Ada lagi al-Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas dari Empang Bogor. Beliau sangat gigih memperjuangkan penyebaran ajaran-ajaran Islam, maupun memperjuangakan hak-hak kemanusiaan. Lalu al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi dari Surabaya. Besarnya perhatiannya kepada para fakir miskin hingga beliau dijuluki sebagai ayah bagi anak-anak yatim dan fakir miskin.

Jika Anda pikir di dalam mengasihi anak-anak yatim dan fakir miskin beliau mengandalkan sedekah dari para aghniya’, Anda salah. Beliau melakukannya dengan keringat sendiri. Bahkan, beliau menanggung seluruh keperluan anak-anak yatim itu hingga mereka menikah.

Lalu ada Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor dari Bondowoso; dalam berdakwah beliau menggunakan cara yang santun dan halus, sehingga wajarlah jika semua lapisan masyarakat dapat menerima dengan baik nasehat-nasehatnya.

Semua kalangan, baik dari kalangan dzurriyyah maupun orang-orang umum, bahkan para pembesar Belanda pun, hormat dan segan kepada beliau. Begitulah Nabi SAW. dan ahlul bayt-nya bersikap.

Demikian juga dengan al-Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf dari Gresik, beliau adalah pendakwah agama Islam dan pejuang kemanusiaan di Gresik. Orang-orang yang hidup di sana sangat merasakan manfaat yang besar, baik dari pengajaran ilmunya maupun kepeduliannya kepada masalah kemasyarakatan. Dalam berdakwah, beliau pun selalu menerapkan kehalusan pekerti Rasulullah SAW. yang menyebarkan kedamaian dan kesejahteraan.

Diantara dzurriyyah Rasulullah SAW. yang lain yang memiliki andil besar dalam perjuangan agama dan kemanusiaan adalah Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang, Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir al-Haddad dari Bogor, Habib Husein bin Muhammad bin Thohir al-Haddad dari Jombang, Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf dari Pasuruan (gurunya Habib Abdul Hamid al-Basyaiban), Habib Ali bin Husein al-Attas dari Jakarta, Habib Idrus bin Salim al-Jufri dari Sulawesi Tengah, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih dari Darul Hadis Malang, Habib Muhammad bin Husein al-Aydrus dari Surabaya, Habib Salim bin Ahmad bin Jindan dari Jakarta, Habib Ali bin Muhammad al-Habsy dari Solo, Habib Abdul Hamid bin Umar al-Basyaiban dari Pasuruan, dan Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid dari Tanggul Jember.

Mereka adalah para dzurriyyah yang sangat berjasa bagi Indonesia. Tak hanya itu, bahkan Walisongo pun konon adalah keturunan Nabi SAW. Meskipun pada perbedaan pendapat pada silsilah keluarga Sunan Kalijaga dan Sunan Muria, namun bisa dipastikan bahwa sebagian besar dari Walisongo adalah dzurriyyah Nabi SAW. yang sangat berjasa bagi dakwah Islam dan pembangunan kemanusiaan di Indonesia.

Demikian juga dengan dzurriyyah Rasulullah SAW. di zaman sekarang, kita mengenal Habib Mundzir bin Fuad bin Abdurrahman al-Musawa, yang belum lama meninggalkan kita semua; Habib Lutfi bin Yahya, Habib Quraysh Shihab, Habib Umar bin Hafidz BSA, dan seterusnya dan seterusnya.

Dari deretan nama para habaib yang mulia itu kita menemukan kemuliaan akhlak dan keagungan Islam di dalam ajaran mereka, karena datuk mereka, Sayyiduna Muhammad bin Abdullah, pemimpin para nabi dan rasul, mengajarkan bahwa seorang mukmin adalah orang yang tidak suka mencela, tidak suka melaknat, tidak suka berbuat/berkata-kata keji, dan tidak suka berkata-kata kotor.” (HR. Bukhari, Ahmad, Al-Hakim, dan Turmudziy dari Ibnu Mas’ud)

Ajaran Nabi SAW. yang paling dasar tentang “keistimewaan” di dalam Islam adalah hadis ini:

لا فضل لعربيّ على أعجميّ ولا لعجميّ على عربيّ، ولا لأحمر على أسود ولا لأسود على أحمر إلاّ بالتقوى.

