Mengapa Iran tak terjun langsung membantu Yaman, seperti Iran terjun membantu Syria?
Bukankah pegolakan saat ini merupakan kesempatan emas secara politik bagi Iran untuk hadir dan menempatkan pasukannya di Yaman, yang berhadapan secara teritorial dengan Saudi?
Pertanyaan sederhana, namun sayang, jawabannya tidak sesederhana itu.
Alasan pertama, yang paling sederhana, adalah kesetiaan Iran pada kebijakan untuk tidak berperang di negara lain secara ilegal. Ini perlu digarisbawahi sebagai modal untuk memahami manuver politik Iran di kawasan.
Dukungan Rouhani kepada Erdogan beberapa saat setelah kudeta Turki berjalan, juga merupakan bukti kontemporer jalur politik yang dipilih Tehran. Bagi Tehran, legalitas (secara hukum Islam dan internasional) menjadi pijakan utama politik.
Tanpa permintaan resmi pemerintah Syria, IRGC tak akan turun ke Damaskus di hari-hari pertama pecahnya konflik. Dan selama tak ada permintaan resmi dari Yaman – yang belum ada hingga kini – Iran terpaksa menepikan uluran tangan.
Ancaman nyata terorisme akibat dari konflik di Iraq dan Syria, juga menjadi prioritas bagi Tehran, terutama karena keduanya berbatasan langsung dengan teritorinya. Hal yang penting untuk diatasi Tehran, sebelum meluaskan keterlibatannya di Yaman.
Kedua, retorika anti-Iran yang gencar dilakukan Saudi kini berada pada titik tertinggi. Kelengahan yang menyebabkan kedutaan Saudi dirusak massa akibat pembunuhan Sheikh Nimr menjadikan ketegangan di antara kedua negara tersebut menjadi hampir mustahil untuk diperbaiki.
Hal ini tidak sejalan dengan kebijakan luar negeri Iran yang cenderung lebih ‘moderat’ di masa Rouhani. Meski kelihatan lembek, Tehran kini lebih ketat menerapkan kebijakan yang ‘bertanggung jawab’, terutama saat kebijakan tersebut mengharuskan Iran mengirim warganya bertempur ke tanah tetangga.
Intervensi militer dalam bentuk apapun di Yaman, merupakan konfrontasi langsung dengan Saudi. Dan efek domino dari konfrontasi tersebut sangatlah berat. Dengan kekuatan militer (yang perlu dibiayai) di Iraq dan Syria saat ini, over-stretching kehadiran pasukannya di Timur Tengah malah bisa berakibat fatal.
Ketiga, Houthi merupakan entitas independen. Sejak awal, media menyamakan paham teologis yang dianut mayoritas suku Houthi dengan Iran sebagai ‘Syiah’ (sebagaimana Alawite di Syria), untuk mempermudah propaganda anti-Iran milik Saudi, bahwa Houthi merupakan proksi-Iran di Yaman.
Meski lebih sepaham secara politik, namun penyamaan dan pengharusan dukungan atas dasar teologis merupakan asumsi yang terlalu jauh, meski secara natural, Iran selalu condong mendukung siapapun yang anti-Israel, bahkan meski berpaham Sunni.
Di medan pertempuran saat ini pun, Houthi memiliki sumber daya manusia yang melimpah. Secara militer, untuk mengalahkan Saudi – yang telah mengeluarkan semua jurus militer – Yaman hanya memerlukan jet tempur, tambahan misil balistik dan peralatan militer berat.
Meski memiliki sarana untuk mengirimkan apa yang dibutuhkan Houthi tersebut, perjanjian nuklir dengan negara P5+1 menjadi penghalang utama Iran. Meski sempat lolos mengirimkan senjata bernilai ‘wah’ beberapa tahun yang lalu, keberhasilan diplomatis Iran untuk melepaskan diri dari jeratan embargo akan pupus begitu saja jika Iran tertangkap tangan mengirim senjata ke Yaman.
Yang terakhir, secara kultural, permusuhan antara Yaman dan Saudi sudah dimulai sejak lama, dan mengakibatkan perang ini menjadi sangat ‘personal’. Itu mungkin menjadi sebab utama Yaman hingga saat ini enggan meminta pertolongan Iran dan atau Rusia, seperti Syria.
Secara ‘resmi’, keterlibatan Iran di Yaman untuk membantu perlawanan melawan rezim Saud sangat sulit untuk diwujudkan, karena jerat-jerat geopolitik yang siap menjebak.
Kalau secara ‘non-resmi’, you know-lah, rudal Fajr-5 aja bisa nyampe ke Gaza..