DA’ESH dan Kelompok Moderat

Pada bulan Juni 2015, Anthony Cartalucci menulis tentang sebuah dokumen Departemen Pertahanan tahun 2012 yang baru dirilis. Dokumen ini mengakui bahwa AS telah melihat tanda-tanda ISIS hendak mendirikan sebuah “Kekuasaan salafi di timur Suriah (Hasaka dan Der Zor), dan ini merupakan hal yang diinginkan pihak-pihak berkuasa yang mendukung oposisi…”

Ia memaparkan arus senjata dan teroris dari Libya ke Suriah melalui Turki, “dikoordinir oleh staf Departemen Negara AS dan agen intelijen di Benghazi – sebuah sarang teroris selama beberapa dekade,” serta senjata dari Eropa Timur.

Kelompok ‘moderat’ awal termasuk Farouq Brigades (dari kelompok yang disebut “FSA”), teroris pemakan organ tubuh “Abu Sakkar” dan berbagai militan “FSA” dan al-Nusra yang turut melakukan pembantaian-pembantaian yang telah disebutkan di atas.

Kelompok “Hak Asasi Manusia” Menyuarakan Retorika Perang

Human Rights Watch, Amnesty International, Avaaz, Moveon, dan kelompok-kelompok kecil yang baru dibentuk seperti The Syria Campaign, The White Helmets, dan Action Group for Palestinians in Syria, sedikit banyak terlibat meski tidak secara langsung dalam propaganda perang dan bahkan meminta adanya zona larangan terbang (seperti Libya 2.0) dalam pengeboman Suriah.

Terkait HRW, seorang analis geopolitik Eric Draitser memaparkan:

Human Rights Watch jelas merupakan perpanjangan tangan kebijakan luar negeri AS. Dalam banyak hal, organisasi ini merupakan tangan ‘kekuatan halus’ proyeksi kekuatan AS, sebuah cara untuk mendelegitimasi, mengecam, dan mendestabilisasi negara-negara yang tidak turut dalam permainan AS…

Para pengguna Twitter yang waspada telah menegur Ken Roth dari HRW yang memasang sebuah foto kehancuran di Aleppo akibat bom gentong (barrel bomb) tetapi sebenarnya adalah daerah Ayn al-Arab (Kobani) akibat serangan Da’esh dan bom koalisi AS. Dalam kasus lain, Roth mengunggah video hancurnya permukiman al-Shuja’iyya di Gaza, yang hancur akibat bom Israel tahun 2014, dan ia sebutkan sebagai Aleppo.

Sekali lagi, ia ditegur dan terpaksa menarik konten tersebut. Setelah ditarik, ia memasang satu gambar kehancurkan lagi, kali ini ia mengklaim gambar itu merupakan akibat bom barel Assad, namun menurut keterangan pemerhati foto, itu adalah Hamidiyeh, Aleppo, di mana “prajurit lokal yang mendukung pasukan pemerintah Suriah berusaha membela distrik yang mayoritas Kristen” melawan ISIS.

Tentang Amnesty International, Anthony Cartalucci menulis:

Amnesty menerima uang dari pemerintah dan kepentingan finansial korporasi, salah satu yang paling terkenal adalah Open Society, yang dikepalai oleh kriminal finansial George Soros (Open Society juga mendanai Human Rights Watch dan banyak lagi advokat HAM). Suzanne Nossel, Direktur Eksekutif Amnesty International USA, misalnya, ditarik langsung dari Departemen Pemerintah AS.

Menggarisbawahi salah satu manuver AI, Rick Sterling, dalam laporannya di bulan Mei 2015 menulis “Delapan Masalah dalam Laporan Amnesty tentang Aleppo Syria” (Eight Problems with Amnesty’s Report on Aleppo Syria) mendapati bahwa Amnesty tidak saja mewajarkan pengiriman 11 senjata ke teroris di Suriah tetapi juga menyarankan bagaimana melakukannya di bawah meja. Ia menekankan:

Ini adalah pernyataan yang luar biasa, secara efektif memberikan sanksi penyediaan pasokan senjata kepada pemberontak yang setuju mengikuti aturan perang sesuai prinsip kemanusiaan.

Sterling lebih lanjut menulis tentang Amnesty:

  • Bergantung pada kelompok-kelompok yang “berkedudukan di, atau menerima dana dari Turki, AS, atau salah satu negara lain yang sangat terlibat hendak menyingkirkan pemerintahan Damaskus.
  • Tidak mencari kesaksian dari “dua pertiga penduduk terlantar Suriah DI DALAM Suriah…orang-orang yang lari dari Aleppo dan sekarang tinggal di Homs, Latakia, Damascus atau di Aleppo di bawah kendali pemerintah.”

Dalam “Kelompok Kemanusiaan terhadap perang Suriah” ( “Humanitarians for War on Syria”) Sterling mengelaborasi kampanye intervensi:

Tujuannya adalah mempersiapkan publik untuk zona ‘Zona Larangan Terbang’ (No Fly Zone) yang diterapkan AS dan kekuasaan militer lainnya. Seperti inilah awal mula invasi Irak. Seperti ini jugalah publik dipersiapkan untuk serangan AS/NATO terhadap Libya.

Dampak dari ‘perubahan rezim’ ala Barat di Irak dan Libya merupakan malapetaka. Avaas melancarkan kampanye untuk meraih 1 juta orang menandatangani petisi “Zona Aman” (Safe Zone) di Suriah.

Sterling menulis mengenai “Tentara Putih” (White Helmets – WH) yang “diciptakan oleh Inggris dan AS pada tahun 2013. Penduduk sipil dari wilayah yang dikendalikan pemberontak dibayar untuk pergi ke Turki untuk mendapat pelatihan penyelamatan. Program ini dikelola James Le Mesurier, seorang mantan tentara Inggris dan kontraktor swasta…” Ia mendapati hubungan antara WH dengan aktor anti-Suriah, termasuk Jabat al-Nusra. Salah satu contoh propaganda mereka: “Video serangan yang diduga gas klorin dimulai dengan logo White Helmet dan dilanjutkan dengan logo Nusra. Pada kenyataannya, White Helmets adalah tim penolong Nusra/Al Queda (sic).”

Tulisan Vanessa Beeley “White Helmet: Tentara Bayaran dan Propagandis aliran baru, Menyamar sebagai Kelompok Kemanusiaan di Suriah” (“‘White Helmets’: New Breed of Mercenaries and Propagandists, Disguised as ‘Humanitarians’ in Syria”) semakin memperjelas elemen propaganda operasi WH dan bagaimana mereka mengikuti retorika anti-Suriah yang disuarakan industri MSM/HR.

Daftar aktor “kemanusiaan” cukup panjang, dan daftar kebohongan pendukung perang jauh lebih panjang. [lihat: Kelompok terdepan “Hak Asasi Manusia” (Pekerja Kemanusiaan yang Intervensionalis) dan Perang terhadap Suriah] (“Human Rights” front groups (“Humanitarian Interventionalists”) warring on Syria]