Gilad Atzmon adalah pemain saxophone jazz. Ia lahir di Israel dan sempat menjadi tentara Israel. Kini ia tinggal di Inggris dan menjadi pendukung Palestina. Bukunya, The Wandering Who, menjelaskan secara gamblang tentang rezim Israel dan akar konflik Palestina.
Prof. James Petras mengatakan, “buku ini lebih dari sekedar studi akan ‘politik identitas Yahudi’ sebagaimana kita sedang berhadapan dengan matriks kekuasaan yang akan mempengaruhi semua yang mendambakan kemandirian dan kebebasan saat berhadapan dengan dikte imperial dan kolonial.”
Beberapa bulan yang lalu, Dina Y. Sulaeman, Direktur Indonesia Center for Middle East Studies melakukan wawancara dengan Atzmon. Banyak topik menarik yang dibahas, termasuk bagaimana politik identitas bisa membahayakan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan bagaimana konflik Syria telah mengalihkan perhatian publik dari Palestina.
Berikut transkripnya:
Dalam buku Anda, “The Wandering Who”, Anda menulis banyak mengenai politik identitas Yahudi, apakah ‘politik identitas’ hanya khusus bagi Yahudi?
Bukan, tidak sama sekali. Di buku saya yang baru, ‘Being in Time – A Post Political Manifesto‘, saya menulis pendekatan universal mengenai politik identitas.
Politik identitas Yahudi adalah model bagi identitas politik secara umum. Di Barat, kita telah menyaksikan evolusi politik identitas gay, kulit hitam dan seterusnya. Politik identitas mengajarkan masyarakat untuk berbicara dan berpikir ‘sebagai bagian’; ‘sebagai orang kulit hitam’, ‘sebagai lesbian’, ‘sebagai feminis’, ‘sebagai muslim’, dan lain-lain.
Mengapa? Karena elit Yahudi sangat takut terhadap struktur yang sudah ada, dan mereka cenderung percaya bahwa anti-semitisme berakar pada sistem yang sudah berjalan dan persatuan kelas buruh.
The Frankfurt School dan pemikir seperti Wilhelm Reich mampu untuk merevolusikan masyarakat – atas nama ‘kemajuan’, hingga kini kita terpisah dan terlepas dari akar ‘reaksioner’ kita.
Namun sangat menyedihkan kala kita melihat gerakan kiri telah bersatu mencegah kaum buruh untuk meraih identitas yang kohesif.. ini sangat aneh karena gerakan kiri harusnya menjaga kaum buruh, menyatukan dan mendorong mereka untuk bergerak.
Gerakan kiri di Barat terganggu karena kaum buruh selalu bersatu memilih bendera, hak, nasionalisme, Trump, Hitler dan sebagainya. Dengan demikian, politik identitas modern adalah proyek yang hadir dari ikatan politik dan intelektual yang unik antara gerakan kiri dan pemikir Yahudi.
Yahudi lebih baik dalam menerapkan politik identitas dibanding kelompok lain karena alasan yang sudah jelas. Bagi para gay, kulit hitam, muslim, feminis atau lesbian, politik identitas adalah hal baru. Sementara Yahudi telah menggunakannya selama 3.000 tahun – budaya Yahudi adalah politik identitas.
Sangat masuk akal untuk menganggap bahwa politik identitas merupakan upaya untuk me-Yahudi-kan (berbalik dengan me-Yudaisme-kan) keseluruhan tatanan sosial. Ini adalah sebuah proyek yang sudah menyebabkan kehancuran budaya, sosial dan politik.
Jadi, ada perbedaan antara ‘Jew’ dan ‘Judaic’. Dalam buku, Anda mengatakan bahwa pangkal masalahnya, seperti di Palestina, adalah ke-Yahudi-an ketimbang Zionisme. Bisakah Anda menjelaskan?
Ini [memang] membingungkan.
Ke-Yahudi-an adalah paham bahwa Yahudi adalah kaum spesial, terpilih, istimewa dan layak untuk menikmati dan merayakan keistimewaan ini. Tidak semua Yahudi percaya dengan ide ini, namun banyak yang setuju.