“Tidak ada yang lebih mulia orang Arab atas orang asing, atau orang asing atas orang orang Arab; tidak juga kulit merah atas kulit hitam, atau kulit hitam atas kulit merah, kecuali dengan dengan taqwa.” (Musnad Ahmad Juz 5, hal. 411)

Dalam Islam, kemuliaan seseorang itu dinilai dari kebaikan amal dan pengkhidmatannya, serta kebaikan apa pun yang dilakukannya, baik berkenaan dengan agama secara mahdhah maupun sosial kemasyarakatan. Allah SWT. berfirman:

إن أكرمكم عند الله أتقاكم

“Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling taqwa.” (Qs. al-Hujurat 13)

Maka, menurut Islam, ukuran kemuliaan seseorang itu ditentukan oleh dua hal: 1. Bahwa kemuliaan itu diusahakan, bukan diwariskan, dimana—jika diwariskan—bentuk lebih dipentingkan daripada isi; 2. Bahwa sifat-sifat yang diusahakan itu adalah sifat-sifat yang baik dipandang dari segi akal dan syariah.

Nabi SAW. bersabda:

يا معشر قريش اشتروا أنفسكم لا أغني عنكم من الله شيئا يا بني عبد مناف لا أغني عنكم من الله شيئا.يا عباس بن عبد المطلب لا أغني عنك من الله شيئا.ويا صفية عمة رسول الله لا أغني عنك من الله شيئا.ويا فاطمة بنت محمد سليني ما شئت من مالي لا أغني عنك من الله شيئا.

”Wahai orang-orang Qurays belilah diri kalian sendiri, saya tidak bisa membantu kalian sedikit pun dari azab Allah SWT., wahai Bani Manaf saya tidak bisa membantu kalian sedikit pun dari azab Allah SWT., wahai Abbas bin Abdul Muththalib saya tidak bisa membantu kalian sedikit pun dari azab Allah SWT., wahai Shofiyah bibi Rasulullah, saya tidak bisa membantumu sedikit pun dari azab Allah, wahai Fatimah binti Muhammad, mintalah harta sebanyak apa pun dariku, tapi saya tidak bisa membantumu sedikit pun dari adzab Allah.“ (HR. Bukhari, Juz 3, hal. 191)

Rasulullah SAW. tidak memberikan pengecualian dalam hal hukum, makanya tidak ada satu pun anggota keluarganya yang ada di atas hukum. Rasulullah SAW. bersabda:

إنّما أهلك من كان قبلكم أنّهم كانوا إذا سرق فيهم الشريف تركوه، وإذا سرق فيهم الضعيف أقاموا عليه الحد، وأيمُ الله لو سرقت فاطمة بنت محمد لقطعتُ يدها

“Dari Aisyah ra; sesungguhnya Usamah meminta pengampunan kepada Rasulullah SAW. tentang seseorang yang mencuri, lalu Rasulullah bersabda; bahwasanya binasa orang-orang sebelum kamu disebabkan karena mereka melaksanakan hukuman hanya kepada orang-orang yang hina dan mereka tidak melaksanakannya kepada orang-orang bangsawan. Demi yang jiwaku dalam kekuasaanNya, jika seandainya Fatimah yang melakukannya, pasti aku potong tangannya,” (Sunan al-Nasai, Juz 8, hal. 74).

Frasa: “andaikata Fatimah binti Muhammad mencuri” itu maksudnya adalah tidak ada pengecualian dalam hukum Islam. Karena siti Fatimah (termasuk Ali bin Abi Thalib, al-Hasan dan al-Husain) adalah orang mulia yang jelas maksum, seperti yang tersebut di dalam Qs. al-Ahzab 33, maka beliau-beliau sangat suci dari yang namanya pencurian. Itulah sebabnya, doa alayhissalam dilekatkan kepada mereka di dalam Shahih Bukhari.