Kekalahan di Suriah
Peristiwa kedua yang terjadi setelah 2014 yang mengguncang Saudi adalah kekalahan pemberontak Jihadis yang disokong Saudi di Suriah setelah adanya intervensi Rusia.
Di sini harus dikatakan bahwa tidak hanya Arab Saudi sangat berkomitmen dalam pemberontakan tersebut, tapi juga salah satu pangeran Saudi garis keras yang terlibat mendukung adalah tidak lain Pangeran Salman bin Abdul-Aziz Al-Saud, yang sekarang menjadi Raja Salman, Raja Arab Saudi, dan ayah dari Putra Mahkota Muhammad bin Salman.
Tidak hanya kekalahan ini berarti bertahannya – bahkan menguatkan – pemerintahan Assad di Suriah yang hendak dihancurkan Saudi, hal ini juga berarti meningkatnya kekuatan dan pengaruh musuh Arab Saudi dan sekutu Presiden Assad: Republik Islam Iran.
Yang makin memperberat kegagalan tersebut adalah berbalik arahnya salah satu sekutu dengan kekuatan Sunni besar lainnya di Timur Tengah – Turki – yang juga mengalami kekalahan di Suriah seperti Arab Saudi, yang merespon kekalahan tersebut dengan memperbaiki pagarnya dengan pemenang perang Suriah: Rusia dan Iran.
Arab Saudi yang sampai baru-baru ini merupakan pusat dari jaringan negara-negara Sunni, sekarang harus menyaksikan bagaimana dua dari negara-negara Sunni terkuat – Turki dan Pakistan –menjadi lebih bersahabat dengan musuh mereka, Iran, di mana Iran dengan pertolongan Rusia sekarang berada dalam proses membentuk persekutuan regional dengan Suriah, Irak, dan Libanon, yang berpotensi menjadi persekutuan yang kuat, yang dipandang oleh Arab Saudi sebagai ancaman terhadap dirinya.
Muhammad ibn Salman; Respon Terhadap Krisis
Kegagalan dan krisis yang dialami Saudi merupakan dasar dari aksi-aksi Muhammad bin Salman.
Aksi-aksinya semenjak dirinya muncul tiba-tiba setelah suksesi ayahnya Raja Salman pada Januari 2015 tidak tampak sebagai program reformasi yang telah dipikirkan secara matang.
Malahan aksi-aksinya tampak sebagai aksi yang impulsif dan tidak bijaksana dari seorang anak muda tak berpengalaman dengan tujuan membalikkan kekalahan yang baru saja dialami oleh Arab Saudi, sehingga bisa memulihkan posisi Arab Saudi seperti sedia kala sebelum mengalami kekalahan tersebut.
Aksi Ibn Salman sejak 2015
Pertama adalah invasi Yaman – diluncurkan pada Maret 2015, hanya beberapa minggu setelah Raja Salman naik tahta – melibatkan 150.000 tentara Saudi, 100 pesawat Saudi, dan kontingen dari berbagai negara-negara Teluk sekutu Saudi.
Lalu pada tahun 2016 kebijakan Saudi sebelumnya yang membiarkan pasar minyak menstabilkan diri sendiri tiba-tiba dibalik, dengan Arab Saudi yang pertama-tama setuju untuk membekukan produksi dan kemudian menjadi pengurangan produksi, meski pun hal ini berarti berdamai dengan Iran dan terutama Rusia.
Lalu tahun ini ada pertikaian dengan Qatar – rival bebuyutan Al-Saud yang dengan statiun televisinya Al-Jazeera telah lama menjadi duri dalam daging keluarga tersebut – yang dituduh terlalu dekat dengan Iran, dan sekarang berada dalam blokade.
Sekarang juga ada penculikan, penawanan yang berkelanjutan, dan ‘pengunduran diri’ paksa Perdana Menteri Saad, yang memimpin sebuah pemerintahan, yang karena memasukkan anggota Hizbullah, dipandang terlalu dekat dengan Iran oleh Muhammad bin Salman dan Saudi.
Yang terakhir adalah “pembersihan” di dalam Arab Saudi sendiri, dengan rival Muhammad bin Salman untuk mendapatkan tahta – Pangeran Muhammad bin Nayef dan Pangeran Mutaib din Abdullah – disingkirkan, dan semua kekuatan keamanan Arab Saudi – angkatan darat, berbagai agen keamanan internal yang dikontrol oleh Menteri Dalam Negeri dan Tentara Nasional – dijadikan di bawah kendali pribadi Muhammad bin Salman.
Kegagalan Berulang Ibn Salman
Masalah Muhammad bin Salman adalah tidak satu pun proyeknya – dengan pengecualian stabilisasi harga minyak dan operasi “pembersihannya” yang sedang berjalan – berlangsung dengan baik.
Di Suriah pemerintahan Assad berada pada tepi kemenangan.
Di Irak pemerintahan telah menolak permintaan Saudi untuk menjauh dari Iran dan melucuti milisi terlatih Iran yang sekarang merupakan inti dari angkatan bersenjata Irak.
