Sedikit mengenai Rusia, memang hubungan bilateral mereka dengan Turki sempat dinodai insiden penembakan pesawat Su-24 dalam wilayah Syria oleh milisi Kurdi, ditambah lagi dengan pembunuhan Duta Besar Rusia di Ankara. Tetapi kedua insiden tersebut tidak mampu memancing tensi Putin naik dan melancarkan retorika-retorika tajam terhadap Ankara. Justru sebaliknya, Rusia tidak mau terjebak dalam permainan Barat dan mengulurkan tangan kepada Turki dengan serangkaian tawaran menarik.

Salah satu tawaran tersebut antara lain proyek Turkish Stream untuk mendistribusikan minyak dan gas alam Rusia kepada EU lewat perantara Turki, sebagai opsi tandingan terhadap proyek Nordstream yang sejatinya akan melewati Ukraine dan negara-negara ex-Soviet lainnya menuju pasaran Eropa Barat, namun tersendat akibat kejadian EuroMaidan di Ukraine, serta akibat serangkaian sanksi Barat terhadap Rusia pasca pemulihan kembali status Semenanjung Krimea sebagai wilayah kedaulatan Federasi Rusia dan dimulainya pemberontakan rakyat Donbass terhadap rejim fasis Kiev yang didukung EU.

Sementara tawaran-tawaran lain berupa ajakan Turki agar bergabung dalam zona dagang bebas EAU besutan Rusia, disamping itu, terdapat tawaran menarik bagi militer Ankara juga, yakni penjualan sistem pertahanan udara tercanggih di dunia, S-400 Rusia kepada Turki. Sistem S-400 inilah yang dicemaskan oleh Amerika dan Israel, dan juga diminati oleh Iran, serta telah dipasang Rusia di pangkalan militer mereka di Latakia, Syria.

Tetapi apabila Turki dapat bermain dua kaki, dengan terus memberikan suaka dan dukungan kepada para takfiri di Idlib dan sekitarnya sambil mendekati Tehran dan Moscow selaku pendukung utama pemerintahan sah Assad, maka Rusia juga dapat bermain demikian.

Berbeda dengan Barat yang tujuannya mendekati Kurdi adalah untuk menjadikan mereka sebagai contingency plan apabila kartu takfiri Wahhabi yang selama ini diandalkan mereka di Syria dan Iraq mulai kehilangan traksi dan simpati baik di lapangan maupun di media.

Di atas kertas, dan di mata awam, kedekatan Rusia dengan Kurdi tidak ada bedanya dengan pendekatan yang dilakukan Barat terhadap Kurdi. Sama-sama bertujuan berkolaborasi melawan Daesh, Nusra dan para sempalan takfiri lainnya. Tetapi dibalik itu, Rusia tidak akan ikut dalam permainan Barat dalam meningkatkan potensi ancaman Kurdi terhadap keutuhan Syria. Itu kontra-produktif bagi agenda jangka panjang mereka di Syria, dan Timur Tengah pada umumnya.

Kedekatan Rusia dengan Kurdi, bahkan beberapa kali sengaja memberikan sinyal mendukung kedaulatan Kurdi juga, adalah kode keras kepada Turki bahwa apabila tidak mengambil keputusan konkrit berupa pembatasan dukungan kepada oposisi takfiri di Syria dan mendekati Moscow dan Tehran, bukan tidak mungkin Rusia juga akan semakin memperkuat Kurdi, yang secara tidak langsung mengancam keutuhan teritorial Turki.

Dan seperti yang dapat kita lihat lewat headline-headline berita dunia baru-baru ini, tampaknya sejauh ini permainan Rusia terhadap Turki bisa dibilang berhasil. Turkish Stream ditanda tangani, Turki juga mulai menjajaki potensi pasar EAU di Kaukasus, bahkan Turki baru-baru ini juga memutuskan untuk peningkatan kerjasama intelijen dan militer dengan Republik Islam Iran.

Dukungan Turki kepada Qatar, yang senada dengan dukungan Iran kepada negara kecil nan kaya itu, mungkin saja merupakan imbas dari permainan ini, namun imbasnya dalam skala besar ataupun kecil, kita tidaklah tahu.

