… artinya Suriah berada dalam daftar negara tujuan untuk yang memerlukan demokrasi (dengan kata lain perlu dihancurkan) saat itu.

Anthony Cartalucci dalam “AS Merencanakan Bencana Penduduk Sipil Suriah sejak 2007” (“US Planned Syrian Civilian Catastrophe Since 2007”) memaparkan sejumlah pernyataan penting dan peristiwa-peristiwa tidak hanya terkait perang Suriah tetapi juga peristiwa yang bisa keliru dianggap sebagai “Arab Spring”, antara lain:

  • Pernyataan Jendral Wesley Clark yang mengungkap rencana AS untuk menghancurkan pemerintah Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Somalia, Sudan, dan Iran.
  • Tulisan Seymour Hersh di tahun 2007 “The Redirection” tentang bagaimana NATO dan para sekutu mempersenjatai dan melatih ekstrimis setarian untuk menciptakan perpecahan sektarian di Libanon, Suriah, dan lainnya.

Laporan Institusi Brookings tahun 2009, “Which Path to Persia?”, mengenai rencana untuk melemahkan Suriah dan Lemabon, kemudian menyerang Iran.

Lebih lanjut, Stephen Gowans melaporkan:

  • Pendanaan AS untuk oposisi Suriah mulai mengalir sejak pemerintahan Bush pada tahun 2005.
  • Sejak didirikan pada bulan Oktober 2011, Syrian National Council telah menerima $20,4 juta dari Libya, $15 juta dari Qatar, $5 juta dari Uni Emirat Arab.

Mantan Menteri Luar Negeri Perancis, Roland Dumas, dalam sebuah wawancara TV pada bulan Juni 2013 menuturkan tentang pertemuan (dua tahun sebelumnya) dengan otoritas Inggris yang mengakui bahwa:

Inggris sedang merencanakan invasi pemberontak ke dalam Suriah. Operasi ini dimulai sejak lama; dipersiapkan, dibayangkan sebelumnya, dan direncanakan.

Bukti yang lebih baru tentang plot aliansi NATO melawan Suriah antara lain sebuah artikel NY Times yang mencatat dukungan CIA untuk para ‘pemberontak’ di Suriah, termasuk menyediakan dan menyalurkan “senapan otomatis, granat roket, amunisi, senjata antitank” dari Turki ke Suriah. Artikel ini menyebutkan bahwa:

Sejumlah kecil anggota CIA melakukan operasi rahasia di selatan Turki, membantu para sekutu menentukan pasukan oposisi Suriah mana yang akan menerima senjata di seberang perbatasan untuk memerangi pemerintah Suriah, menurut staf pemerintah Amerika dan inteligen Arab.

Pada bulan Oktober 2014, Serena Shim, jurnalis AS yang bekerja untuk Press TV, terbunuh dalam sebuah kecelakaan mobil yang sangat mencurigakan di dekat perbatasan Turki-Suriah tidak lama setelah melaporkan bahwa ia diancam pihak intelijen Turki. Shim sebelumnya melaporkan bahwa ia memiliki foto “militant melintas masuk melalui perbatasan Turki…Saya punya gambar mereka di dalam truk World Food Organization.”

Pernyataan serupa telah disampaikan. Sebagai contoh, kesaksian pengemudi Turki yang menjelaskan, “bagaimana kendaraan didampingi agen MIT selama perjalanan, yang bermula di kamp Atme di Suriah dan berakhir di perbatasan Akçakale di Provinsi Şanlıurfa, daerah di mana militant dan kargo akan kembali memasuki Suriah.”

Pada bulan Juli 2015, Press TV melaporkan bahwa teroris yang terperangkap di Aleppo mengaku telah menerima pelatihan oleh personel AS dan negara-negara Teluk di Turki.

Saat saya menulis ini, “dalam sebuah laporan bulan November 2014”, Sekretaris Jenderal menyebutkan adanya al-Nusra dan teroris lain dalam daerah gencatan senjata sedang ‘menurunkan senjata dari truk’ serta ‘kendaraan dengan senjata anti-pesawat terbang’ dan adanya interaksi Israel dengan kelompok bersenjata.”

Mempertimbangkan semua hal ini, serta rencana Amerika untuk melatih hingga lebih dari 15.000 ‘pemberontak’ dalam tiga tahun berikutnya, merupakan hal yang melebihi konyol jika istilah ‘perang saudara’ yang sangat tidak sesuai terus digunakan.