Sebulan terakhir, manuver dan diplomasi AS di Syria hancur lebur. Betapa tidak, kesalahan demi kesalahan taktis yang menumpuk, membuat Washington terpaksa menjilat ludah dengan mengakui dukungannya secara terbuka kepada teroris kepada dunia.
Percaya atau tidak, jika kita runut, hanya satu orang yang memiliki andil cukup besar dalam semua kekacauan diplomasi AS tersebut. Meski sulit untuk dianggap sebagai skenario yang matang, namun polahnya cukup mengagetkan, merusak, dan merubah konstelasi konflik di Syria yang berjalan stagnan selama hampir 4 tahun terakhir.
Siapakah ia?
The Teflon Sultan. Baginda Recep Tayyip Erdogan.
Ah, masa?
Kesuksesan strategi AS dengan Kurdi di Iraq membuatnya merasa bisa mengulanginya di Turki. Friksi antara Washington dan Ankara mulai tumbuh seiring langkah muka dua AS yang mengelu-elukan Turki sebagai sekutu utama, namun juga meningkatkan setoran senjata pada PKK, gerakan separatis Kurdi di Turki.
Wajar, jika Erdogan uring-uringan. Bagaimana mungkin ia bisa lancar memuluskan ambisi Neo-Ottoman di Syria jika duri-duri PKK dalam teritorinya sendiri tak bisa ia musnahkan? Mengurusi kebutuhan Daesh saja di Syria sudah cukup menguras sumber daya Turki yang tidak sedikit. Konon lagi langsung membuka dua front, sendirian, karena bantuan NATO tak bisa diharap bila Washington tak mengijinkan.
Bagi AS, pemimpin boneka yang tidak stabil dan tak bisa diandalkan wajib dilengserkan. Jauh hari, Davotoglu telah dipersiapkan sebagai pengganti. Cerdas, lebih ganas, dan yang paling penting, setia pada AS. Gelagat ini tercium Erdogan, yang akhirnya memecat Davotoglu tiba-tiba.
Kudeta rancangan AS, yang baru memasuki tahap pertama, gagal total. Efeknya, Erdogan sakit hati, paranoid, dan merapat ke Moskow. Seolah mengikuti kursus kilat di Rusia, Erdogan pulang dengan tenaga baru, semangat baru. Misi baru.
Takut akan kemungkinan Erdogan yang nekat meluaskan buffer zone di Syria, AS membujuk YPG untuk menganeksasi Hasakah, setelah sebelumnya menguasai Manbij. Harapannya, dengan adanya beberapa F16 di Yordania dan ancaman retorika pada AU Syria dan Rusia, Turki tak berani macam-macam. Apalagi secara logika, Rusia tak akan membiarkan Turki melenggang masuk ke Syria begitu saja.
Namun secara mengejutkan, dengan persetujuan Kremlin, Erdogan tiba-tiba memanggil pulang serdadu-serdadunya yang sedang bertempur di Aleppo, meninggalkan teroris didikan AS berjibaku sendirian menghadapi SAA dan koalisinya. AS terperangah, melongo, bingung. Sendirian, tanpa teroris milik Erdogan, habisnya al-Nusra dkk tinggal menunggu waktu.
Meski diikuti dengan serangan seremonial Turki di Jarablus, faktanya, perubahan konstelasi di Aleppo-lah yang memberi efek merusak paling dalam bagi kepentingan AS di Syria. Bagi AS, jika proyek Fatah Halab (Penaklukan Aleppo) gagal, maka miliaran dolar investasinya akan terbuang sia-sia. Belum lagi negara-negara teluk yang merengut tak puas, dan akhirnya meluncurkan misi sendiri masing-masing. Ruwet!
Tak ada jalan lain bagi AS, selain mencoba mempertahankan proksi tempurnya di Syria dengan berbagai cara. Salah satunya, jilat ludah sendiri. Terima tawaran gencatan senjata dari Syria – Rusia di Aleppo. Tawaran tersebut beresiko tinggi bagi Syria dan Rusia, namun sangat perlu agar rakyat Syria yang terjebak di Aleppo bisa mengungsi, dan bantuan bisa diantar ke penduduk yang disandera di wilayah kantung teroris.
Selain memberi celah untuk mengirim amunisi dan suku cadang persenjataan, kesepakatan itu sebenarnya merupakan kesempatan emas bagi AS untuk mencoba membuat terorisnya di Aleppo agar dianggap sebagai ‘moderat’ lalu mencoba menerapkan no-fly-zone di Aleppo agar Syria dan Rusia tak bisa seenaknya membom mereka jadi abu gosok. Ini yang menjadi syarat yang diminta AS pada pertemuan Kerry – Lavrov di Jenewa.