Di Yaman perang terus berjalan buruk bagi kaum Houthi yang sekarang meluncurkan misil jarak jauh yang salah satunya baru saja menghantam bandar udara Riyadh.
Perseteruan dengan Qatar sama saja dengan menggiring Iran, Turki, dan Rusia mendukung Qatar, sementara Qatar makin mendekat ke Iran.
Di Libanon keadaan luar biasa seputar ‘pengunduran diri’ Perdana Menteri Hariri tampaknya memicu pukulan balasan, dengan pemerintah menolak ‘pengunduran diri’ Hariri, koalisi pemerintahan (termasuk Hizbullah) makin bersatu, dan opini masyarakat Libanon makin kuat mendukung pemerintah,
Penyebab Langsung ‘Pembersihan’
Kumpulan kegagalan inilah, dan makin bertambahnya kritikan dari Pangeran-pangeran Saudi lainnya yang jelas makin memprovokasi, yang hampir pasti merupakan alasan di balik “pembersihan.”
Dihadapkan dengan bertambahnya kritikan, dan kebingungan menghadapi kegagalannya sendiri, Muhammad bin Salman berusaha untuk menciutkan dan menghadang perlawanan dan mengamankan jalannya menuju tahta dengan meluncurkan “pembersihan” sebelum dia sendiri yang menjadi korban “pembersihan.”
Menurut pendapat saya yang paling bagus mengungkapkan keadaan ini adalah mantan diplomat Britania Alistair Crooke, yang muncul sebagai salah satu komentator paling memiliki wawasan luas tentang peristiwa yang terjadi di daerah tersebut.
“[Keadaan di sana] Selalu menarik. Perang Suriah mendekati akhir, dan kerugian mereka yang bertaruh pada pihak yang kalah – tiba-tiba nyata menjelang babak akhir – menjadi genting dan memalukan bagi publik. Godaannya adalah menyingkirkan kekalahan dan memamerkan kegagahan dengan sebuah pertaruhan terakhir: “jagoan” yang dengan gagah mempertaruhkan rumahnya beserta segala isinya pada putaran roda terakhir. Mereka yang menyaksikan dengan cemas, menanti roda tersebut melambat, dan memindahkan bola sedikit demi sedikit makin ke depan, petak demi petak, dan mengamati di mana bola tersebut akan berdiam, bisa saja pada petak hitam, atau petak merah darah karena tragedi.
Tidak hanya dalam romansa, tapi juga dalam hidup, Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MbS) mempertaruhkan semuanya pada [petak] hitam, dengan “teman-temannya” – menantu Presiden Trump Jared Kushner, Putra Mahkota Abu Dhabi Mohammed bin Zayed (MbZ) dan Trump sendiri menantang MbS [untuk bertaruh]. Trump, dalam kehidupan berbisnisnya, satu dua kali mempertaruhkan masa depannya pada putaran roda. Dia juga berjudi dan mengakui sensasi keseruannya.
Dan di balik bayang-bayang, di belakang ruang judi, berdiri Perdana Menteri Israel Bibi Netanyahu. Pergi ke kasino bagaimana pun memang idenya. Bila sang jagoan dapat hitam, dia ikut senang, tapi kalau merah … bukan masalah: rumah Bibi tidak ikut hilang.
Mari kita perjelas, MbS memutuskan semua rantai yang mengikat kerajaan Saudi. Arab Saudi bukan saja bisnis keluarga: negara ini juga merupakan konfederasi suku dan kaum. Kepentingan mereka yang berbeda-beda diakomodasi, pada dasarnya, melalui pembentukan dan naungan Tentara Nasional. Yang terakhir justru merefleksikan bahwa afiliasi suku yang berragam bukan lagi hal yang utama, namun mengamankan kepentingan satu orang, yang telah mengambil semuanya untuk dirinya sendiri.
Begitu pula tentang banyaknya keturunan keluarga al-Saud: pembagian kekayaan bagi yang berhak yang dulu dipertimbangkan matang sekarang tidak lagi. Satu orang sudah mengambil taruhan-taruhan kecil semua orang. Dia telah memutuskan tali yang menghubungkan Pengadilan dengan elit bisnis Saudi – dan pelan-pelan menjauhkan diri dari Wahabi juga. Kaum Wahabi telah ditendang dari kemitraan, yang mereka dirikan bersama ibn Saud, monarki pertama Arab Saudi yang berkuara selama paruh pertama abad terakhir, yang juga dikenal sebagai Raja Abdul Aziz. Singkatnya, tak seorang pun masih punya sesuatu untuk dipertaruhkan, kecuali MbS – dan tampaknya tak seorang pun punya hak, atau mampu untuk memperbaiki keadaan.
Kenapa? Karena MbS melihat kepemimpinan politik dan relijius Saudi di dunia Arab mulai lolos, seperti pasir, dari genggaman raja, dan dia tidak berani membayangkan bahwa Iran (dan Syiah yang dibencinya), bisa menjadi penerus.”