Aktor kenamaan asal Inggris, Alan Rickman baru saja meninggal dunia di usia ke-69 setelah bertarung melawan kanker. Alan banyak dikenal melalui karakter melankolisnya dalam Harry Potter, Professor Snape. Ia bukan hanya seorang aktor dan pemain teater legendaris, namun juga seorang aktivis politik progresif, terutama dalam dukungannya menyangkut Palestina.
Pada 2005, Rickman menjadi editor dan sutradara dari sebuah pementasan teater berjudul ‘My Name is Rachel Corrie’, yang ceritanya berdasar dari kehidupan aktivis Amerika berusia 23 tahun yang dibunuh oleh tentara Zionis.
Rachel Corrie sendiri, merupakan mahasiswa di Evergreen State College, Washington, sebelum mengunjungi jalur Gaza sebagai bagian Gerakan Solidaritas Internasional untuk Palestina pada 2003. Pada 16 Maret tahun itu, dalam sebuah protes damai melawan penghancuran paksa rezim Zionis terhadap rumah warga Palestina, seorang tentara Zionis melindas Corrie dengan buldozer.
Cerita teater tersebut didasarkan pada buku harian dan email Rachel. Rickman juga tak sendiri dalam pembuatan naskahnya. Ia dibantu oleh Katharine Viner, Editor koran ternama Inggris, The Guardian.
Dalam sebuah artikel yang dimuat di Guardian pada saat kematian Alan, Katharine menulis, “Alan tahu bahwa suara rekaman Rachel akan sangat bagus jika digunakan di panggung, dan aku waktu itu dibayar untuk membantunya mengubah rekaman suara itu menjadi sebuah cerita.”
“Kami menggubah naskahnya bersama. Cerita ini memiliki dampak yang lebih besar dari yang kami bayangkan, dengan dua kali pementasan di Panggung Kerajaan, dan produksi di seluruh dunia, dari New York hingga Haifa,” terang Katharine.
Namun saat teater di Amerika berusaha untuk menampilkan cerita itu, mereka mendapat penolakan keras. Sebuah rumah produksi Broadway merencanakan untuk memainkannya di New York Theatre Workshop, namun akhirnya dibatalkan setelah tekanan dari pihak pro-Israel.
Alan Rickman dengan marah mengutuk pembatalan itu, yang disebutnya dengan bentuk sensor. “Menunda pementasan ini tidak merubah kenyataan bahwa artinya pementasannya harus dibatalkan,” ujar Alan. “Ini sensor yang berasal dari rasa takut, dan kita semua dirugikan akibatnya.”
Secara umum, ‘My Name is Rachel Corrie’ mendapat sambutan cukup baik, meski banyak ditentang oleh kelompok pro-Zionis. “Aku tak pernah menyangka cerita ini akan menimbukan kontroversi yang akut,” ujar Alan dalam wawancara dengan koran Zionis, Haaretz. “Banyak Yahudi yang mendukung pementasan ini. Produser di New York adalah seorang Yahudi, dan kami selalu berdiskusi di setiap akhir pementasan.”
Hari ini, kisah Rachel Corrie juga terus dikenang. Ia dianggap sebagai simbol penting di seluruh dunia bagi gerakan solidaritas Palestina.
Pada bulan Maret tahun lalu, warga Palestina mencoba mengenang Rachel dengan memajang fotonya di pohon-pohon, termasuk foto-foto dari aktivis lain yang terbunuh atau cedera dari serangan militer Zionis. Tentara rezim pendudukan merespon aksi warga Palestina tersebut dengan tembakan peluru dan gas air mata, sebelum akhirnya mencabuti pohon-pohon tersebut dari akarnya.
Ben Norton
http://bit.ly/233ydz6