Tak perlu waktu lama bagi perangkat media yang didanai rezim Saudi untuk bergerak mencoba membentuk opini publik dunia mengenai eksekusi Sheikh Nimr yang menjadi polemik.

Reaksi spontan pemimpin Iran yang keras atas eksekusi ulama Syiah yang dihormati tersebut dengan cepat menjadi dalih bahwa protes yang dilakukan Iran – yang mayoritas Syiah – kepada aksi rezim Saud yang beraliran Wahabi adalah murni karena sektarian.

Bukan hanya di Timur Tengah, perang pemberitaan manipulatif dan tak berimbang juga mulai berimbas ke Indonesia. Hal yang tak mengejutkan, mengingat besarnya jumlah pemeluk Islam di negeri ini.

Narasi mengenai standar ganda Iran dalam memandang eksekusi Sheikh Nimr pun mulai bergaung di dalam negeri. Salah satunya adalah artikel tulisan Alwi Alatas, yang dengan cepat menyerang pola peradilan dalam negeri Iran, dalam rangka membela keputusan Saudi mengeksekusi Sheikh Nimr.

Dalam tulisannya, Alwi mempersoalkan sejarah hukuman mati di Iran, dan bagaimana beberapa individu – seperti Shahram Ahmadi – dikenai hukuman mati di Iran, ‘hanya’ karena menjadi salafi, atau berhubungan dengan kaum salafi. Pandangan yang langsung dibantah oleh peneliti Indonesia Center for Middle East Studies (ICMES), Dina Y. Sulaeman.

Menyangkut eksekusi Sheikh Nimr, Alwi kembali mencoba menyamakan perlakuan rezim Saudi dan Iran dalam menghadapi ulama-ulama yang ‘anti’ dengan pemerintah.

“Yang jelas, Ahmadi bersaudara diadili karena kasus pembunuhan Imam Jumat Sunni di Sanandaj, bernama Mamosta Borhan Ali , yang dikenal sebagai ulama pro-ukhuwah dan selalu mengingatkan umat agar menjaga persatuan,” terang Dina dalam tulisannya.

Lebih jauh, Dina menyayangkan penggunaan kata ‘ada ribuan Al Nimr di Iran’ dalam artikel Alwi, karena berpotensi menyamakan kapasitas Sheikh Nimr dengan para terhukum mati di Iran, yang kebanyakan adalah penyelundup narkoba.

“Tentu dia perlu menuliskan sumber resminya yang valid, dengan angka yang jelas. Ribuan itu berapa? Data dari Kurdistan Press Agency (ini adalah situs anti pemerintah Iran) misalnya, pada tahun 2013, ada 826 orang (data umum, tidak disebut mazhabnya) yang dihukum mati di Iran: 319 orang penyelundup narkoba, 119 pembunuh, 58 pemerkosa, 29 moharebe, dan lain-lain. Di sini bisa dilihat kejahatan ‘moharebe‘ jumlahnya minor.”

Penggunaan kata ‘moharebe‘ menjadi menarik, karena menurut Alwi, kejahatan ‘moharebe‘ bisa dituduhkan kepada siapa saja di Iran, apalagi jika yang bersangkutan adalah seorang salafi atau berhubungan dengan salafi.

Menurut Dina, pengertian moharebe yang dituliskan Alwi berasal dari sumber sekunder. “Barang siapa yang menggunakan senjata dengan tujuan menciptakan ketakutan dan atau menghilangkan kebebasan dan keamanan di tengah-tengah masyarakat, dia dinyatakan sebagai mohareb dan pelaku kerusakan di muka bumi,” lanjut Dina mengutip Kitab UU Hukum Pidana Islam 1370 milik Iran.

Menyangkut eksekusi Sheikh Nimr, Alwi kembali mencoba menyamakan perlakuan rezim Saudi dan Iran dalam menghadapi ulama-ulama yang ‘anti’ dengan pemerintah.

“Ayatollah Kazem Shariatmadari, Ayatollah Khagani, sekedar menyebut contoh, masing-masing meninggal di dalam tahanan rumah karena berseberangan paham dengan Ayatollah Khomeini, begitu pula dengan Ayatollah Rastegari yang berkali-kali ditangkap dan dikenai tahanan rumah di bawah pemerintahan Ayatollah Khamenei. Mereka mengalami semua itu karena sikap oposisinya terhadap pemerintah,” tulis Alwi dalam argumennya.

Argumen Alwi diakui Dina semakin memperkuat tulisannya, bahwa di Iran, ulama ‘anti’ pemerintah tidak akan mengalami perlakuan seperti yang dialami Sheikh Nimr di Saudi Arabia.

“Informasi ini justru memperkuat bagian pertama tulisan saya (kutipan pidato Ayatollah Khamenei): seorang ulama tidak boleh dipancung hanya karena mengkritik pemerintah. Lalu, mengapa Alwi malah menyamakan para ulama Iran itu dengan Al Nimr? Bukankah mereka ‘hanya’ dikenai tahanan rumah oleh Iran, sementara Arab Saudi menembak, menyiksa (hingga tangan dan kakinya patah), lalu memenggal kepala Al Nimr?” tulis kandidat Doktor Hubungan Internasional Unpad tersebut.

“Perlu dicatat, penerapan hukuman terhadap ulama dilakukan oleh Dewan Pengadilan Ulama (Dadgah-e Ruhani), bukan oleh pengadilan pidana, bukan pula oleh aksi diktator pemimpin tertinggi (Supreme Leader, saat ini dijabat Ayatollah Khamenei). Bahkan Supreme Leader pun dipilih rakyat melalui pemilu, dan harus bertanggung jawab kepada Dewan Pakar (Majles-e Khubregan), serta sewaktu-waktu bisa diturunkan seandainya pengadilan membuktikan ia bersalah melanggar UU,” tandas Dina.

Di Indonesia, upaya penyebaran informasi palsu mengenai Iran sudah semakin menjamur, seiring propaganda anti-Syiah yang semakin gencar disebarkan kaum Wahabi – yang sealiran dengan rezim Bani Saud – di negeri ini.

 

https://theintercept.com/2016/01/04/saudi-pr-machine/

http://www.hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2016/01/06/86844/ada-banyak-al-nimr-di-iran-1.html

http://www.hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2016/01/06/86854/ada-banyak-al-nimr-di-iran-2.html

http://liputanislam.com/analisis/di-manakah-ribuan-al-nimr-itu-alwi-1/

http://liputanislam.com/analisis/di-manakah-ribuan-al-nimr-itu-alwi-2/

https://en.wikipedia.org/wiki/Anti-Shi%27ism