Bahkan para Yahudi yang anti-zionis akan mengatakan, “Dengarkan kami, kami bisa mengatakan sesuatu yang kalian (goyim, non-Yahudi) tak bisa katakan, kami sebagai Yahudi dalam pergerakan, akan memberimu ‘stempel kosher‘”.
Pada dasarnya mereka mengklaim bahwa ‘kami adalah istimewa’. Norman Finkelstein, yang saya kagumi secara intelektual, biasa mengatakan, “Saya bisa mengatakan ini semua karena ibuku merupakan korban Auschwitz.”
Bagaimana denganmu, Dina? Ibumu bukan korban Auschwitz, lalu bisakah kamu mengutarakan pikiranmu? Atau mendukung Palestina? Ataukah kamu harus mengirim ibumu ke Auschwitz sebelum kamu boleh memberi penilaian atas Israel atau aspek lain dari kekuasaaan Yahudi? Ke-terpilih-an, sayangnya, melekat dalam pemikiran Yahudi.
Zionisme hanyalah satu gejala dari rasa ke-terpilih-an ini. Menariknya – dan ini pertama kali saya mengatakannya dalam wawancara – sebagian orang, termasuk teman-teman baik saya, mengatakan bahwa ‘Yudaisme telah dibajak oleh Zionisme’. Saya katakan hal itu tidak benar. Malah sebaliknya – zionisme telah dibajak oleh ke-Yahudi-an dan akhirnya Yudaisme.
Zionisme awalnya merupakan gerakan anti-Yahudi yang dimulai pada akhir abad ke-19. Ia menyatakan bahwa diaspora Yahudi merupakan identitas parasit yang buruk; mereka tidak bekerja, tidak bertani, tetapi merupakan pedagang dan bankir, kapitalis, rentenir, lintah darat dan seterusnya.. namun ini bukan sepenuhnya salah mereka.
Ini terjadi karena Yahudi tak memiliki tanah mereka sendiri, dan “setelah kita pindah ke Palestina, semua itu akan berubah.” Dan memang benar, mereka pergi ke Palestina dan dalam dua minggu mereka bertani dan membangun pabrik.
Namun lalu mereka mendapati bahwa penduduk Palestina adalah tenaga kerja berupah murah, dan mereka kembali berubah menjadi Yahudi lagi. Yang menakjubkan adalah, zionisme dulunya merupakan gerakan sekuler yang menjanjikan untuk membuat Yahudi lebih ‘beradab’.
Lalu kemudian zionisme ideologis dibajak oleh ke-khusus-an Yahudi dan kemudian oleh ke-terpilih-an Yudaisme. Meski zionisme awal bergerak untuk mengalahkan rasa ke-terpilih-an ini, Israel dan Zionisme tak menawarkan apapun selain paham ini.
Ada masalah dengan beberapa interpretasi Yudaisme. Saya menerima bahwa sebagian interpretasi ortodoks Yudaisme ada yang menolak supremasi. Namun saya belum pernah menemukan persepsi Yudais yang bisa saya terima sebagai hal universal atau etis. Yudaisme, bukan aturan universal:
- Kesukuan. Yudaisme tak pernah menyebut ‘kita’ sebagai kemanusiaan. Saat menyebut ‘kita’, yang dimaksud adalah Yahudi saja.
- Tidak ada etika dalam Yudaisme. Dalam Islam atau Kristen, manusia diharapkan untuk berbuat berdasar iman seperti ‘jihad’, untuk menyucikan diri. Dalam Yudaisme, ‘etika ‘ digantikan oleh ‘perintah’ dan ‘mitzvoth‘, dimana kamu harus mengikuti aturan untuk berbuat ini-itu dan tidak berbuat ini-itu. Kamu tidak seharusnya melakukan penilaian pribadi. Mereka akan mengatakan, “jangan membunuh, jangan mencuri.” Manusia harusnya tidak perlu diperintah untuk tidak membunuh, karena mereka tahu itu hal yang tidak pantas. Di Yerusalem, peraturan menggantikan etika!
