Sepekan yang lalu, saya sudah berpikir untuk mengurangi fesbukan karena ada beberapa pekerjaan saya (misalnya ngedit buku dan jurnal) yang terbengkalai. Penyebabnya karena manajemen waktu saya yang buruk, dan sebagiannya akibat terlalu banyak berinteraksi di medsos. Tapi beberapa hal yang saya alami sepekan terakhir membuat saya berpikir ulang. Di antaranya, kata-kata berikut ini:

  • Yang ibu sampaikan itu tidak benar! Saya mendengar dari ustad anu, tidak demikian kejadian di Suriah! Dia punya foto dan videonya!
  • Ibu, kata Pak Jokowi, kita harus memisahkan antara agama dan politik. Tapi kita kan orang Islam? Masak kita harus menanggalkan keislaman kita dalam menganalisis politik?
  • Bayangkan Mbak… jilbabku tuh udah selebar ini, masak aku dikatain kafir, munafik, anti Islam, hanya karena aku membela Ahok?

Sebenarnya, bila kita punya basis ilmu logika yang mantap (ga perlu sampai tahap ruwet-ruwet yang kalau di kampus filsafat mesti dipelajari 3 semester itu), kalimat-kalimat itu tidak perlu muncul/terjadi. Pembahasannya, nanti ya.

Sekarang saya ingin mencari akar masalahnya dulu. Mengapa sih, orang di zaman sekarang sulit untuk berpikir logis? Mengapa dengan mudah kita temukan orang, atau tokoh, (atau mungkin kita sendiri) yang melakukan falasi (kesalahan berpikir)?

Penyebabnya tentu saja model pendidikan kita yang sejak dulu tidak memberikan basis ilmu logika yang kuat. Kalau kita kembali pada sejarah bangsa kita pada seputar 1965, kita akan menemukan bahwa dimulai pada masa itu, terjadi pemberangusan intelektual di Indonesia secara dahsyat.

Terlepas dari kesalahan faktual PKI (misalnya, almarhum Bapak mertua saya, seorang ulama lokal NU, pernah ada dalam list target pembunuhan mereka), tapi saat itu, ‘komunisme’ dijadikan dalih untuk melakukan pembunuhan masal besar-besaran di berbagai penjuru Indonesia.

Bayangkan, saat itu 500 ribu hingga jutaan (angkanya masih simpang-siur) orang Indonesia dibunuh massal oleh sesama orang Indonesia sendiri hanya gara-gara isu komunis. Mengapa yang komunis-komunis itu tidak dipenjara saja, mengapa harus ramai-ramai dibunuh dengan cara barbar? Kalau pelakunya rezim/tentara, itu bahasan lain, tapi ini pelakunya rakyat biasa, banyak pelakunya yang sebenarnya tetangga si korban. Mengerikan sekali.

Akibatnya, muncul ketakutan massal, dan secara massal, cara berpikir bangsa Indonesia ‘di-setting ulang’ sehingga takut dan benci pada sesuatu yang berbeda. Saat itu, segala sesuatu yang ‘berbeda’ dari narasi mainstream dituduh komunis dan diberangus, dipenjara, atau dibunuh. Buku-buku mengenai teori kelas yang sebenarnya sangat efektif dalam memetakan konflik dan struktur ekonomi dunia/nasional, diberangus. Di saat yang sama kita digiring untuk mengagumi pemikiran Barat (dan dijadikan pondasi keilmuan) dan Imperium pun leluasa menguasai berbagai kekayaan alam di Indonesia.

Setting ulang pikiran’ saat ini sedang dicoba diulang oleh pihak-pihak tertentu. Tapi, masalahnya, tuduhan komunis sudah ‘gak kekinian’. Anak muda sekarang malah tertawa kalau dikatai komunis. Di kampus-kampus sudah biasa Marxisme dibahas. Bahkan kajian tentang Marx pernah digelar di salah satu ruang kelas di kompleks Masjid Salman dengan peserta membludak. Padahal yang jadi pembicara orang ‘kafir’ (saya juga hadir dalam kajian itu, duduk paling depan, dan mengajukan pertanyaan paling awam sedunia: apakah benar Karl Marx itu atheis?).

Isu yang paling efektif dipakai saat ini di Indonesia adalah muslim vs non-muslim, pribumi vs ‘aseng’, Sunni vs Syiah. Isu muslim-non muslim/pribumi vs ‘aseng’ dengan mudah bisa terbantahkan saat kita lihat para tokoh politik muslim berfoto mesra dengan non-muslim & ‘aseng’. Isu yang paling krusial, dan kita sudah lihat ‘hasil’-nya di Irak dan Suriah, adalah isu Sunni vs Syiah.

Terlepas dari kesalahan faktual orang-orang yang mengaku Syiah (misalnya Yaser Habib yang mangkal di Inggris, berserta para pengikutnya, yang merendahkan Ummul Mukminin dan para Khalifah), saat ini, Syiah dijadikan mantra untuk menjegal orang yang dianggap berbeda. Baik orang yang memang asli Syiah, terindikasi Syiah, punya buku Syiah, pernah nulis membela Syiah, berteman dengan orang Syiah, pernah ke Iran, Sunni tulen, atau non-muslim sekalipun, siap-siap saja dikatain Syiah (dalam definisi yang completely negative) ketika dia berada di barisan yang ‘berbeda’. Tokoh-tokoh politik populer, misalnya pak Ridwan Kamil, siap-siap saja dituduh Syiah oleh lawan politiknya (bahkan sudah dimulai prosesnya).

Dalam semua narasi pemicu konflik itu, sesungguhnya ada falasi (kesalahan berpikir). Karena itu, mulai hari ini saya akan mencoba memberikan “kuliah logika” (yang sederhana dan santai aja ya). Semoga bermanfaat buat pembaca dan saya sendiri. Contoh-contoh yang dibahas akan melulu tentang Timteng karena topik ini yang paling saya kuasai. Tapi ketika basis ilmunya dikuasai, bisa diterapkan dalam kasus apa saja.