Tentang S-400
Kesepakatan di Moskow yang paling mencolok – Rusia menjual misil anti pesawat S-400 ke Arab Saudi – menurut saya banyak disalahpahami.
Konteks dari kesepakatan ini adalah diskusi yang masih berlangsung antara Iran dan Rusia mengenai penjualan pesawat tempur generasi keempat seperti MiG-29 dan SU-27. Pihak Iran dikatakan meminta – dan kemungkinan besar akan mendapatkan – pesawat tempur generasi keempat plus yang lebih mutakhir seperti SU-30 dan SU-35.
Dalam keadaan seperti ini, diplomasi Rusia biasanya akan menyeimbangkan penjualan persenjataan ke satu negara dengan negara mutakhir dari Rusia untuk angkatan udara Iran.
Pihak Rusia diyakini telah menawarkan Iran pesawat tempur gerivalnya. Dengan cara itu Rusia – yang memiliki prioritas mempertahankan stabilitas – memastikan keseimbangan kekuatan tetap terjaga, sambil mencegah keterikatan berlebihan ke satu pihak atau pihak lainnya dalam satu wilayah pertikaian yang dapat menutup jalur kerja sama di masa depan.
Dalam kasus pembicaraan penjualan pesawat tempur Rusia ke Iran, militer Iran dengan persenjataan terlemah adalah angkatan udaranya, yang bergantung pada gabungan pesawat tempur yang diberikan oleh AS untuk angkatan udara Syah pada tahun 1970-an, ditambah dengan beberapa MiG-21 era 1980-an yang disuplai dari Cina dan beberapa pesawat Irak bekas Soviet yang dievakuasi ke Iran oleh Saddam Hussien selama Perang Teluk 1990-1991.
Iran membutuhkan pesawat modern dalam waktu dekat untuk meningkatkan kemampuan angkatan udaranya dengan pesawat gado-gadonya yang sudah usang, dan secara realistis Rusia merupakan satu-satunya Kekuatan Adi Daya yang dapat memberikan apa yang mereka butuhkan (pengiriman pesawat Cina ke Iran seperti J-10 terkadang juga dibicarakan. Namun hal ini juga membutuhkan persetujuan dari Rusia karena semua pesawat tempur Cina saat ini menggunakan atau dikembangkan dari mesin dari Rusia).
Namun akuisisi Iran terhadap sejumlah besar pesawat tempur Rusia akan membuat perubahan radikal pada keseimbangan kekuatan di Teluk dan Timur Tengah.
Maka dari itu Rusia menawari Arab Saudi misil anti pesawat S-400, yang karena lebih bersifat defensif tidak secara langsung mengancam Iran, namun akan dapat memberikan Saudi perlindungan dari pesawat tempur mutakhir yang Rusia persiapkan untuk dijual ke Iran.
Dengan cara itu Rusia mampu membuat semua pihak puas, meski pun tidak bisa dibilang senang; menyeimbangkan penjualan pesawat tempur mutakhir mereka ke Iran dengan penjualan misil anti pesawat yang setara kepada rival regional Iran Arab Saudi, akan melanggengkan hubungan Rusia dengan Iran dan Arab Saudi dan menjamin keseimbangan kekuatan militer di Teluk dan Timur Tengah.
Bukanlah sebuah kebetulan bahwa tak lama setelah kunjungan Raja Salman ke Rusia, Presiden Putin mengunjungi Iran di mana dia bertemu dengan Presiden Rouhani dan Pemimpin Agung Iran Ayatollah Khamene’i.
Tidak diragukan lagi bahwa permasalahan mengenai penjualan pesawat militer Rusia ke Iran akan dibahas pada pertemuan ini, di mana Iran pasti akan meminta pesawat tempur SU-30 dan SU-35 yang [lebih] mutakhir dan mengusahakan perjanjian produksi dan lisensi, dan Putin akan menjelaskan alasan perjanjian Rusia terbaru untuk menjual misil anti pesawat S-400 kepada Arab Saudi.
Tujuan Raja ke Moskow
Tujuan lain kunjungan Raja Salman ke Moskow, Saudi dengan cemas harus memastikan bahwa Rusia terus menjalani persetujuan untuk mengurangi prosuksi minyak, dan juga mencari jaminan batas komitmen Rusia dengan Iran.
Rangkaian kejadian sejak tahun 2014 menunjukkan bahwa Arab Saudilah yang jauh lebih rentan terhadap turunnya harga minyak dibanding Rusia (lihat di atas) dan Arab Saudilah yang membutuhkan bantuan Rusia dengan cara mengurangi prosuksi minyak dan bukan sebaliknya.