Rusia, yang sepertinya lebih memahami konstelasi di lapangan, setuju sambil senyum-senyum sendiri. Oke lah, bray!
Nubuat ahli strategi Moskow terbukti benar. Negara-negara teluk pendonor teroris ini kadung tak sabar dengan diplomasi AS yang kadang terlalu ‘jaim‘. Tak disangka tak dinyana, 25 faksi teroris yang hendak diselamatkan, malah ramai-ramai memutuskan bergabung dengan Jabhat al-Nusra, organisasi teroris yang dalam kesepakatan gencatan senjata, digunakan sebagai pemisah kata ‘moderat’.
Jika istilah ‘tamparan’ dianggap kurang hina, maka penolakan faksi pemberontak untuk dianggap ‘moderat’ dan lebih memilih menjadi teroris bersama Jabhat al-Nusra adalah muncratan ludah yang langsung mengena di kening Washington. Negara-negara teluk mulai ngomel-ngomel, menandakan kepemimpinan AS dalam manajemen konflik Syria tak lagi mutakhir.
Sebagai tanda komitmen dan ajakan rujuk pada negara-negara teluk, AS menyanggupi untuk membom pos militer SAA di Deir Ezzor demi Daesh. Perhitungannya, peran media dan kata ‘kecelakaan’ akan cukup untuk meredam pergolakan atas perbuatan keji itu, seperti saat AS rajin membom rumah sakit di Afghanistan. Apa daya, diplomasi balasan Rusia cukup tajam dan menusuk, mengisyaratkan kesabaran Moskow yang mulai menipis dengan polah Washington.
Tanpa ba-bi-bu, operasi pemusnahan teroris dilanjutkan di Aleppo, dan perlahan membuahkan hasil positif. AS mencoba metode yang dulu jitu untuk menghambat laju punahnya teroris mereka dengan propaganda konvoi PBB yang dibom dengan harapan akan memuluskan langkah mereka untuk terjun langsung ke Syria, seperti kasus Libya.
Ujungnya, upaya terakhir ini mentah dengan Rusia, yang memberi bukti seksama atas ketidakterlibatannya dalam peristiwa itu. Kata pamungkas Moskow, it’s just another of your false flags, bray..
3.000 pasukan ‘sukarelawan’ diturunkan Moskow ke Syria dengan satu tujuan, merebut kembali Aleppo. Manuver ini tak main-main bagi AS, karena Aleppo adalah pengait terakhir bagi intervensinya di Syria. Di titik ini, AS tak punya manuver tipu daya lagi untuk bereaksi.
Sebagai ganti, Washington mencoba mengancam akan membanjiri senjata anti-pesawat udara (MANPADS) kepada terorisnya di Aleppo, serta mengerahkan terorisnya untuk berbuat onar di kota-kota Rusia. Diplomasi memalukan, namun terpaksa dilakukan.
Soal MANPADS, AS bahkan berani mengambil resiko dengan kemungkinan senjata ini digunakan melawan pesawat-pesawatnya sendiri dan sekutunya, seperti Israel, Perancis dan Turki. Hadirnya MANPADS di tangan teroris juga menunjukkan bahwa Washington juga tak peduli dengan nasib pesawat komersial sipil di Timur Tengah, terutama di sepanjang wilayah yang dilanda konflik.
Bagi Rusia, solusinya sederhana. Hanya perlu alat kecil untuk mengacak pembidik MANPADS andalan AS tersebut, dan kini alat-alat tersebut sudah mulai dipasang di helikopter tempur dan Sukhoi 25, dua elemen udara Rusia yang paling terancam, karena kemampuan tempur keduanya yang membutuhkan terbang dalam ketinggian rendah.
Lalu apa artinya ancaman AS itu? Washington ingin membuat Rusia disalahkan, jika MANPADS-nya disalahgunakan dan menembak target sekutu sendiri, atau bahkan pesawat sipil. Logika kaum kepepet, bukan?
Kita memahami, bahwa AS berada di balik layar dalam hampir semua kekacauan di muka bumi. Namun, melihat AS sebegitunya membela Jabhat al-Nusra dan melepas kata-kata jaim dari diplomasinya, menandakan kekalahan telak sudah di depan mata.
Jelang bulan November, it’s gonna be a shit storm.