Lalu, seiring berjalannya waktu banyak orang menganggap bahwa keluarga Nabi SAW. berada di atas aturan-aturan Islam itu. Anggapan ini lalu menjadi seperti ajaran Islam yang benar: bahwa dzurriyah Nabi SAW. memang berada di atas hukum-hukum Islam, sehingga mereka boleh berbuat apa pun yang mereka mau.

Hal inilah yang menimbulkan masalah antara aturan Islam dan fakta (lihat Hasharat Ali Li’adilin Rauf, hal. 168). Jika masalahnya adalah bahwa umat Islam harus mencintai keluarga Nabi SAW., maka itu sangat berbeda dengan menempatkan dzurriyyah Nabi SAW.—karena keluarga Nabi SAW. jelas ma’sum di dalam Qs. al-Ahzab hanyalah Ali, Fatimah, al-Hasan, dan al-Husain—di atas hukum Islam.

Kekhususan keluarga Nabi SAW. itu bukannya tidak ada, justru ada. Diantara kekhususan keluarga Nabi SAW. adalah ummat Islam diminta memperlakukan dzurriyyah Rasul SAW. dengan lembut dan penuh cinta-kasih (Qs, al-Syura: 23).

Karena diperintahkan ini atau karena cinta kepada keluarga Nabi SAW., adalah wajar jika kaum muslim juga mencintai dzurriyah Nabi SAW. begitu besarnya. Tetapi, menjadikan kecintaan ini sebagai dasar pembenaran atas segala tindakan dzurriyyah, itu yang tidak benar.

Oleh karena itu, jika dzurriyyah Nabi SAW. lebih banyak imannya, ketaqwaannya, kawara-annya, mulia akhlaknya, mulia ucapannya, maka kehormatan dan kedudukannya jauh melampaui orang yang berperilaku sama yang bukan dari dzurriyyah Rasul SAW.

Wajar, karena di dalam darahnya mengalir darah Rasul SAW. yang menghiasi nasab, kemuliaan, dan ketinggian kedudukannya. Tetapi, jika mereka berperilaku buruk dan menjauhi Sirah kakeknya, menjauhi ajaran-ajaran agama kakeknya, maka mereka lebih berhak atas keburukan berkali-kali lebih banyak daripada orang biasa.

Sebuah riwayat dari Imam Ali al-Ridha. Suatu hari beliau ditanya begini:

الجاحد منكم ومن غيركم سواء؟ فقال: الجاحد منّا له ذنبان والمحسن له حسنتان

“Apakah orang yang bermaksiat dari ahlil bait sama dengan orang biasa?” Imam Ali Ridha menjawab, “Orang yang bermaksiat dari ahlul bayt diberikan dosa dua kali. Sedangkan orang yang baik dari ahlul bayt diberikan 2 kebaikan,” (al-Kafi, Juz 1 hal. 378).

Kemudian ada riwayat lagi seperti ini:

أخبرني عمن عاندك ولم يعرف حقك من ولد فاطمة هو وسائر الناس سواء في العقاب؟ فقال: كان علي بن الحسين يقول: عليهم ضعفا العقاب

“Kabarkan kepadaku tentang orang yang menentangmu tetapi tidak mengerti hakmu sebagai anaknya Fathimah al-Zahra’, apakah mereka dan orang-orang biasa yang lain sama dalam hal siksa akhirat?” Lalu Imam Ali bin al-Husain menjawab, “Siksa atas ahlul bayt 2x lipat,” (al-Kafi, Juz 1, hal. 377).

يقول الإمام زين العابدين في بعض أدعيته: واعصمني من أن أظنَّ بذي عدم خساسة، أو بصاحب ثروة فضلاً، فإنّ الشريف من شرّفته طاعتك والعزيز من أعزّته عبادتك

Imam Zainal Abidin berkata di dalam sebagian doanya: “…dan lindungilah hamba dari prasangka bahwa orang yang miskin itu hina, atau orang yang kaya itu mulia. Karena sesungguhnya “syarif” (orang yang mulia) itu adalah orang yang Engkau muliakan ketaannya kepada-Mu, sedangkan orang yang agung itu adalah orang yang Engkau agungkan ibadahnya kepada-Mu,” (Syaikh Muslim al-Dawri, Ushul Ilmi al-Rijal Bayna Nadzariyyah wa al-Tathbiq, Juz. 2, hal. 94).