Namun jika kita katakan akar masalah Palestina adalah ke-Yahudi-an (bukan zionisme), mereka akan menganggap kita sebagai anti-Yahudi.
Memang tidak enak, namun ini adalah taktik yang biasa digunakan untuk membungkam diskusi. Namun, kita tidak membicarakan orang secara individual, kita merujuk pada ideologi dan kita harusnya bisa mengkritik ideologi. Namun, sebagaimana kita lihat, beberapa Yahudi tak menginginkan kita melakukan itu, untuk alasan yang sudah jelas.
Apakah kamu pernah mengalami politik identitas juga di Indonesia?
Kurang lebih begitu… Kami punya beberapa kelompok muslim yang selalu mengatakan bahwa muslim ditindas oleh etnis China dan umat Kristen; dan menuduh pemerintah sebagai pro-China/Kristen.
Saya tidak begitu mengikuti politik dan masyarakat Indonesia, namun kamu baru saja membenarkan apa yang sudah saya katakan – politik identitas selalu digunakan sebagai upaya untuk melemahkan bangunan hegemonis.
Sebagai bangsa, kita menikmati keleluasaan untuk bergerak sebagai satu kesatuan. Tidak masalah jika kamu Muslim, Kristen, atau Hindu, kita hidup bersama, saling peduli karena kita berbagi tanah yang sama, dan nilai terpenting sebagai negara adalah kesehatan, pendidikan, pekerjaan (produksi, manufaktur).
Jika saya berbicara ‘sebagai muslim’, ‘sebagai kristen’, ‘sebagai perempuan’, ‘sebagai lesbian’, saya berperan untuk memecah masyarakat dalam sekat-sekat. Hal yang menarik dalam pemecahan sekat, adalah setiap sekat merupakan sekat kosmopolitan.
Jika saya menganggap diri sebagai pengusung identitas Islam maka batas wilayah identitas saya bukanlah batas fisik Indonesia, ia melebar ke Malaysia, ke Timur Tengah, ke Balkan, bahkan Eropa dan Amerika Serikat. Jika saya menganggap diri sebagai gay, batas wilayah saya juga menembus ke luar perbatasan negara saya.
Ini persisnya bagaimana politik identitas Yahudi bekerja. Yahudi, seperti yang kita tahu, tidak terikat dengan batasan geografis, karena ia merupakan identitas kosmopolis. Zionisme awalnya berusaha untuk meruntuhkan sifat kosmopolitan ini.
Sebagai contoh, di Amerika, saya berbicara mengenai para patriot melawan para pengusung identitas, dimana para patriot melihat diri mereka sebagai warga Amerika. Jadi kamu bisa saja berkulit hitam, gay, Yahudi, namun kamu bisa mengatakan: Saya seorang warga Amerika yang kebetulan berkulit hitam, yang kebetulan Yahudi atau kebetulan gay.
Namun para pengusung identitas melihat diri mereka secara sektarian: Saya seorang gay yang hidup di Amerika, seorang muslim yang hidup di Amerika. Dan ini perbedaannya sangat besar.
Karena jika kamu mengidentifikasi diri sebagai gay, minat utamamu adalah mempromosikan hak dan minat gay, misalnya, untuk mendirikan rumah sakit khusus AIDS. Jika kamu mengidentifikasikan diri sebagai kulit hitam, kamu ingin alokasi khusus untuk orang-orang kulit hitam dan ragam kebutuhan mereka.
Namun bagi para patriot, siapapun mereka, yang paling penting adalah pembangunan pabrik baru supaya kita, sebagai kolektif (gay, kulit hitam, Yahudi, dsb) bisa memiliki alasan untuk bangun pagi dan pergi bekerja.
Jadi, dalam pandangan Anda, nasionalisme sangat penting, begitu?
Jika kapitalisme global adalah masalah, dan saya pikir demikian, maka sosialisme nasional bisa menjadi jawaban. Apa yang saya maksud dengan sosialisme nasional adalah lokalisme yang digabung dengan kesetaraan.
