Demi Syria, dunia di ambang perang nuklir terbesar dalam sejarah manusia. Jika benar terjadi, para pakar bahkan memperkirakan kehidupan manusia akan kembali ke Stone Age, ke jaman batu. Infrastruktur akan musnah, termasuk peradaban-peradaban maju yang kini seolah tak terpengaruh dengan apa yang terjadi di Timur Tengah.
Teknologi dan bertahun penyempurnaan terhadap hulu ledak nuklir, membuat kehancuran yang akan ditimbulkannya menjadi tak terbayangkan. Saya selalu merinding tiap kali membaca komentar-komentar yang menyarankan percepatan perang nuklir, seolah kita berada di nuclear shelter yang paling mutakhir, yang membuat kita immune darinya – dan efek memusnahkan yang akan terjadi hingga beberapa generasi setelahnya.
Meski Iran terlibat dari hari-H dalam menumpas teroris di Syria, Rusia selalu disebut-sebut sebagai pemain utama dalam konflik ini, sekaligus penantang tunggal bagi mesin perang dan kehancuran yang dibawa Washington ke seluruh penjuru dunia. Moskow tiba-tiba menjelma menjadi kekuatan penawar hegemoni zionis, dengan arah politik yang kian lama membuat kita terpesona.
Sejak reformasi militer yang dilancarkan Vladimir Putin setengah dekade lalu, yang bersamaan dengan pengurangan anggaran pertahanan NATO, militer Rusia menjelma menjadi lawan sepadan bagi AS dalam waktu singkat. Meski malu untuk mengakuinya, AS menyadari bahwa kemampuan nuklir Rusia saat ini lebih dari cukup untuk mengantar deathblow ke jantung pertahanannya. Mematikan.
Tanggapan keras Rusia dengan keputusan AS untuk memutus kerjasama politik dalam menyelesaikan konflik Syria juga memiliki banyak dimensi. Selain menyiapkan kekuatan militer yang lebih dari cukup, Moskow juga menghentikan perjanjian penghentian pengayaan plutonium grade-militer yang dulu ditandatangani dengan Washington. Perjanjian ini dikhianati lebih dulu oleh AS, yang menghentikan proses penghancuran plutoniumnya secara sepihak. Sejak saat itu, Rusia dalam mode menunggu, siap melanjutkan perjanjian jika ada itikad baik tiba-tiba dari White House.
Kini, Putin menyadari diplomasi dengan niat baik tak ada artinya bagi AS. Jika AS insyaf dan hendak kembali mengaktifkan perjanjian ini, Rusia meminta kompensasi yang akan membuat setiap penduduk Murica tertunduk malu. Singkatnya, Washington harus ‘taubatan nasuha’, jika ingin berhubungan baik lagi dengan Moskow.
Semua kartu telah ditumpahkan Rusia di atas meja konflik minggu ini. Rusia mengambil sikap lebih konfrontatif di Syria, yang bahkan membuat banyak pihak mulai mengatakan bahwa Syria adalah negara bagian Federasi Rusia yang baru. Posisi yang diambil Rusia juga solid, dengan tidak menyisakan sedikitpun peluang bagi AS untuk memilih posisi abu-abu, hal yang selama ini digemarinya. Putin seolah berkata pada Obama, “It’s either you with us, or against us.”
AS sadar bahwa kali ini, ada lawan sepadan yang mesti dihadapinya. Di Iraq, Afghanistan dan Libya, AS praktis hanya melakukan latihan tempur, dengan ketiadaan militer yang sama kuat sebagai lawan. Iraq – yang masa itu coba dibesarkan media zionis sebagai negara dengan militer terkuat di Timur Tengah – jatuh dalam hitungan jam, Afghanistan dan Libya juga kolaps tak kalah cepatnya. Hal ini selalu digaungkan AS melalui mesin media sebagai bukti superioritas, keunggulan militer yang membuat negara penantang takluk sebelum bertempur.
Kemarin, juru bicara Washington terpaksa angkat suara menanggapi tantangan Rusia, dengan memastikan bahwa AS tak akan ‘ikut campur’ lagi di Syria, meski tetap ngeyel dengan mengatakan bahwa memusnahkan teroris adalah tindak kejahatan mengerikan. Kalah gertak dengan Moskow, sang jubir menutupi dengan alasan bahwa keputusan mundurnya AS bukan karena ancaman Kremlin, melainkan ingin mengutamakan kepentingan dalam negeri.
It’s a strike one. Rusia kembali mengajarkan kepada dunia bagaimana caranya berpolitik dan bernegosiasi. Menghadapi gerombolan perompak macam AS, kesabaran dan kejelian melihat situasi dan prediksi manuver politik akan menjadi hal krusial. Namun kita juga tak boleh lupa satu hal. Kekuatan militer yang cukup, akan selalu menjadi modal perundingan yang seimbang.
Lalu, apakah pencapaian Putin ini menegasikan peran Tehran dalam konflik Syria?
Tidak sama sekali.
Bisa dikatakan bahwa saat ini, kebijakan luar negeri Rusia bersandar sepenuhnya pada pandangan politik Tehran. Dalam level strategis, Iran adalah sekutu utama Rusia di Timur Tengah, dan tanpanya, Rusia tentu tak akan berani se-antagonis ini terhadap AS dan sekutunya.
Kebijakan Iran yang melarang pembuatan dan penggunaan senjata nuklir merupakan titik pemisah yang membedakan Moskow dan Tehran. Meski punya keunggulan geografis dan taktis, militer Iran yang non-nuklir tentu akan kesulitan untuk berunding dengan negara-negara nuklir lainnya. Namun kecakapan diplomasi dan penguasaan de facto atas konflik di Timur Tengah, membuat Iran menjadi pihak sentral, yang mempengaruhi kebijakan Moskow. Bahkan dalam banyak kasus, Kremlin adalah ‘juru bicara’ bagi manuver strategis Iran di kawasan.
Belum lagi November, and it’s a shitstorm already.
Go home, Yankees!