Dalam hal hubungan Rusia dengan Iran, pada akhirnya Arab Saudi tidak berniat untuk mendorong Rusia untuk menjalin persekutuan yang kuat dengan Iran, dan berbagai tawaran investasi Saudi Raja Salman dalam bidang ekonomi Rusia sebagian bertujuan untuk memastikan hal tersebut tidak terjadi.
Pihak Rusia sendiri tidak hanya menyambut tawaran ini; mereka juga tampaknya menekan Raja Salman untuk membuat komitmen finansial demi memulihkan ekonomi Suriah – yang hancur karena perang selama enam tahun – yang merupakan prioritas bagi Rusia.
Rangkuman Kunjungan ke Moskow
Secara keseluruhan kunjungan Raja Salman ke Rusia bukanlah bukti Saudi menjauh dari AS dan mendekat ke kekuatan Eurasia. Kunjungan tersebut bisa dilihat sebagai [proses] tawar menawar yang alot untuk keuntungan maksimal yang sangat dikuasai Rusia.
Alih-alih terlalu dekat dengan Iran, dan menempatkan mereka pada satu sisi pertikaian Iran-Saudi yang bukan kepentingan langsung mereka, pihak Rusia berhasil menggunakan hubungan yang makin dekat dengan Iran untuk mendapatkan konsesi dari Arab Saudi, sambil menjual misil S-400 sebagai jaminan dan juga pemanis.
Gaya diplomasi inilah yang tidak lagi dilakukan oleh AS dan kekuatan Barat – hilang dari antara strategi geopolitik mereka yang semrawut – dan tidak lagi mereka pahami.
Namun di Timur Tengah gaya ini sangat dimengerti. Bukan tanpa alasan Presiden Rusia Putin dikenal sebagai “Putin si Rubah” di Timur Tengah.
Ibn Salman; Anak Muda Galau yang Sembrono
Secara keseluruhan aksi-aksi Muhammad bin Salman mustahil untuk dilihat sebagai strategi ‘reformasi’ yang sudah dipikirkan secara matang.
Seperti apa program reformasi sejati – dan realistis – seharusnya, saya membahasnya dalam artikel saya sebelumnya di mana saya membahas rencana ekonominya yang sangat tidak realistis.
“Pada kenyataannya apa yang Arab Saudi perlu lakukan bukanlah terlibat dalam program belanja besar-besaran yang hanya akan membuat situasi ekonomi negara memburuk, tapi justru harus memangkas pengeluaran yang sudah ada secara radikal, sehingga pada akhirnya bisa hidup sesuai kemampuan.
Hal tersebut berarti memikirkan bagaimana mengakhiri sistem subsidi dan keistimewaan luas yang menghancurkan dan mencekik ekonomi, dan yang merusak kehidupan [negara] karena kedua hal tersebut berasal dari penjualan minyak dan bukan dari pajak.
Hal ini berarti mengusahakan menyudahi sistem nilai tukar tetap antara riyal Saudi dan dolar AS, yang memparah masalah anggaran negara saat harga minyak rendah, dan yang menambah defisit perdagangan nonminyak dengan mempersempit daya saing ekonomi negara tersebut di bidang nonminyak.
Hal ini juga berarti mundur dari kebijakan luar negeri yang terlalu ambisius yang malah menyebabkan destabilisasi, yang tidak memberikan hasil apa pun selain menyebarkan terorisme ke seluruh Timur Tengah, termasuk di Arab Saudi sendiri, sementara pada saat yang bersamaan juga menjerumuskan Arab Saudi ke dalam perlombaan senjata dengan Iran, yang tidak mungkin dimenangi Arab Saudi karena sumber daya Iran yang jauh lebih superior.
Perihal besarnya jumlah yang digunakan Arab Saudi untuk belanja senjata – yang tidak dapat dan tidak berniat untuk digunakan – Arab Saudi lebih baik menggunakan anggaran tersebut untuk pendidikan masyarakatnya untuk mempersiapkan mereka akan peran sejati dalam pemerintahan negara tersebut.
Selain memperbaiki sistem pendidikan nasional – yang berada dalam kondisi sangat buruk, dipenuhi oleh kefanatikan dan prasangka – hal tersebut juga berarti menyediakan beasiswa bagi anak-anak muda Saudi – pria dan wanita – dari keluarga miskin untuk belajar di universitas di luar negeri.
Secara obyektif kesemua hal ini memungkinkan, dan belum terlambat untuk dijalankan. Bila dilakukan maka dalam waktu 10 sampai 20 tahun Arab Saudi akan bertransformasi menjadi lebih baik.”