Sejarah Konflik Internal

Hasilnya adalah sebuah negara yang mana di bawah permukaan monolitiknya telah berulang kali dihancurkan oleh krisis internal yang keras.

Pada tahun 1979 sekelompok Jihadis kejam meluncurkan perlawanan tunggal terhebat yang pernah dihadapi Al-Saud sejak berdirinya Kerajaan pada tahun 1930-an saat kelompok tersebut mengambil dan menduduki masjid agung Mekah – rumah ibadah paling suci umat Islam – selama beberapa minggu, tempat yang memberikan legitimasi relijius bagi Al-Saud. Pada akhirnya – yang makin memalukan bagi Al-Saud – kelompok tersebut hanya bisa diusir dengan bantuan tentara Pakistan dan penasihat dari Perancis.

Selama tahun 1990-an – masa terlama harga minyak rendah sampai saat ini dan termasuk dalam masa paceklik ekonomi Arab Saudi – situasi kembali menurun dan pada akhirnya menjadi begitu buruk sampai-sampai pada awal 2000-an pemberontakan Jihad terhadap Al-Saud mulai menjamur di seluruh Kerajaan, nyaris terjadi perang saudara namun berhasil dihindari, yang sebagian alasannya adalah kenaikan harga minyak.

Kebijakan Luar Negeri: Legitimasi dengan Klaim Kepemimpinan Islam

Bukan saja masalah ini sendiri sudah cukup berat, Al-Saud sejak tahun 1980-an – sebagian sebagai respon dari pengepungan masjid Mekah tahun 1979 yang mengguncang – malah memperparah keadaan dengan menjalankan kebijakan luar negeri yang terlalu ambisius namun sembrono.

Kebijakan ini termasuk menggunakan sentimen Jihadis yang sama, yang telah sangat menyusahkan keluarga Al-Saud di dalam kerajaan, untuk mencoba memobilisasi dukungan internasional dari luar sementara mengamankan legitimasi Al-Saud di dalam negeri.

Sementara sebagian dari tujuan tersebut tidak diragukan lagi adalah untuk mengeluarkan anak muda yang berbahaya dan sudah diradikalisasi oleh sentimen Jihadis dari Kerajaan dengan cara mengekspor mereka ke luar negeri untuk membuat kekacauan di tempat lain, keluarga Al-Saud juga mencoba untuk memanipulasi anak-anak muda ini untuk mencapai tujuan kebijakan luar negeri mereka.

Ekspor anak-anak muda kejam dari semenanjung Arab ini berjalan bersamaan dengan program masif di mana Saudi menggunakan kekayaan minyak mereka untuk mengubah sekolah-sekolah Islam dan perguruan-perguruan tinggi agama di seluruh dunia dengan doktrin Wahabi puritan garis keras yang membentuk ideologi relijius resmi Arab Saudi. Tujuannya adalah untuk mengubah Wahabisme dari doktrin kecil dalam Islam Sunni menjadi [doktrin] utama.

Sasarannya adalah untuk melegitimasi posisi Al-Saud di dalam dan di luar Kerajaan dengan menetapkan mereka sebagai pemimpin Islam Sunni dan pada akhirnya Islam secara keseluruhan.

Langkah yang menentukan adalah sebuah keputusan pada tahun 1986 yaitu menambahkan gelar “Penjaga Dua Masjid Suci” pada gelar resmi Raja Saudi.

Gelar “Penjaga Dua Masjid Suci” pertama kali digunakan oleh pemimpin Sunni Saladin pada abad kedua belas, dan sejak itu digunakan oleh Sultan-sultan Mamluk dari Mesir dan Sultan-sultan Ottoman dari Turki.

Semua penguasa ini memakai gelar tersebut sambil mengklaim sebagai pemimpin Islam Sunni, sementara Sultan-sultan Ottoman juga mengklaim sebagai Kalifah Islam.

Dengan mengadopsi gelar “Penjaga Dua Masjid Suci” Raja Saudi juga mengklaim dirinya berada pada posisi tinggi di Islam Sunni dan mengajukan dirinya sendiri sebagai pemimpin Islam Sunni.

Musuh-Musuh dan Perseteruan dengan Iran

Pada praktiknya target dari klaim sebagai pemimpin Islam Sunni adalah supaya bisa menggunakan Jihadisme melawan gerakan politik lawan dan negara-negara lain dalam dunia Muslim yang menantang klaim Raja Saudi sebagai pemimpin atau – yang paling berbahaya – yang menawarkan pendekatan alternatif Islam yang berbeda dari Saudi.

Yang pertama dan utama adalah Republik Islam Iran. Sebelumnya saya telah membahas perbedaan mendasar antara Arab Saudi dan Iran dan bagaimana kedua negara Muslin ini sangat berbeda satu sama lain, di mana Iran menawarkan visi masyarakat Islam yang modern dan demokratis yang mana tidak mungkin dicapai oleh Arab Saudi.

