Sebagai klarifikasi, jumlah korban serangan udara Bani Saud di Yaman masih simpang siur. Secara resmi dari pemerintah Yaman, sekitar 200-an mayat syahid berhasil di-identifikasi, dan ratusan lainnya luka parah. Yang mengerikan sebenarnya, acara pemakaman dalam aula tersebut dihadiri oleh setidaknya 2000 orang.
Selanjutnya, anda bisa hitung sendiri.
Agresi Bani Saud di Yaman menjadi perang yang terlupakan dalam generasi kita. Cerita yang tak tersuarakan mengenai kekejaman teokratik, bias pemberitaan media dan politik keji.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di Yaman? Dan mengapa dunia tak membahasnya seperti kita membahas konflik Syria?
Ada suku Houthi (yang mayoritas Syiah Zaidiyah), juga ada nama Abd Rabbuh Mansur Hadi, presiden Yaman yang ‘terguling’ dan kini mencoba dikembalikan secara paksa kedudukannya oleh Bani Saud sebagai kepala negara Yaman. Houthi melakukan ‘pemberontakan’ melawan pemerintahan yang sah, dan Hadi meminta bantuan sekutunya, Bani Saud, untuk mengatasi perlawanan rakyatnya sendiri.
Singkatnya, bagi kaum Wahabi, ini merupakan perang suci Saudi melawan Syiah Yaman.
Namun, apakah benar demikian?
Menilik Yaman saat ini, mau tak mau kita harus memanjangkan ingatan, dan membongkar sejarah permusuhan antara Bani Saud dan Yaman, yang dimulai bahkan sejak 1926. Dalam perjanjian Mekkah kala itu, keemiran Idris Barat Daya, yang meliputi Asir, Jizan dan Najran resmi dicaplok Kerajaan Saudi Arabia yang baru dibentuk Inggris.
Wilayah tersebut merupakan wilayah alami Yaman sejak lama, dan perlawanan untuk merebut kembali wilayah itu sering terjadi dari waktu ke waktu. Namun dengan kekuatan Barat dan pemimpin yang korup, upaya Yaman selalu gagal, seperti tergambar dalam perjanjian Taif pada 1934.
Meski Yaman sempat didukung penuh oleh pemimpin Mesir, Gamal Abdul Nasser, namun upaya perlawanan tradisional rakyat Yaman tak kunjung membuahkan hasil, dan akhirnya kembali mentah saat presiden mereka sendiri, Saleh, memupuskan harapan dengan tandatangan pada perjanjian Jeddah pada tahun 2000, yang konon bernilai 18 miliar dolar, untuk menyerahkan Asir, Jizan dan Najran pada Bani Saud.
Lalu apa hubungannya dengan suku Houthi? Secara inheren, ideologi politik yang dianut Houthi sangat membahayakan eksistensi teokrasi Bani Saud, yang semakin berlipat karena posisi alami suku tersebut yang berada di tepi teritorialnya.
Houthi telah lama menjadi kelompok penyeimbang (keras namun bukan separatis) bagi pemerintah Yaman yang begitu tunduk dengan kemauan Bani Saud – hampir semua lini pemerintahan Yaman dikuasai oleh suku Bedouin dari Najd tersebut. Keberhasilan Houthi menyingkirkan semua elemen pro-Saud dalam pemerintahan dalam negerinya, otomatis kembali membuat Yaman sebagai satu dari sedikit negara independen di jazirah Arab.
Dan menjadi negara independen, adalah rumus pertama untuk memancing invasi imperialis.
Kembalinya Hadi ke tampuk kekuasaan tak akan serta-merta mengakhiri kebrutalan agresi Saudi yang didukung penuh AS di Yaman. Narasi bahwa Iran berada di belakang Houthi merupakan propaganda politis, yang sayangnya diterima begitu saja, karena diberitakan banyak media.
Dari sisi politik, Iran malah sengaja menahan diri untuk terjun secara resmi (seperti di Syria) untuk membantu Yaman melawan kekejaman Saud, karena hal itulah yang persis dinginkan Bani Saud, untuk melengkapi preteks sekutunya – AS dan Israel – dalam konfrontasi langsung melawan Iran.
Posisi Saud yang kini menguasai Haramain juga dapat dengan cepat digunakan sebagai narasi provokasi dan mobilisasi muslim di seluruh dunia, untuk justifikasi perang melawan Iran – dan membuat segala pencapaian positif Iran di kawasan menjadi ‘null’ – hanya karena bermazhab Syiah.
Gelombang kekerasan kepada minoritas Syiah di seluruh dunia akan menyusul sebagai konsekuensi jika Iran terpancing untuk turun ke Yaman, membantu memerangi Saud. Tak bisa dipungkiri, Iran terpojok secara politik di Yaman. Namun dalam taraf akar rumput, Hezbollah merupakan perpanjangan tangan Iran yang lebih taktis dan fleksibel.
Ringkasnya, Saud mencoba menjejali masyarakat muslim dunia bahwa dirinya sedang memerangi syiah ‘kafir’ Houthi di Yaman. Dan hal ini – seperti diperkirakan – sangat berhasil, hingga membuat perang di Yaman sebagai perang ‘kelas dua’, hanya karena Rusia dan AS tak ikut campur langsung di dalamnya.
Percaya atau tidak, implikasi di Yaman akan mempengaruhi konflik di Syria, Iraq, Lebanon dan Palestina. Di sini menjadi penting bagi media zionis untuk menurunkan kadar ‘kegawatan’ situasi di Yaman, agar semakin jarang dibahas, dan makna pentingnya kemenangan Houthi atas Saud menjadi kabur.
Jika saja banyak aktivis pembela Palestina mau untuk membaca sedikit mengenai sejarah dan peta politik di Hijaz, maka akan menjadi jelas bahwa selama Bani Saud masih bersekongkol dengan Israel, kemerdekaan Palestina adalah utopia.
Sebaliknya, jika Houthi mampu menumpas hegemoni atau setidaknya menjadi kekuatan penyeimbang, pastikan pejuang Houthi dan Hezbollah akan turun memanggul senjata, membebaskan Gaza dan membuat tidur zionis-zionis berambut pirang itu menjadi tidak tenang.
Lalu, apakah hanya itu saja? Tak bisakah perdamaian dicapai melalui perundingan?
Yaman saat ini merupakan negara dengan penduduk terbanyak di Arabia, dengan penduduk sekitar 26 juta orang. Tanah Yaman juga berdiri diatas jalur minyak terbaik di dunia – sebuah alat politik yang bisa merubah Yaman menjadi pemain kunci regional. Jika Anda menambahkan kemampuan militer di dalamnya, Yaman adalah ancaman mutakhir bagi AS, Bani Saud dan konco-konconya di Hijaz.
Yaman juga memiliki 30% cadangan minyak dunia, jumlah yang kini melebihi cadangan Bani Saud. Saat ini, Yaman belum mampu mengeksploitasi kelebihan ‘emas’ yang dimilikinya, namun potensi Yaman untuk melakukan hal itu dan bangkit menjadi negara kuat, adalah mimpi yang membuat Badui Nejd ngompol di malam hari.
Bagi Saud, menundukkan Yaman secara militer – seperti invasi tahun 1930 – menjadi hal yang tak bisa ditawar lagi. Tanpa Yaman di kantong, kapal raja-raja Najd akan terus bergoyang, dan misi mereka untuk membuat jazirah Arab menjadi homogen – Oded Yinon – akan menjadi perjuangan tanpa henti.