Lebih jauh lagi, dalam berita-berita politik dunia di awal bulan Agustus 2017 ini juga, Turki juga menunjukkan minat mereka untuk menormalisasi hubungan dengan pemerintahan sah Bashar al-Assad. Pemerintahan yang selama 6 tahun ini, dicaci maki sebagai “rejim Syi’ah biadab” dan lain sebagainya oleh media-media Turki dan anasir-anasir Turki di Timur Tengah maupun Asia Tenggara.

Pemerintahan yang selama 6 tahun ini, aktif melawan berbagai kelompok teroris takfiri yang didukung Turki. Pemerintahan yang dari dulu tidak pernah melakukan kesalahan apapun terhadap Turki. Menurut saya, sah-sah saja dalam politik, tetapi akal sehat kita juga tentunya terusik, sebegitu gampangnya mereka mengkafirkan dan memerangi Assad dan pemerintahannya, sebegitu gampangnya juga mereka sekarang hendak menormalisasi hubungan dengan Syria.

Jilat kembali ludah sendiri itu silahkan saja, tetapi biaya rekonstruksi dan reparasi perang akibat ulah anasir-anasir takfiri mereka dululah yang harus dibahas apabila mereka serius hendak menormalisasi hubungan dengan Damaskus.

Satu hal yang dapat digarisbawahi dari bagian IV ini sebelum kita melanjutkan analisis kepada bagian berikutnya, adalah sangat jelas etnis Kurdi beserta utopia Kurdistan adalah mimpi buruk bagi rejim Erdogan, dan ancaman besar bagi kedaulatan 4 negara kawasan.

Saking ketakutannya mereka dan demi mencegah proyek Barat itu terjadi, Turki tidak segan-segan membuat jarak dengan para sekutu tradisional mereka, dan menjilat kembali ludahnya dengan mendekati poros Rusia-Iran-Syria.

V: Battles of Hasakah

Ada dua pertempuran penting di Hasakah yang akan kita bahas dalam bagian V ini, yang terjadi pada 2015 dan 2016. Pada 23 Juni 2015, ISIS memulai ofensif dengan mengerahkan kurang lebih 4500 kombatan yang tersebar untuk merebut Hasakah.

Dalam waktu singkat mereka berhasil mencaplok 4 distrik dan sejumlah desa di barat daya provinsi Hasakah. Tujuan utama mereka tentunya untuk merebut ibukota provinsi, yang juga bernama Hasakah, dari tangan koalisi SAA & YPG.

Selama lebih dari sebulan, berbagai bagian ibukota dan distrik-distrik di provinsi Hasakah, mengalami pergantian penguasaan selama berkali-kali, baik oleh Daesh, SAA, NDF maupun YPG dan YPJ Kurdi. Pertempuran barulah usai pada 1 Agustus 2015, yang ditandai dengan mundurnya sisa-sisa pasukan Daesh dari teritori provinsi Hasakah setelah menderita lebih dari 400 korban jiwa dipihak mereka, dan pemulihan kekuasaan SAA dan YPG di seluruh provinsi.

Administrasi dan pengamanan ibukota Hasakah pun dibagi dua, menjadi tanggung jawab bersama SAA dan Kurdi. Sementara untuk total area yang dipegang masing-masing pihak, SAA kehilangan cukup banyak dan bertahan pada 25% bagian ibukota, sementara sekitar 75% lainnya dibawah kendali pasukan Kurdi, baik yang dari kelompok YPG, YPJ, Asayish maupun HPC.

Pemicu pertempuran Hasakah 2015 jelas, yaitu agresi dan usaha Daesh untuk merebut provinsi itu. Namun pada pertempuran kedua yang berlangsung selama seminggu di Agustus 2016, pemicunya bukan lagi Daesh, tetapi Kurdi.

Pada tanggal 16 Agustus 2016, terjadi perselisihan antara pasukan Kurdi dan Syria didalam ibukota Hasakah. Tiga hari berlalu, situasi tidak kunjung kondusif. Baku tembak sporadis terjadi diantara kedua kubu. Menurut narasumber kantor berita Al Masdar di Hasakah pada 19 Agustus, milisi NDF merebut pusat kota dan mengusir para milisi Kurdi, dan AU Syria tidak tanggung-tanggung langsung melancarkan 10 kali serangan kepada berbagai gedung yang menjadi pusat-pusat komando Kurdi.