Tak bisa dipungkiri, keterlibatan Rusia dalam konflik di Syria telah berhasil membantu menyelamatkan negeri itu dari cengkeraman teroris. Manuver Rusia juga mampu membongkar keterlibatan negara-negara lain dalam konflik tersebut.

Bukan hanya itu, Rusia juga mampu membongkar konspirasi kriminal rezim Barat di Syria. Keterlibatan Turki di bawah pimpinan Recep Tayyip Erdogan dalam penyelundupan minyak dan senjata kepada jaringan teroris Syria juga terkuak akibat dari serangan udara Rusia.

Salah satu rezim yang ikut terbongkar dalam skandal di Syria adalah Saudi Arabia. Hal ini cukup kiranya jadi alasan, mengapa monarki kaya minyak tersebut kini berusaha untuk mengobarkan konflik sektarian di Timur Tengah, dengan eksekusi ulama Syiah Sheikh Nimr al-Nimr akhir minggu lalu.

Sheikh Nimr merupakan sosok yang dihormati oleh kaum muslim di kawasan, karena aksi protes damainya yang berani, menyuarakan penentangan atas penindasan dinasti Saud, yang kebetulan mengamalkan versi ekstrim dari Islam yang dikenal sebagai Wahabi.

Kini setelah keterkaitan Saudi dengan grup teroris telah terbongkar, rezim itu memutuskan bahwa pilihan terbaik selanjutnya adalah memancing peperangan dengan Iran, atau bahkan mungkin Rusia.

Dalam mentalitas Wahabi, – Syiah, Kristen dan yang lain dianggap ‘kafir’ yang perlu dibunuh dengan pedang. Bukan suatu kebetulan jika banyak di antara para ‘jihadis’ yang berperang di Syria juga menganut aliran yang sama. Banyak bukti nyata bahwa kelompok teroris seperti Daesh dan Al Nusra didanai oleh penguasa Saudi Arabia.

Eksekusi Sheikh Al Nimr sendiri dilakukan tanpa memiliki alasan yang cukup, dan datang setelah banyak pihak berupaya meminta pengampunan atasnya selama berbulan-bulan. Beberapa kelompok HAM internasional menyoroti proses peradilan yang tak bisa dipercaya dan banyaknya bukti bahwa Sheikh Nimr tak bersalah.

Menariknya, kekacauan yang terjadi akibat eksekusi Sheikh Nimr tampaknya membuat Washington mulai gerah. Awal minggu ini, The New York Times melaporkan bahwa pemerintahan Obama ‘terkejut’ dan ‘marah kepada Saudi, atas ketidakpeduliannya tentang akibat insiden ini di Timur Tengah’.

Lalu, mengapa penguasa Saudi memutuskan untuk mencoba membawa Timur Tengah dalam kekacauan? Intervensi militer Rusia di Syria telah merusak sebagian besar konspirasi asing yang berusaha menggulingkan Assad. Lebih jauh, kemenangan Rusia atas Daesh dan Al Nusra dan berbagai grup bentukannya, telah membuka lebar informasi keterkaitan grup-grup teror ini dengan pemerintah asing, terutama Riyadh dan Ankara.

“Kini setelah keterkaitan Saudi dengan grup teroris telah terbongkar, rezim itu memutuskan bahwa pilihan terbaik selanjutnya adalah memancing peperangan dengan Iran, atau bahkan mungkin Rusia,” ujar Randy Martin, pengamat politik Timur Tengah.

Martin merujuk pada serangan udara Rusia di 25 Desember yang menewaskan pimpinan grup jihadis Jaish al Islam, Zahran Alloush di Ghouta timur. 4 hari kemudian, Menteri Luar Negeri Saudi, Adel al-Jubeir secara publik mengutuk serangan udara Rusia tersebut, sembari mengatakan, “Aku tak tahu apa yang ada di kepala Rusia!”

Minggu ini, duta Saudi di PBB, Abdallah al-Mouallimi menyataan bahwa perang kata-kata dengan Iran tak akan mengubah partisipasi kerajaan itu dalam pembicaraan damai Syria di Jenewa.

Namun, banyak pihak mengganggap pernyataan ini hanya retorika belaka, sebab negosiasi politik dengan Iran yang ‘kafir’ adalah sesuatu yang sangat dibenci oleh dinasti Saud. Selain wibawa Iran akan semakin besar di kawasan, rezim Saud masih bersikeras bahwa presiden Syria, Bashar Assad, ‘harus digulingkan’.

Untuk alasan inilah, Saudi masih mempertahankan pilihan militer untuk menduduki Syria, dan inilah mengapa kerajaan itu berinisiatif untuk membentuk aliansi ‘anti-teror’ dengan 34 negara, yang akan menyerang negara manapun dengan dalih ‘ancaman teror’.

Saudi berharap, pembunuhan atas Sheikh Nimr akan memicu kekacauan dan pertumpahan darah, yang pada akhirnya akan menutupi jejak kejahatan mereka di Syria.

 

Finian Cunningham – http://sputniknews.com/columnists/20160105/1032718583/saudis-seek-chaos-terrorism.html