Konsekuensi yang tak terhindarkan dari kebencian Saudi terhadap Iran adalah kebencian Saudi terhadap populasi Syiah di dunia Muslim, yang mana tidak saja per definisi tertarik pada Iran dan visi masyarakat Islam yang dipraktikkan di negara tersebut, tapi juga per definisi menolak klaim Saudi sebagai pemimpin dunia Islam. Tidaklah mengejutkan bila [kaum] Syiah di dalam Arab Saudi sendiri menjadi target kecurigaan yang mendalam dan diskriminasi dan penindasan.

Namun kebencian Saudi juga bersifat sekuler dan multi-confessional di dalam dunia Muslim seperti di Afganistan pada tahun 1980-an dan Suriah, Irak, dan Libanon sekarang.

Persekutuan dengan AS dan Israel

Kebijakan-kebijakan ini bagaimana pun membuat Al-Saud menjadi musuh di area Timur Tengah.

Kebijakan-kebijakan ini juga sangat mahal, Kerajaan menjalankan aksi murah hati demi kepemimpinan di dunia Muslim yang mana jauh melampaui sumber dayanya yang sangat terbatas.

Kebijakan-kebijakan tersebut juga berkontribusi lebih jauh dalam radikalisasi anak-anak muda di semenanjung Arab, memperparah masalah internal Al-Saud.

Pada tahap di mana kebijakan-kebijakan ini sukses tercapai, kesuksesan ini seluruhnya tercapai karena kemampuan Saudi untuk mendapatkan dukungan dari sekutu mereka yang jauh lebih kuat: AS dan Israel.

Namun hal ini juga membuat Saudi terbuka terhadap manipulasi oleh sekutu mereka sehingga pada konflik Timur Tengah seperti di Suriah tidaklah mudah untuk mengatakan siapa yang mengeksploitasi siapa.

Krisis: Minyak dan Suriah

Dalam penilaian obyektif mana pun jelas terlihat sejak dulu kalau situasi ini – baik secara domestik mau pun eskternal – tidak mungkin dipertahankan. Meski pun pengincaran Saudi akan posisi kepimpinan Islam pasca-1980-an diperkuat sementara oleh legitimasi Al-Saud di dalam Kerajaan, harga yang harus dibayar adalah bertambahnya kekerasan di regional Arab Saudi dan bertumbuhnya sentimen Jihadis berbahaya di dalam negeri.

Namun pada periode 2014-2015 terjadi dua peristiwa yang mendorong situasi ini menjadi krisis nyata.

Jatuhnya harga minyak pada 2014

Yang pertama adalah jatuhnya harga minyak yang terjadi pada pertengahan 2014.

Ada masa di mana Saudi sempat berpikir bahwa mereka tidak hanya dapat melewati masalah ini namun bahkan dapat membalikkan keadaan sehingga mereka akan diuntungkan dengan menggunakan jatuhnya harga minyak untuk melakukan price out (memaksa kompetitor berhenti berbisnis dengan menawarkan harga yang lebih rendah atau diskon – penerjemah) produsen shale (minyak yang didapat dari hidrogenasi serpihan batu sedimen – penerjemah) di AS. Namun pada tahun 2016 tampaknya tekanan sosial di dalam Arab Saudi yang disebabkan oleh turunnya harga minyak menjadi terlalu besar, memaksa Saudi pindah haluan.

Sejak saat itu Saudi bekerja sama dengan produsen minyak lainnya – terutama dengan Rusia – untuk menstabilkan harga minyak, yang  tetap jauh di bawah harga pra-2014.

Saya juga harus mengatakan bahwa saya selalu membantah teori yang dikenal luas bahwa Saudi sengaja menghancurkan harga minyak pada tahun 2014 atas permintaan AS untuk menghancurkan stabilitas Rusia. Bukan saja tidak ada yang menjelaskan kenapa Saudi mau saja menjalani permintaan AS tersebut, namun usaha Saudi yang makin panik sejak tahun 2016 untuk meningkatkan harga minyak justru menunjukkan betapa terbatasnya kontrol mereka terhadap harga minyak.

Dalam kasus ini, sebagaimana yang bisa kita lihat, turunnya harga minyak menyebabkan kesulitan bagi Arab Saudi jauh lebih besar dibanding kesulitan yang dialami oleh Rusia. Sementara ekonomi Rusia yang besar dan beragam dengan cepat dan mudah menyesuaikan dengan turunnya harga minyak, Saudi-lah – yang jauh lebih tergantung pada harga minyak dibanding Rusia – yang masih berjuang.

Siapa pun yang punya pengetahuan mengenai kedua negara ini pada tahun 2014 pastilah telah mengantisipasi hal tersebut. Hal ini adalah kesaksian akan betapa butanya mereka sehingga mereka tidak mampu mencegahnya.