Keputusan rezim Saudi untuk mengeksekusi mati ulama Syiah kenamaan, Sheikh Al-Nimr memang tampak ceroboh bagi banyak pihak, namun analisis dari Eurasia Group menunjukkan bahwa aksi Riyadh tersebut tak terelakkan sebagai akibat dari memudarnya pengaruh negara itu di kawasan.

Sebagai respon atas protes di Iran, rezim Saudi secara sepihak memutus ikatan diplomatik dengan Tehran. Namun, sikap agresif ini diduga lebih merupakan hasil dari perseteruan internal dan masa depan politik dinasti yang tak pasti.

“Saudi Arabia berada dalam masalah serius, dan mereka menyadarinya,” ujar Ian Bremmer, presiden Eurasia Group.

Menurutnya, kerajaan tersebut menghadapi meningkatnya kericuhan dalam keluarga kerajaan, dan status internasionalnya yang semakin terisolasi, akan membuat rezim tersebut akan bersikap semakin agresif.

Perebutan tahta masih menjadi salah satu masalah utama. Meski baru saja menjabat sebagai raja 11 bulan yang lalu, namun raja Salman yang kini berusia 79 tahun sedang dalam kondisi kesehatan yang buruk. Sementara itu, meski keponakannya putra mahkota Mohammad bin Nayef merupakan calon pengganti sah, namun putra raja Salman sendiri dikabarkan berambisi untuk merebut mahkota. Keduanya saat ini mengepalai kementerian kerajaan, dan membuat masalahnya semakin runyam.

Saudi tidak suka dengan tekanan internasional atas Daesh, dan ingin membuat ketegangan regional dengan Iran, yang akan membantu mereka di dalam negeri.

“Ini menyebabkan timbulnya beberapa kebijakan yang mengganggu di dalam dan luar negeri Saudi,” ujar Frederic Wehrey, seperti dikutip Agence France-Presse.

Harga minyak yang semakin turun juga mengganggu roda kerajaan itu secara ekonomi. Setelah sebelumnya sengaja membanjiri pasar minyak untuk menghancurkan saingannya, Riyadh malah meningkatkan harga minyak di dalam negeri hingga 40%.

Selain itu, tekanan dari luar juga semakin kencang menerpa rezim Saud. Kampanye pemboman berdarah di Yaman telah berlangsung terlalu lama dari yang mereka rencanakan, dan lestarinya Daesh di Timur Tengah, mau tak mau membuat Saudi menjadi sorotan dunia.

“Saudi tidak suka dengan tekanan internasional atas Daesh, dan ingin membuat ketegangan regional dengan Iran, yang akan membantu mereka di dalam negeri,” sambung Bremmer.

“Inti dari kecemasan Saudi adalah Iran, yang tak lama lagi akan segera terbebas dari sanksi Barat.”

Dengan memprovokasi Teheran, Saudi bisa menciptakan musuh bersama untuk mengalihkan perhatian dalam dan luar negeri dari kegagalan rezim itu. Iran yang kini tampil sebagai adidaya ekonomi, terutama setelah pengangkatan sanksi hasil dari kesepakatan nuklir, adalah target utama Riyadh.

“… Skenario perang terbuka, yang tak terbayangkan sebelum pengangkatan raja Salman, kini menjadi sangat mungkin,” kata Bremmer.

“Jika eksekusi Sheikh Nimr dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian populasi Sunni di Saudi dari kenaikan harga bensin sebesar 40%, dan mencoba menyalahkan musuh eksternal sebagai penyebab hal itu, mungkin usaha ini tak cukup,” terang Soufan Group, sebuah firma intelijen keamanan strategis.

“Untuk mencapai hal itu, keluarga kerajaan harus terus meningkatkan retorika dan aksi terhadap Iran.”

 

http://sputniknews.com/middleeast/20160104/1032683108/riyadh-in-serious-trouble.html