Malam ini, Admiral Kuznetsov – kapal induk satu-satunya milik Rusia – akan menyeberangi selat Gibraltar, menuju Laut Mediterania.
Di sana, ia akan bergabung dengan beberapa kapal perang dan kapal selam Rusia yang lebih dulu hadir di perairan paling penting dalam konteks geopolitik Afrika, Timur Tengah dan Eropa itu.
Meski berukuran kecil dan terbilang ‘karatan’, kehadiran Kuznetsov memaksa AS menurunkan 2 kapal induknya, Truman dan Eisenhower – duet pertama kali sejak invasi Iraq pada 2003 – dan hadirnya Charles de Gaulle, kapal induk milik Perancis sebagai pendukung.
Sebelum konflik Syria, Laut Mediterania adalah ‘kolam’ milik AS dan NATO. Malam ini, kolam itu akan mulai berombak, karena kehadiran Kuznetsov yang malah dengan bangga mengusung bendera Syria di geladaknya sejak melintasi perairan Inggris.
Secara kuantitas, ini pertempuran 3 lawan 1. Secara kualitas, Anda bisa kalkulasi sendiri mengapa kapal tua semacam Kuznetsov membuat AS – NATO kehilangan rasa percaya dirinya.
Dengan operasi pembebasan Mosul yang sudah berjalan hampir 10 hari, tanda-tanda jatuhnya ibukota Daesh itu dalam dua minggu semakin jauh dari terwujud. Memang kejatuhan Mosul tinggal menunggu waktu, namun klaim yang dilontarkan Washington kembali menjadi pepesan kosong.
Lagipula, sedari awal, operasi Mosul sendiri adalah rencana yang hampir dijamin berbuah ‘petaka’. Bagaimana tidak, begitu banyak pihak yang turut ambil bagian dalam operasi ini, yang mana satu sama lain memiliki tujuan yang berbeda, bahkan bertolak belakang.
Sebut saja keterlibatan AS yang menjanjikan dukungan serangan udara, Turki yang memaksa untuk menyertakan ‘pasukan khusus’-nya, hingga Peshmerga di bawah kendali Barzani yang ultra-oportunis.
Hasilnya sudah bisa ditebak. AS mulai membom pemukiman penduduk dan membunuh warga sipil, sementara Peshmerga tiba-tiba mengumumkan bahwa pihaknya tak lagi ikut serta dalam operasi gabungan ini, dan Sultan Erdogan entah kemana.
Praktis, Iraq hanya mengandalkan tentara reguler dari Divisi 9, beserta milisi Hashd al-Shaabi. Jumlah yang kurang memadai untuk menghadapi gerombolan ‘jihadis’ bersenjata mutakhir.
Namun, untuk melihat peta saat ini di Mosul, mau tak mau kita harus kembali ke Aleppo.
Aleppo sudah di ambang pembebasan. Gerak perlahan pasukan Syria, Iran dan Rusia semakin membuat teroris sulit bernafas. Meski mengeluarkan segala jurus, termasuk mencegah penduduk sipil mengungsi dengan menempatkan penembak jitu, kembalinya Aleppo ke tangan pemerintah Syria tinggal menunggu waktu.
Jika Aleppo jatuh, maka proyek pergantian rezim AS di Syria terhitung gagal total. Langkah AS yang melanggar kesepakatan gencatan senjata yang diprakarsai dengan Rusia, dan diikuti dengan serbuan fitnah media atas ‘kejahatan perang’ Syria dan Rusia menjadi penjelasan begitu gentingnya kondisi Aleppo bagi mereka.
Meski didukung oleh Iran, Rusia, Hezbollah dan Zaynabyun, jumlah SAA sebenarnya sangat kurang untuk melakukan operasi di Aleppo. Bagi pengamat militer, keberanian SAA untuk merebut Aleppo dari ribuan tentara bayaran asing terhitung ‘hardcore’, mengingat kondisi SAA sendiri yang sudah over-stretching.
Damaskus mungkin takkan bisa lagi merebut sisa wilayahnya yang direbut Kurdi di Rojava, atau mengempiskan buffer-zone yang diciptakan Erdogan di perbatasan utara. Namun dengan Aleppo di tangan Syria, maka 70% dari wilayah utama Syria sudah kembali ke pemilik yang sah.
Di sinilah strategi tipu daya AS mulai dijalankan. Pemboman pos tentara Syria di Deir Ezzor bukanlah sebuah kebetulan atau hal acak, atau bahkan kesalahan.
Posisi SAA yang goyah akibat serangan itu membuka pintu bagi penampungan teroris yang direncanakan AS dan Saudi, meliputi Syria timur hingga bagian barat Iraq, yang dimaksudkan sebagai markas baru, karena jatuhnya Aleppo dan Mosul yang tak terelakkan.
Hal ini diperparah dengan Erdogan yang bermain api di Iraq bersama Peshmerga, dan secara sembunyi-sembunyi menggerakkan al-Nusra untuk menggempur YPG di Syria.
Bagi sang Sultan, impian Neo-Ottoman belum sepenuhnya lenyap, dan parahnya, kepercayaan diri Erdogan tergolong terlampau tinggi.
Meski diam, Rusia mulai mengingatkan Ankara atas manuvernya yang mulai kelewat batas. Moskow berulangkali menyatakan bahwa kelakuan Turki di Iraq tak bisa diterima, dan menegaskan bahwa hubungan bilateral keduanya belum pulih seperti yang Erdogan perkirakan.
Keberhasilan Putin memaksa Erdogan untuk membeli S-400 merupakan manuver vital, karena sistem pertahanan udara tersebut sebenarnya memiliki peran antara sebagai ‘pangkalan militer’ mini di tanah Turki.
Dengan laju Admiral Kuznetsov di selat Gibraltar, dan penempatan S-400 di Tartus, Erdogan mengambil resiko besar untuk menjalankan agendanya sendiri. Saat ini, Erdogan berdiri di tali tipis yang menjadi pemisah antara sekutu, atau beban, bagi Moskow dan Washington.
Siapapun penerus Obama nantinya, Hillary ataupun Trump, tak akan merubah sikap dan konstelasi politik yang semakin gawat di Timur Tengah. Langkah strategis medianya untuk menggambarkan betapa berbedanya kedua calon itu terhitung berhasil dalam skala publik.
Namun Syria, Rusia, Iran, Iraq, China, Filipina dan India paham betul, takkan ada yang berubah dari Washington pasca November nanti. Dan inilah sebab utamanya, mengapa era hegemoni AS dan sekutunya akan berakhir di tanah Syria.
Again, go home Yankees!