Pada 6 bulan terakhir di tahun 2014, media massa dunia banyak mencurahkan perhatian mereka kepada pertempuran di suatu kota kecil bernama Kobane, di perbatasan Turki-Syria.
Pertempuran tersebut melibatkan YPG melawan Daesh. Narasi media massa dunia pada masa itu begitu mengelu-elukan para pejuang Kurdi yang bertempur dibawah bendera YPG. Terlebih lagi dengan adanya para kombatan wanita dalam jumlah yang cukup signifikan di dalam jajaran mereka, ditambah dengan fakta foto-foto kombatan wanita Kurdi yang beredar di dunia maya cenderung muda dan rupawan, tentunya menjadi “nilai jual” tersendiri.
Bayangkan saja narasi ini di benak anda:
Para pahlawan wanita Kurdi, berada di garis depan dalam pertempuran melawan monster takfiri bernama Daesh yang terkenal misoginis dan selalu menjadikan kaum hawa sebagai objek.
Wajar apabila kita semua bersimpati dengan para pejuang wanita Kurdi tersebut.
Dan pemberitaan tentang negara tetangga Syria waktu itu juga memfokuskan betapa terkepung dan menderitanya para pengungsi Yazidi di kawasan pegunungan Sinjar yang dikepung oleh Daesh, dan tentu saja media barat sibuk menggembar-gemborkan ‘aksi-aksi heroik’ para kombatan Peshmerga Kurdi yang berusaha membebaskan para pengungsi Yazidi dari teror Daesh.
Tetapi dalam analisis ini, kita tidak akan membahas tentang perebutan kota Kobane maupun pembebasan para pengungsi Yazidi di Sinjar. Tidak. Disini, kita akan mengupas lebih jauh lagi efek-efek yang ditimbulkan pasca pembebasan Kobane di Januari 2015, dan korelasinya dengan proyek baru neocon: Kurdistan Raya.
I: Secuil Latar Sejarah “Kurdistan Raya”
Di media massa dalam beberapa tahun ini, bangsa Kurdi kerap diklaim sebagai “suku bangsa terbesar tanpa negara sendiri”, padahal klaim tersebut sangat mudah dipatahkan apabila mau dibandingkan dari aspek historis, demografis bahkan kuantitas dengan suku bangsa serupa lainnya, seperti Zulu, Uyghur, Tamil dan lain sebagainya.
Dan tentang nama Kurdistan Raya, adalah suatu sebutan informal bagi daerah yang dihuni etnis Kurdi selama ratusan tahun. Daerah yang diklaim sebagai Kurdistan Raya mencakup utara Syria, timur dan tenggara Turki, utara Iraq, barat dan barat laut Iran, dan juga sebagian kecil wilayah selatan Armenia.
Penggunaan nama ‘Kurdistan Raya’ juga kebanyakan keluar dari mulut kaum nasionalis Kurdi, para aktivis HAM Barat, serta kaum sayap kiri Eropa lewat corong media Barat. Dan tentunya ada motif yang menyatukan ketiga golongan tersebut yang akan kita kupas nantinya.
Setelah kekalahan Poros Tengah di Perang Dunia 1, dimana Turki Utsmani adalah anggota Poros tersebut disamping Kerajaan Jerman & Austria-Hungaria, daerah kekuasaan Khilafah Utsmani yang masif di Timur Tengah dipartisi oleh Inggris & Prancis lewat Perjanjian Sykes-Picot, alias Perjanjian Asia Minor.
Dalam Perjanjian Sykes-Picot, kedua pemenang Perang Dunia 1 tersebut membagi Khilafah Utsmani menjadi beberapa negara yang kita kenal sampai sekarang ini, antara lain Turki, Syria, Iraq, Lebanon, Palestina, Armenia, dan Hijaz. Dalam partisi sepihak tersebut, etnis Kurdi yang selama ratusan tahun hidup dibawah kekuasaan Turki Utsmani, tidak mendapatkan jatah wilayah mereka sendiri untuk dijadikan Kurdistan Raya.
Dan dari masa itu sampai sekaranglah, diaspora Kurdi terbagi di 6 negara yang saling berdekatan, yakni Turki, Syria, Iraq, Iran, Armenia & Azerbaijan. Dengan konsentrasi terbesar berada di Turki dan Iraq.
Dalam evolusinya, etnis Kurdi di tiap negara tersebut masing-masing berjuang meraih kemerdekaan atau minimal otonomi khusus lewat organisasi-organisasi bersenjata. Contoh paling terkenal adalah PKK (Partiya Karkeren Kurdistane / Kurdistan Workers Party) di Turki yang dicap sebagai organisasi teroris separatis.
Pada masa awal berdirinya, PKK berhaluan sosialis-komunis, tetapi seiring dengan runtuhnya Tembok Berlin dan berakhirnya Perang Dingin 1, PKK pun meninggalkan ideologi kiri dan rebranding dirinya menjadi organisasi nasionalis Kurdi. Yah, apapun ideologi yang diusung, tujuannya sama, yaitu pemisahan diri wilayah tenggara Turki menjadi negara Kurdistan mereka.
Menyangkut peran PKK dalam perang Syria selama 7 tahun ini juga, mereka sering merotasi kombatan lintas perbatasan. Ketika didalam wilayah Turki, mereka adalah PKK, begitu melewati perbatasan Syria, mereka memakai penanda keanggotaan YPG & SDF.
Oleh para neocon Barat dan media-medianya, Kurdi adalah ‘teroris separatis’ di Turki, tetapi ‘pejuang kebebasan’ di Syria dan Iraq. Tidak ada bedanya dengan sikap mereka terhadap Daesh dan grup takfiri lainnya, bukan? Teroris yang harus dienyahkan di Iraq lewat upaya koalisi Barat, tapi begitu melewati perbatasan Syria, otomatis menjadi ‘mujahidin moderat anti-diktator’ yang harus didukung sepenuhnya secara moral dan material oleh para neocon Barat & Teluk.
II: Sorotan Media Dunia Kepada Kobane
Seperti yang disinggung sebelumnya di pembukaan artikel ini, selama pertempuran di Kobane antara YPG melawan Daesh, dengan interupsi terbatas dan infrekuen dari militer Turki maupun dari FSA, media-media ternama dunia seperti Al-Jazeera, CNN, BBC, Reuters, secara kompak menawarkan narasi YPG sebagai gerakan pembebasan yang telah banyak berkorban dalam perang melawan Daesh selama ini.
Padahal pada kenyataannya, para kombatan Kurdi tersebut, baik YPG, PKK ataupun lainnya, cenderung bersifat oportunistik dan senantiasa menantikan kesempatan untuk menang banyak dengan berkorban seminimal mungkin.
Kita bicara gamblang saja, dimana YPG dan para bidadari bersenapan mereka di masa awal dimulainya konflik Syria? Mereka mengambil sikap memangku tangan dan menjadi penonton, dan membiarkan masuknya ribuan kombatan asing lewat perbatasan Turki-Syria.
Hal ini juga pernah diliput oleh salah satu media corong Barat, yaitu VICE, dalam wawancara mereka terhadap beberapa milisi Kurdi yang berdomisili di utara Syria. Kurang nyaman apa posisi mereka pada saat itu, milisi mereka mendapat dana santunan bulanan dari pemerintah Damaskus, tetapi tidak menjalankan tugas penjagaan perbatasan mereka sendiri dengan Turki, bahkan interaksi antara milisi Kurdi dengan para kombatan asing tersebut terhitung rutin.