Suatu hari Nabi SAW. bersabda di hadapan keluarganya:

يا بني هاشم لا تأتيني الناس بأعمالهم وتأتوني بأنسابكم

“Wahai Bani Hasyim, janganlah datang kepadaku dengan membawa nasab kalian, sementara manusia datang kepadaku dengan amal mereka,” (al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, Juz 1, hal. 314; al-Zayla’I, Takhrij al-Akhbar, Juz 1, hal. 91; al-Masyhadi, Kanz al-Daqaiq, Juz 1, hal. 349).

Tetapi, Anda harus ingat, bahwa di akhir hadis ini, pada beberapa sumber, Rasulullah SAW. melanjutkan dengan kalimat begini:

لا أغني عنكم من الله شيئاً ،وعنه صلى الله عليه وآله وسلم مَنْ أبطأ به عملُه، لم يُسرع به نسبُه

“Aku tidak bisa menolong kalian dari ancaman Allah.” Dari Rasulullah SAW.: “Barang siapa yang amalannya kurang lagi lamban, maka nasabnya tak dapat menutupi kekurangannya.” (Al-Jashshash, Ahkam al-Quran, Juz 1. Hal. 1)

Yang lebih jelas lagi adalah kisah Imam Ali al-Ridha di dalam kitab Uyun Akhbar al-Ridha. Saat itu Imam Ali al-Ridha berada di Khurasan di majelisnya. Saudara Imam Ali al-Ridha yang bernama Zaid bin Musa juga hadir di sana.

Di hadapan para jamaah, Zaid bin Musa membangga-banggakan silsilahnya. Imam Ali al-Ridha berkata kepada Zaid, “Wahai Zaid, engkau telah tertipu dengan omongan orang-orang bodoh Kufah; sesungguhnya Fathimah al-Zahra’ telah menjaga kemaluannya yang mulia, maka Allah mengharamkan atas dzurriyyahnya neraka! Demi Allah, itu semua khusus untuk al-Hasan dan al-Husan, serta anak kandung Fathimah. Jika engkau menyangka bisa bermaksiat kepada Allah dan masuk surga, sedangkan Musa bin Ja’far harus mentaati Allah, berpuasa di siang hari, beribadah di malam hari agar bisa masuk surga. Demi Allah, tidak ada seorang pun memperoleh sesuatu dari Allah kecuali dengan ketaatannya. Sedangkan engkau menyangka dapat memperoleh pahala dari Allah dengan maksiat, sungguh buruk apa yang kausangka itu. Kisahnya ditulis dalam Uyun Akhbar al-Ridha, Juz 1, hal. 275, dan kitab Ma’ani al-Akhbar, hal. 106, seperti di bawah ini:

ما روي عن الإمام الرضا في عيون أخبار الرضا ، يقول الراوي: كنت بخراسان مع علي بن موسى الرضا في مجلسه وزيد بن موسى (أخو الإمام) حاضر قد أقبل على جماعة في المجلس يفتخر عليهم ويقول: نحن ونحن! وأبو الحسن مقبل على قوم يحدِّثهم، فسمع مقالة زيد، فالتفت إليه فقال: يا زيد أغرّك قول ناقلي الكوفة: “إنّ فاطمة أحصنت فرجها فحرّم الله ذريتها على النار! فوالله ما ذاك إلا للحسن والحسين وولد بطنها خاصة، إن كنت ترى أنك تعصي الله وتدخل الجنة ، وموسى بن جعفر أطاع الله ودخل الجنة فأنت إذا أكرم على الله عزوجل من موسى بن جعفر ، والله ما ينال أحد ما عندالله عزوجل إلا بطاعته ، وزعمت أنك تناله بمعصيته فبئس ما زعمت.

Untuk diketahui, bahwa hadis dengan matan “inna Faathimah ahshanat farjaha faharramallahu dzurriyyatahu ‘ala al-naar” diriwayatkan oleh ulama-ulama besar seperti al-Suyuthi dalam Ihya’ al-Mayyit bifadhail ahlil bayt 35: 38, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Dar Quthni dalam al-Ilal al-Waridah, al-Hakim dalam al-Mustadrak, Abi Nuaim dalam Hilyatul Auliya’, al-Khathib dalam Tarikh Baghdad, Ibnu Asakir dalam Faidh al-Qadir, al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal, al-Muhib al-Tabari dalam Dakhair al-Uqba, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Mathalib al-‘Aliyah bi Zawaidi al-Masanid al-Tsamaniyah, al-Zarqani dalam Syarh al-Mawahib, dan al-Muttaqi Hindi dalam Kanz al-Ummal, Hadis ini habis-habisan dicerca sebagai hadis palsu penuh kebohongan.

