Logika, secara singkat berarti: cara berpikir yang benar, yang dinyatakan dalam kata-kata.
Ada 4 hukum dasar logika (perlu dihafal nih):
- Hukum kesamaan: sesuatu itu adalah sesuatu itu sendiri. Bashar Assad, ya Bashar Assad. Bashar Assad jelas bukan Moammar Qaddafi.
- Hukum kontradiksi: Libya pasti bukan Suriah (tidak mungkin kita bilang: negara ini adalah Libya sekaligus Suriah)
- Hukum penyisihan jalan tengah: kalau Libya, pasti bukan Suriah, pasti bukan juga setengah Libya, setengah Suriah (ga bisa “setengah-setengah”)
- Hukum cukup alasan: sesuatu itu berubah jika memiliki alasan yang cukup. Contohnya, “siang berubah jadi malam, setelah matahari tenggelam”. Tidak logis kita bikin kalimat: “Pada pukul 12.00 WIB, tiba-tiba saja siang berubah jadi malam.” Atau “Assad itu dulunya baik, mau menampung jutaan pengungsi dari Palestina dan Irak, mau melindungi dan membantu HAMAS, tapi sejak 2012 dia membantai rakyatnya sendiri dengan senjata kimia”.
Jadi, bila kita menemukan situs Hizbut Tahrir menulis “Qaddafi adalah pemimpin tiran”, sementara situs PBB menulis, “Pendapatan perkapita Libya (sebelum 2011) mencapai 14.581 Dollar dan Human Development Index Libya adalah yang tertinggi di Afrika”, alarm di otak kita harus segera menyala.
Baca hukum no. 2: tidak logis ada dua hal kontradiktif dalam satu entitas: tiran tapi sekaligus bisa bikin makmur rakyatnya. Jadi, perlu digali lagi, mana informasi yang lebih benar.
Definisi
Dalam ilmu logika, ada 3 hal terpenting yang perlu dipelajari (ada banyak hal lainnya, tapi 3 ini yang paling penting), yaitu DEFINISI, ARGUMENTASI, dan FALASI.
Definisi adalah keterangan atau penjelasan atas sesuatu.
Pendefinisian ini penting sekali karena kalau definisi sudah salah, proses penyusunan argumentasi pun akan salah.
Contoh 1:
Untuk kasus Libya, perlu dikritisi definisi ‘tiran’ yang dimaksud oleh situs Hizbut Tahrir, mengingat Hizbut Tahrir adalah lawan politik Qaddafi (bisa jadi, sebagian besar rakyat Libya -yang bukan anggota Hizbut Tahrir- tidak mendefinisikan Qaddafi sebagai tiran).
Contoh 2:
A: Assad itu kejam sama orang Sunni, makanya kita orang Sunni sedunia harus membantu penggulingan Assad!
B: Buktinya apa?
A: Tahun 1982, Assad membantai ribuan orang Sunni di Hama.
Minimalnya ada dua masalah definisi di kalimat si A:
- Siapa Assad yang dimaksud? Hafez Assad atau Bashar Assad? Kalau Hafez Assad, kan sudah mati, mengapa peristiwa di masa lampau dijadikan alasan untuk penggulingan Bashar Assad?
- Siapa orang Sunni yang dimaksud? Apakah seluruh orang Sunni, atau yang dimaksud adalah kelompok Ikhwanul Muslimin yang melakukan kudeta bersenjata, mengebom fasilitas umum dan melakukan pembunuhan, dengan suplai senjata dari AS, pada tahun 1982 di Provinsi Hama?
Contoh 3:
A: Pak Jokowi itu anti Islam! Masak dia bilang “agama harus dipisahkan dari politik”?!
Sebelum kita berdebat soal pernyataan Pak Jokowi (itu pun harus dicek ulang, benarkah dia berkata demikian?), perlu kita perjelas definisinya. Apa yang dimaksud agama, apa yang dimaksud politik? Beda definisi, akan beda analisisnya. Apakah agama yang dimaksud Pak Jokowi adalah “kulit” atau “esensi”? Apakah yang dimaksud adalah Islam, atau agama lain? Apakah politik yang dimaksud adalah politik dalam makna upaya meraih kekuasaan, atau politik dalam makna ‘mengatur kehidupan negara agar mencapai kemakmuran bersama’? Dan seterusnya.
Contoh 4:
A: Syiah itu kafir, bukan Islam!
B: Buktinya apa?
A: Syiah itu suka menghina Ummul Mukminin dan para khalifah, kecuali Ali!
Di sini, perlu jelas dulu: apa definisi Islam? Apa definisi kafir? Apakah syarat masuk Islam adalah “tidak menghina Ummul Mukminin”? Ataukah menghina Ummul Mukminin sebatas “perbuatan haram”? Lalu, apakah seorang muslim yang berbuat sesuatu yang dihukumi haram otomatis keluar dari Islam? Lalu apakah semua orang Syiah suka menghina Ummul Mukminin, atau segelintir oknum saja? (dan sangat banyak pertanyaan lanjutan soal definisi ini).
Jadi, sekali lagi, definisi itu penting. Saat kita mendengar orang bicara (dan saat kita bicara/menulis), kritislah pada definisi ini. Jangan sampai kita terjebak dalam perdebatan konyol karena ternyata definisi yang dipakai berbeda. Jangan sampai kita buru-buru menghujat orang karena ternyata salah paham definisinya. Dan, jangan mau dibodohi orang yang bicara dengan mengaburkan definisi.