Saya baru-baru ini diajak untuk menonton aksi teatrikal “Oslo” di Teater Harold Pinter di London. Oslo menceritakan tentang negosiasi belakang layar pada tahun 1993 yang konon menghasilkan Perjanjian Oslo antara PLO dan Israel. Saya sebenarnya tidak ada minat menonton, karena teman-teman yang terlebih dahulu menontonnya menyampaikan bahwa “tontonan ini bukan untuk kita.”

Saya menaruh ekspektasi rendah dan siap menerima kekecewaan. Tetapi apa yang mengejutkanku tentang “Oslo” adalah apa yang sebenarnya hendak dicapai: reka ulang formula negosiasi Oslo yang bersungguh-sungguh dan tidak terpengaruh apapun. Formula yang mencoba menyeimbangkan antara penjajah dan yang terjajah sebagai setara.

Pada dasarnya: penganjuran bahwa “serigala dapat hidup bersama dengan domba.” Apa yang ditampilkan “Oslo”, hampir 25 tahun pasca kejadian sebenarnya, bukanlah ilusi kedamaian sama sekali. Yang ada sebaliknya: sebuah penggabungan dari penaklukkan dan penguasaan oleh Israel.

Aksi teatrikal ini digerakkan oleh perpaduan tunggal dari kerahasiaan diplomatis, intrik dan eksperimen riskan dalam penyelesaian suatu konflik. Aksi teatrikal ini juga diisi dengan humor diplomatis nan ironis dan juga humor aneh ala Norwegia.

Seluruh aksi teatrikal ini bertujuan mendramatisir gagasan akan pentingnya membuat musuh berbicara, daripada mencemaskan hasil dari negosiasi mereka. Selanjutnya, apabila perdamaian gagal tercapai, itu terjadi karena disebabkan oleh permusuhan kuno daripada kondisi di luar meja perundingan.

Drama ini berakhir dengan sebuah pidato singkat nan padat tentang upaya heroik dalam penciptaan perdamaian serta apa saja yang dapat tercapai di balik cakrawala. Apa yang ingin diceritakan kepada para penonton adalah: satu-satunya cara untuk memecahkan konflik Palestina-Israel adalah dengan penempatkan kedua belah pihak bersama-sama dalam suatu ruangan dan memaksa mereka untuk berbicara satu sama lain, mengembangkan hubungan dan kepercayaan pribadi, dan kemudian saling berkompromi.

Mungkin terdengar ramah. Tetapi pada kenyataannya, jika anda menempatkan dua pihak yang tidak setara di satu ruangan bersama, anda akan mendapatkan hasil yang mencerminkan ketidaksetaraan fundamental mereka. Sisi yang kuat akan memaksa sisi yang lemah, yang tidak memiliki daya tawar dan tidak memiliki perlindungan obyektif, untuk melakukan konsesi satu persatu. Cara “Oslo” adalah untuk mengulangi formula politik yang mengerikan ini, dimana orang-orang Palestina tidak memiliki perlindungan politik eksternal dan bahwa takdir mereka berada di tangan penjajah mereka.

Apa yang jelas dari “Oslo” adalah bahwa inilah yang diinginkan Israel (dan Amerika hanya akan memastikan Israel mendapatkannya pada akhirnya). Syarat Israel untuk negosiasi adalah bahwa orang-orang Palestina harus mengesampingkan segala hukum internasional, konvensi dan resolusi PBB yang melindungi hak-hak mereka sebagai bangsa yang dijajah, kemudian datang dan berbicara tentang kedamaian “tanpa prasyarat apapun” (seolah hukum internasional adalah prasyarat yang menyesakkan daripada sebuah mekanisme resolusi konflik).

Apa yang tercipta adalah struktur dimana pihak yang lemah telah membuang semua hak intinya bahkan sebelum mulai bernegosiasi. Yang tersisa adalah rincian-rincian penyerahan kedaulatan. Begitu PLO terkunci dalam kerangka negosiasi seperti ini, tidak banyak yang bisa dilakukannya untuk mengubah hasil yang tidak terelakkan yang secara tidak langsung menjadikan mereka instrumen aktif dalam penjajahan Israel – suatu peran yang telah dijalani PLO lebih lama daripada peran aslinya sebagai gerakan pembebasan nasional.

Inilah sebabnya kenapa kita tidak bisa menolak perasaan bahwa ada sesuatu yang busuk tentang juru runding dari dua pihak Palestina dalam drama “Oslo” tersebut (keduanya, kebetulan, disebut “teroris”). Salah satu dari mereka terdengar seperti demagog lawas Soviet, sementara daya tarik Arab lainnya berlipat ganda menjadi kebanggaan kosong.

Keduanya terlalu mendramatisir penolakan dan garis merah mereka hanya untuk kemudian menyerah lebih banyak lagi pada akhirnya. Bahkan saat mereka mengakui kedaulatan penjajahan Israel atas semua wilayah Palestina, mereka cuma bisa merayakan penguasaan mereka atas kota kecil Yerikho (beserta 2% populasi Palestina di Gaza). Dalam ruang yang tertutup seperti itu, memiliki kacang pun menjadi prestasi nyata.

Saya tidak akan membebani para pembaca dengan cerita basi tentang pembuatan Perjanjian Oslo, jadi begini saja: pengacara cerdik New York asal Israel yang memiliki bakat untuk membuat daftar legal atau reka ulang omong kosong mengenai mitos hasrat Menteri LN Israel Shimon Peres akan kompromo politik.

Yang jelas adalah kepercayaan pribadi yang terjalin antara kedua juru runding, Uri Savir dan Ahmed Qurei, yang diperankan oleh para aktor panggung dengan gamblang, tidak mengubah inti mendasar perjumpaan mereka. Para juru runding Palestina berjalan sendiri kedalam perangkap buatan Israel, sambil disanjung oleh Norwegia.

Kerusakan potensial yang sebenarnya dari Perjanjian Oslo adalah bahwa hal itu bertujuan untuk mendorong mereka yang masih tertarik mencari perdamaian kembali ke kamar mati dan formula yang tidak adil. Kita butuh drama baru. Kita butuh drama yang menanamkan harapan bahwa penguasaan kolonial Israel, yang dipadati dengan kekejaman sehari-hari, akan segera berakhir.

Bashir Abu-Manneh
https://jacobinmag.com/2017/11/oslo-peace-accords-israel-palestine-play-occupation