Padahal, setelah membaca keterangan dari Imam ahlul bayt, menjadi teranglah bahwa yang dimaksud dalam hadis ini adalah al-Hasan dan al-Husain, yang memang dijamin oleh al-Quran di dalam Qs. al-Ahzab ayat 33.

Syaikh Husain al-Khosn menjelaskan arti dari hadis ini, bahwa diharamkannya dzurriyyah Rasulullah SAW—berdasarkan manthuq al-Khabar—karena Fathimah telah menjaga kemaluannya. Maka, penjagaan Siti Fathimah atas kemaluannya ini adalah illah bagi diharamkannya dzurriyyahnya atas neraka. Ini karena illah yang dinash-kan mengumumkan hukum kepada seluruh sumber-sumber keberadaannya.

Maka, menjadi lazim pengharaman neraka atas keturunan wanita yang menjaga kemaluannya. Cara berpikir ini tidak mungkin terjadi alias mustahil. Oleh karena itu, yang betul adalah Siti Fatimah dan dzurriyyahnya (al-Hasan dan al-Husain) memang orang-orang yang ma’sum, seperti yang telah dibahas oleh Qs. al-Ahzab 33, tentu saja dengan mengetahui sebab turunnya dari riwayat-riwayat yang mutawatir yang dimuat dalam Shahih Muslim, kitab Fadhā`ilus Shahābah, bab Fadhā`il Ahli Bayt al-Nabi SAW; Isa Al-Halabi; Syarah An-Nawawi; Shahih Tirmizi; Musnad Ahmad bin Hanbal; Al-Mustadrak, Al-Hakim; Al-Mu’jamuz Shaghīr, karya Ath-Thabarani; Syawāhidut Tanzīl,karya Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi; Khashā`ish Amīrul Mu`minān, karya An-Nasa’i Asy-Syafi’i; Tarjamatul Imam Ali bin Abi Thalibdalam Tārīkh Dimasyq, karya Ibnu ‘Asakir Asy-Sayarifi’i; Kifāyatut Thālib,karya Al-Ganji Asy-Syafi’i; Musnad Ahmad; Usdul Ghābah fī Ma’rifatis Shahābah, karya Ibnu Atsir Asy-Syafi’i; Dzakhā`irul ‘Uqbā,karya Ath-Thabari Asy-Syafi’i; Asbābun Nuzūl,karya Al-Wahidi; Al-Manāqib, karya Al-Kharazmi Al-Hanafi; Tafsīr Ath-Thabari; Ad-Durrul Mantsūr; Ahkāmul Qurān,karya Al-Jashshash; Manāqib Ali bin Abi Thalib,karya Ibnu Al-Maghazili Asy-Syafi’i; Mashābīhus Sunnah,karya Al-Baghawi Asy-Syafi’i; Muhammad Ali Shabih; Misykātul Mashābīh, karya Al-‘Amri; Al-Khasysyāfkarya Az-Zamakhsyari; Tadzkiratul Khawwāsh,karya As-Sibth bin Al-Jauzi Al-Hanafi; Mathālibus Sa`ūl,karya Ibnu Thalhah Asy-Syafi’i; Ahkāmul Qurān,karya Ibnu ‘Arabi; Tafsir Al-Qurthubi; Tafsir Ibnu Katsir; Al-fushūlul Muhimmah karya Ibnu Shabbagh Al-Maliki; At-Tashīl li ’Ūlūmit Tanzīl, karya Al-Kalbi; At-Tafsīrul Munīr li ma’ālimit Tanzīl, karya Al-Jawi; Al-Ishābah, karya Ibnu Hajar Asy-Syafi’i; Al-Itqān fī ‘Ulūmil Qurān, karya As-Suyuthi; Ash-Shawā’iqul Muhriqah, karya Ibnu Hajar; Muntakhab Kanzul ‘Ummāl Musnad Ahmad bin Hanbal; As-Sīrah An-Nabawiyah, karya Zaini Dahlan; Is’āfur Rāghibīn, karya Ash-Shabban; Ihqāqul Haqq, karya At-Tustari; Fadhā`ilul Khamsah; Al-Istī’āb,karya Ibnu Abdul Bar; dan Yanābī’ul Mawaddah, karya Al-Qundusi Al-Hanafi;