Singkatnya, digaji negara untuk mengkhianati negara. Dan seperti yang para pembaca setia Resistensia ketahui, para kombatan asing yang masuk membanjiri Syria lewat perbatasan Turki-Syria karena pembiaran oleh Kurdi inilah yang kelak menjelma menjadi berbagai organisasi teror bermanhaj Wahhabi, misalnya Daesh, Jabhat al Nusra, Brigade al Qaratayn, Ahrar al Sham, dan berbagai sempalan lainnya.
Beda kemasan, isinya sama semua. Jadi, upaya penggiringan opini pro-Kurdi secara masif dan sistematis oleh media-media neocon dengan cara mengacuhkan fakta betapa oportunistiknya Kurdi, adalah hal yang menggelikan dan menghina intelijensi dan ingatan para penonton dan pembacanya di berbagai belahan dunia.
Para pembaca budiman Resistensia sampai pada titik ini, mungkin saja akan bertanya, lho kenapa mereka bertempur di Kobane dengan begitu sengitnya kalau awalnya Kurdi netral bahkan membiarkan para mujahilin masuk kedalam wilayah kedaulatan Syria?
Ya, kembali lagi kepada sifat oportunistik Kurdi. Kalau saja mereka lebih berintegritas, arus masuk para kriminal asing kedalam Syria tidak akan sebegitu parahnya. Kalau saja mereka lebih berintegritas, tentu tragedi Sinjar tidak perlu sampai terjadi.
Begitu para teroris tersebut mulai mengincar wilayah-wilayah Kurdi, barulah para milisi ‘heroik’ Kurdi tersebut mau mengangkat senjata memerangi para teroris. Dan seiring dengan bergesernya kepentingan mereka, karena pembiaran kepada para teroris justru menjadi senjata makan tuan mereka, upaya mereka melawan balik ancaman para takfiri pun disorot dan ditampilkan secara hiperbolis oleh media-media Barat.
Saking hiperbolanya, para milisi Kurdi digambarkan sebagai para pejuang demokratis yang nyaris tanpa cela. Terlebih lagi karena mereka mengusung emansipasi wanita dan merekrut milisi-milisi perempuan. Semua ini demi memasarkan ‘kartu baru’ Kurdi ini, sekalian menguji respon pasar dunia terhadap protagonis baru dalam perang Syria: bangsa Kurdi.
III: Perspektif Dunia Terhadap Kurdi – Pasca Kobane
Bisa dibilang upaya marketing Kurdi oleh media-media Barat dan Teluk cukup berhasil. Selain diekspos tiada henti selama peliputan pertempuran kota Kobane, respon masyarakat dunia ternyata cukup positif dan simpatik terhadap perjuangan Kurdi.
Efeknya cukup terasa bahkan di linimasa media sosial Facebook kita pada masa itu, banyak yang bersimpati dan menggunakan profile picture bertema Peshmerga ataupun bendera Kurdi.
Para netizen aktivis media sosial, seperti Permadi Arya misalnya, turut terjun dalam euforia dunia pada waktu itu. Saya pribadi pada waktu itu juga cukup terpana dan salut dengan kemenangan mengejutkan YPG Kurdi terhadap Daesh di Kobane pada awal 2015, bahkan beberapa kali membagikan tautan, gambar dan memes yang relevan dengan kejadian tersebut di laman FB pribadi.
Tetapi itupun tidak berlangsung lama, karena pada saat itu jugalah, saya pribadi juga mulai terkaget kok bisa-bisanya kita semua searus dengan narasi media Barat, padahal selama ini kita kerap pertanyakan dan pertentangkan sajian informasi mereka karena liputan ultra-subyektif mereka perihal perang Syria. Ya, media-media itu yang juga berhasil memasarkan para teroris biadab sebagai ‘pemberontak demokratis & moderat’.
Itu tadi sedikit saja dari sekian banyak contoh dari dampak pemberitaan Kurdi kepada para netizen. Sekarang pada cakupan yang lebih luas, efek pada dunia nyata juga bisa dibilang cukup signifikan, terbukti dari para simpatisan Kurdi dari berbagai negara Eropa, mayoritas dari Belanda, bahkan turut bepergian menuju Syria dan bertempur bersama para milisi Kurdi di lini depan melawan para teroris Daesh.
Euforia Kurdi ini sukses mengaburkan fakta bahwa yang paling menderita di Syria dari 2011 sampai sekarang, adalah bangsa dan rakyat Syria. Euforia ini memberikan kesan yang mendalam dan diulang-ulang terus sampai disadari atau tidak, tertancap dalam mindset sebagian besar orang, bahwa etnis Kurdi-lah yang paling menderita dalam perang ini, etnis Kurdi-lah yang harus diselamatkan dari kemungkinan genosida oleh Daesh, dan serangkaian propaganda lainnya.
Saya disini tidak membantah bahwa mereka juga turut menderita akibat perang, tetapi keberatan dengan subyektivitas pemberitaan Barat yang menggambarkan seolah mereka saja yang paling menderita, sementara seisi Syria yang paling dirugikan dan menderita malah diacuhkan, itu sangatlah tidak adil.
Efek yang lebih masif dari pemberitaan berbulan-bulan tentang ‘heroisme dan penderitaan’ Kurdi adalah banjirnya bala bantuan dari banyak negara di dunia, terutama negara-negara Eropa, kepada elemen-elemen Kurdi baik di Syria maupun Iraq.
Bantuan yang paling mencolok dan mencurigakan datang dari Jerman, yang bukan hanya mengirimkan logistik pangan dan alutsista, tetapi juga menerjunkan banyak penasehat militer NATO yang lekas melebur dalam berbagai barisan tempur Kurdi.
Seiring dengan semakin tingginya respon positif masyarakat dunia terhadap ekspos berita mengenai Kurdi, maka semakin nyaring juga suara-suara lantang yang meneriakkan kedaulatan bangsa Kurdi dan pentingnya mendirikan semacam negara untuk mereka.
Negara yang kelak, apabila benar dibentuk, akan mengorbankan sebagian wilayah, demografis dan tatanan sosial negara-negara terkait, yaitu Syria, Iraq, Iran dan Turki. Dan sekarang, mengenai Turki..
IV: Kurdi Dan Kecemasan Turki
Diantara sekian banyak negara koalisi penyokong kaum pemberontak takfiri di Syria, hanya Turki-lah yang berbeda dengan para sekutu koalisinya dalam menyikapi euforia Kurdi. Negara-negara sekutu lainnya seperti Amerika, Jerman, Inggris cenderung antusias dan menawarkan kerjasama dengan para milisi Kurdi di Iraq dan Syria, sementara Turki terkesan memusuhi.
Hal ini tidak lepas dari kepentingan nasional mereka dan permusuhan mereka dengan etnis Kurdi di kawasan timur dan tenggara Turki yang telah menyerukan separatisme selama beberapa dekade. Tentu saja euforia Kurdi dan lantangnya suara di kawasan sana yang menyerukan pembentukan Kurdistan Raya, adalah mimpi buruk bagi Turki.
Mimpi buruk yang diciptakan secara tidak langsung oleh para sekutu Turki juga. Tidaklah mengherankan bila semenjak semakin menguatnya milisi Kurdi akibat dipersenjatai dan didukung oleh negara-negara Barat, Turki pun jengah dan mulai bermain dua kaki, dengan cara mendekati poros Rusia-Iran.