Artikel ini umumnya akan memakai rujukan Syiah ahlul bayt. Namun begitu, justru pada dalil utama, yaitu pada hadis “Inna Faathimah ahshanat farjaha faharramallahu dzurriyyatahu ‘ala al-naar”, diriwayatkan oleh belasan ulama Sunni yang mu’tabar seperti al-Suyuthi, al-Tabari, al-Dar Quthni, dan seterusnya.
Juga dalam riwayat kemaksuman ahlul bayt dalam Qs. Al-Ahzab ayat 33 yang secara masif diriwayatkan oleh puluhan ulama Sunni. Yang menarik adalah justru imam-imam Syiah ahlul bayt yang menganulir hadis “dzurriyyah Fatimah” tersebut dengan memberikan penjelasan yang mengkhususkan dzurriyyah Fatimah yang diharamkan atas neraka itu. Baiklah, kita coba memulai pembahasannya.
Telah banyak diketahui bahwa keluarga Nabi SAW dibantai habis oleh sebagian besar khalifah-khalifah Umayyah dan Abbasiyah: Imam Hasan, yang diracun oleh Muawiyah melalui tangan isterinya, Imam Husain dan keluarganya yang dibantai di padang Karbala, Ali ibn Husain (pengarang Shahifah Sajjadiyah) yang diracuni oleh orang suruhan khalifah al-Walid di Madinah, Imam Muhammad al-Baqir diracuni oleh Ibrahim bin Walid atas suruhan Hisyam bin Malik, Imam Ja’far al-Shadiq (guru dari Imam Abu Hanifah dan Jabar bin Hayyan ahli kimia) diracun oleh khalifah al-Mansur, Imam Musa al-Kadzim dipenjara dan diracun oleh Harun al-Rasyid di Baghdad, Imam Ali al-Ridha diracun oleh al-Ma’mun, Muhammad al-Jawad diracuni oleh istrinya yang merupakan anak dari al-Ma’mun atas perintah khalifah al-Mu’tashim, Ali al-Hadi diracuni oleh khalifah al-Mu’tazz di Samarra, sampai Hasan al-Askary diracuni atas perintah al-Mu’tamid di Samarra.
Namun begitu, Allah SWT memberkahi silsilah ini; jumlah mereka bukannya berkurang, tetapi semakin banyak. Mereka bukan hanya berdiam di Suriah dan Irak (tempat mereka dibantai), tetapi malah semakin menyebar sampai ke penjuru dunia.
Inilah konfirmasi yang jelas dari Qs. al-Kautsar ayat 1-3
إنا أعطيناك الكوثر فصل لربك وانحر إنّا شانئك هو الأبتر
“Sesungguhnya telah Kami berikan kepadamu nikmat yang banyak (al-Kautsar). Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan sembelihlah hewan qurban. Sesungguhnya orang yang membencimu itulah yang terputus.”
Perjuangan para ahlul bayt dan dzurriyyah ini—tentu saja—semestinya kita hormati. Perjuangan ini tidak untuk tujuan murahan agar survive di dunia: sekedar bisa menikmati indahnya dunia dan bersenang-senang di atasnya; apalagi sampai ikut-ikutan berpesta kue politik dengan akhlak dog-eat-dog attitude.
Eksistensi mereka—harus kita akui—memiliki andil yang sangat besar kepada perkembangan keilmuan dan kebudayaan Islam. Setidaknya, literatur Islam yang berkualitas dipenuhi oleh karya-karya dzurriyyah. Dan ini mereka lakukan dengan kebesaran akhlak a la Rasulullah SAW.
Di level internasional, kita mengenal Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dengan karya-karyanya seperti Tafsir Al Jilani, al-Ghunyah Li Thalibi Thariqi al-Haq, Futuh al-Ghaib, Al-Fath al-Rabbani, Jala’ al-Khawathir, Sirr al-Asrar, Asrār al-Asār, Malfuzhāt, Khamsata “Asyara Maktuban, al-Rasāil, al-Dīwān, Shalawāt wa al-Aurād, Yawaqit al-Hikam, Jalaa al-Khatir, Amrul muhkam, Usul al-Sabā, dan Mukhtasar ulumuddin.
Juga kita mengenal Syaikh Abu Bakar bin Salim, yang banyak melahirkan orang-orang besar seperti Habib Umar bin Khafidz BSA, Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdhar Bondowoso, dan seterusnya.
Di Indonesia sendiri, para auliya’ dan ulama besar adalah para dzurriyyah asli dari Yaman dan keturunannya. Diantara dzurriyyah Rasulullah SAW yang sangat berpengaruh di Indonesia.
Adalah Habib Husein bin Abubakar al-Aydrus dari Luar Batang; nyaris semua orang mendengar kehebatan dan perjuangan beliau dalam menyebarkan agama Islam di Jakarta. Lalu al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Attas dari Pekalongan; beliau sangat dihormati kaum muslimin dan para ulama baik dari dalam maupun luar negeri.
Para pejabat pemerintah penjajah Belanda maupun pejabat pribumi juga sangat segan terhadapnya, bahkan tokoh-tokoh non muslim di masanya pun menghargainya. Orang-orang yang mencintai beliau tidak hanya berasal dari kalangan Islam, tetapi berasal dari berbagai kalangan, termasuk orang-orang Belanda.
Dari sini, adakah yang mau mengatakan bahwa karena Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas dicintai oleh pihak kafir, maka beliau adalah ulama su’? Ngaco bener otak ente!