Saya tidak maksudkan sebagai rasisme, saya sendiri anti-rasis. Namun saya juga anti penindasan. Mungkin saya bisa katakan visi saya tentang sosialisme nasional sangat mirip dengan George Orwell. Patriotik namun humanis: anti-rasis dan anti-penindasan.
Saya ingin berbicara mengenai Syria dengan Anda. Apakah Anda pikir konflik Syria mengalihkan perhatian publik dari Palestina?
Benar, ini merupakan pengamatan yang sudah jelas. Krisis di Syria merupakan bencana mengerikan dan tentu ia mengalihkan perhatian dari Palestina, dan siapa yang diuntungkan dengannya? Israel, tentu saja.
Ini mengapa kita jangan terkejut jika pemain utama dalam penciptaan krisis ini adalah Israel dan Lobi Yahudi. Dan kita jangan heran jika Israel dan Lobi Yahudi kini mulai berpindah kubu. Awalnya mereka mendukung al-Nusra, namun kini mereka sepertinya sekubu dengan Rusia.
Turki juga sudah berpindah haluan, mereka masih tak menyukai Assad namun mereka lebih memilih Assad ketimbang berdirinya negara Kurdi di perbatasan timur Turki.
Jadi kita sedang berhadapan dengan oportunisme global yang mematikan. Banyak di antara jaringan aktivis pro-Palestina juga berubah haluan, dimana mereka sebelumnya anti-Assad, dan kini menjadi pro-Assad.
Di sini, pemimpin Palestina tidak terlalu [mampu] berpolitik. Rezim Assad sangat mendukung Palestina. Hafez, ayah Bashar, mendukung Hamas secara penuh. Sangat menyedihkan melihat bagaimana cepatnya Hamas memutuskan untuk menentang Assad.
Saya memahami mengapa hal itu terjadi.. Qatar, Saudi, aliansi Sunni, Ikhwanul Muslimin. Saya tak suka mengkritisi Palestina dan politik mereka, namun di sini mereka tidak begitu cerdas.
Pertanyaan terakhir, bagaimana masa depan Palestina?
Saya tak berpikir bahwa kita sedang bergerak menuju negosiasi damai, rencana damai atau upaya rekonsiliasi. Saat orang berbicara mengenai dua negara, yang mereka maksudkan adalah dua negara Yahudi.
Namun saya percaya bahwa dalam 20-30 tahun ke depan, kita akan menyaksikan bahwa Palestina akan menjadi mayoritas di situ. Hanya masalah waktu. Dalam hal ini, saya setuju dengan Abbas. Semua sepertinya cenderung membencinya, namun Abbas memahami bahwa waktu berpihak pada warga Palestina. Bagi Abbas, demografi adalah satu-satunya bom milik Palestina.
Jadi Anda tidak setuju dengan jihad?
Saya tak mengatakan saya anti-jihad. Jika warga Palestina melawan, mereka akan selalu mendapat dukungan saya. Mereka hidup di neraka dan saya akan selalu mendukung mereka. Ini peran saya.
Namun saya tidak dalam posisi untuk menyarankan solusi atau mendorong mantra politik atau militer. Saya melihat diri saya sebagai warga Palestina (berbahasa Ibrani), namun saya tak tinggal di sana.
Saya tak bisa mendorong orang-orang supaya terbunuh sementara saya hidup nyaman di London. Saya juga tak bisa menyuruh mereka untuk duduk dan menunggu.
Tugas saya sebagai intelektual adalah mencoba menjelaskan apa yang terjadi. Abbas pernah mengatakan jika kita terlibat perang, mereka (Israel) akan mengusir kita semua, membunuh kita semua, tanpa ampun – dan dia benar.
Jadi, kita hanya perlu duduk dan menunggu, karena tanah itu akan kembali menjadi milik Palestina, dari sungai hingga ke laut.
Apakah Anda merujuk ke demografi?
Tentu saja!
Indonesia Center for Middle East Studies (ICMES)
http://ic-mes.org/politics/interview-with-gilad-atzmon/