Argumentasi

Di bagian sebelumnya kita bahas DEFINISI. Kini kita masuk ke ARGUMENTASI, yaitu penalaran yang disampaikan dalam rangka meyakinkan pihak lain.

Ingat kata kuncinya adalah ‘penalaran’ atau proses berpikir. Karena itu, bila ada orang yang beragumentasi dengan cara begini: “Assad itu diktator Syiah yang kejam, saya tahu dari ustadz X yang pernah datang ke Suriah.” –> ini bukan argumentasi; kalimat tersebut mengandung fallacy (kesalahan berpikir). Tentang fallacy akan dibahas di bagian 5.

Sekarang kita mempelajari PENALARAN, yaitu proses penarikan kesimpulan dari satu atau lebih proposisi (pernyataan).

Ada 2 jenis penalaran, yaitu langsung atau tidak langsung.

Penalaran Langsung

Penalaran langsung, adalah menalar dengan berdasarkan 1 pernyataan saja, yaitu jika suatu pernyataan dianggap benar maka pernyataan yang kontradiktif menjadi salah.

Contoh:

“semua warga RW 1 bisa membaca” –> artinya, kalimat “sebagian warga RW 1 buta huruf” adalah salah.

“Libya di masa Qaddafi memiliki Human Development Index tertinggi di Afrika” —> artinya kalimat “Rakyat Libya pada masa Qaddafi hidup tertindas” adalah kalimat yang SALAH (karena kontradiktif dengan kalimat pertama).

“Setiap pekan, Assad sholat Jumat berjamaah bersama para ulama” —> artinya kalimat “Assad memerintahkan seluruh rakyat Suriah untuk menyembah dirinya” adalah kalimat yang salah (karena kontradiktif dengan kalimat pertama).

Penalaran Tidak Langsung

Penalaran tidak langsung, yaitu menalar dengan berdasarkan 2 (atau lebih) pernyataan (proposisi).

Ada 3 jenis: INDUKSI, DEDUKSI, ANALOGI

INDUKSI

Induksi adalah pengambilan kesimpulan umum (generalisasi) atas beberapa proposisi khusus (partikular).

Contoh:

  • Asma Al Assad adalah warga Suriah, tidak berjilbab.
  • Sarab Abed adalah warga Suriah, tidak berjilbab.
  • Afraa Dagher adalah warga Suriah, tidak berjilbab.

KESIMPULAN: semua warga Suriah yang perempuan tidak berjilbab.

Kesimpulan ini SALAH karena faktanya ada banyak perempuan Suriah yang berjilbab. Dengan demikian, generalisasi (induksi), tidak memberikan kepastian kebenaran (kadang benar, kadang salah).

Yang bisa disimpulkan dari penalaran induksi adalah ‘probabilitas’ (kemungkinan). Semakin banyak sampel (contoh) yang diambil dan semakin sedikit populasi sampel, semakin tinggi kemungkinan benarnya.

Misalnya, di sebuah kelas berisi 10 anak, 7 di antaranya sakit flu, kemungkinan besar seluruh anak di kelas itu sakit flu. Generalisasi menjadi BENAR ketika semua sampel diteliti (ke-10 anak di kelas itu diteliti dan semuanya memang sakit flu).

DEDUKSI

Deduksi adalah pengambilan kesimpulan dari sebuah proposisi umum (universal) dan sebuah proposisi khusus (partikular).

Contoh:

  1. Seluruh warga Suriah berhak mendapatkan pelayanan kesehatan gratis.
  2. Asma adalah warga Suriah.

Kesimpulan: Asma berhak mendapatkan layanan kesehatan gratis.

KESIMPULAN dipastikan benar, jika pernyataan umumnya (1) dan pernyataan khususnya (2) benar.

HATI-HATI, deduksi bisa salah kalau pernyataan (1) dan (2) sama-sama khusus (partikular) atau sama-sama negatif.

Contohnya, bisa dilihat spanduk ini:

  • Liberalisme adalah paham yang menolak hukum agama.
  • PKI adalah organisasi yang pahamnya menolak hukum agama.

Kesimpulan: PKI adalah paham yang sama dengan liberal.

Orang yang pernah belajar filsafat meskipun sedikit, akan tertawa terbahak-bahak membaca kesimpulan itu, karena salah banget. Ditinjau dari penalaran deduksi, penalaran di atas salah karena kedua pernyataan tersebut sama-sama partikular, sehingga tidak bisa diambil kesimpulan apapun.

ANALOGI

Analogi adalah mekanisme pembuktian atas sesuatu (misalnya A) dengan menunjukkan bukti yang ada pada sesuatu lain (B) yang memiliki kemiripan atau kedekatan dengan sesuatu itu (A).

Contoh:

  • Pisang adalah buah yang rasanya manis.
  • Kedondong adalah buah.

Kesimpulan: Kedondong pasti rasanya manis.

Kita tahu, umumnya kedondong rasanya asam. Artinya, analogi sering SALAH, jadi sebaiknya tidak beragumentasi dengan analogi.

Analogi bisa mencapai kebenaran ketika ada argumen lain yang terbukti benar.

Misalnya:

  • Nasir mahasiswa HI Unpad, jago filsafat Barat.
  • Budi mahasiswa HI Unpad

Kesimpulan: Budi jago filsafat Barat.

Kesimpulan ini bisa benar bila ada data lain yang mendukung (misalnya, bahwa seseorang harus lulus tes Filsafat Barat supaya bisa diterima jadi mahasiswa HI Unpad; artinya seluruh mahasiswa HI Unpad dipastikan jago Filsafat Barat).

Oleh karena itu, kita bisa mengkritisi pengambilan kesimpulan yang salah kaprah berikut ini:

  • Imam Khomeini adalah orang Syiah, ia mendirikan negara berbasis agama (Wilayatul Faqih) di Iran.
  • Bashar Assad adalah Syiah

Kesimpulan: Assad ingin mendirikan negara berbasis agama di Suriah.

Kesimpulan ini salah karena:

  • Penalaran analogi TIDAK membawa kita kepada KEPASTIAN kebenaran.
  • Bukti bahwa analogi ttg Assad dan Khomeini tidak benar secara material:
    • Tidak semua orang Syiah ingin mendirikan negara berbasis agama, bahkan ada sebagian ulama Syiah yang menolak Wilayatul Faqih. Sistem ini disepakati melalui referendum di Iran thn 1979, sehingga akhirnya resmi berdiri sampai sekarang.
    • Assad belum tentu Syiah atau Alawi (banyak juga yang menyebut ia Sunni, didukung oleh berbagai foto dan video saat ia sholat bersama para ulama Sunni Suriah).