Kehidupan bagi warga Damaskus, Syria, kini mulai berangsur normal. Meski pernah dikepung oleh militan asing, kini kota kuno itu dan penduduknya berjuang untuk membangun kembali hidup, tanah dan penghidupan mereka, berbahagia dalam rutinitas hari demi hari yang membosankan.
Sebelum mengunjungi Damaskus, saat tinggal di Kota Tua, suara mortar yang ditembakkan dari distrik yang dikuasai teroris di luar kota itu sering terdengar. Beberapa bulan belakangan, serangan mortar ke Damaskus telah berhenti. Sebelumnya, Jabhat al-Nusra (al-Qaeda di Syria), Jaysh al-Islam dan Free Syrian Army (FSA), termasuk beberapa faksi teroris lain, menghujani area penduduk Damaskus dengan mortar, yang mengenai sekolah-sekolah, perumahan, kendaraan dan pejalan kaki – membunuh dan melukai tanpa ampun, yang mengakibatkan penduduk sipil, termasuk anak-anak cedera kritis dan banyak yang diamputasi.
Dengan berakhirnya serangan mortar akhir-akhir ini, warga Damaskus mulai beraktivitas di luar ruangan, hal yang dulu sangat berbahaya. Kafe-kafe di pinggir jalan dan warung makan tak beratap yang buka di malam hari adalah sesuatu yang tak terpikirkan kurang dari setahun yang lalu, apalagi tempat santai dan kafe di atap gedung. Meski warga Syria sangat menderita dari ekonomi yang hancur akibat perang dan sanksi dari Barat, ada rasa perlawanan yang kembali tumbuh di Damaskus, sebuah semangat pantang menyerah, atau seperti dikatakan seorang pemuda berumur 20-an saat berkunjung dari Aleppo: ‘Warga Damaskus punya perang sendiri melawan kematian, dengan melanjutkan hidup’.
Petikan Kehidupan di Damaskus, Juni dan Juli 2016
Prosesi pernikahan di Kota Tua Damaskus. Cinta dan kehidupan terus berlanjut. Pendatang baru di Syria mungkin akan heran dengan semangat hidup warga Damaskus, yang telah menjalaninya di bawah serangan mortar al-Nusra dan Jaysh al-Islam selama bertahun-tahun, selain menjalani sanksi internasional yang kejam. ‘Tawadna’ adalah kata yang sering terdengar di Syria. ‘Kami terbiasa dengan hal itu.’ Bahkan meski dihujani mortar, penduduk Syria tetap merayakan pernikahan dan festival. Kini, setidaknya di Damaskus, menyelenggarakannya di luar ruangan sudah jauh lebih aman.
Pasar buku di dekat Jembatan Presiden dan Universitas Damaskus merupakan sebuah institusi bagi pecinta buku yang tak mampu membeli di toko buku. Pasar ini merupakan salah satu pusat keramaian di Damaskus yang menolak tutup selama bertahun-tahun, meski dihujani mortar. Selain buku-buku berbahasa Arab, Anda akan menemukan buku dan buku resep berbahasa Inggris, literatur Inggris, buku misteri berbahasa Inggris populer, dan bahkan novel romantis.
Di dalam gang sempit kota tua Damaskus, seniman mosaik kayu menjelaskan teknik dalam membuat karyanya. Hasil kerajinan kayu yang rumit dan indah ini merupakan favorit bagi turis. Meski pelanggan menjadi langka dalam lima setengah tahun terakhir, para seniman ini terus mengasah kemampuannya, dengan harapan saat kedamaian kembali ke Syria, begitu juga dengan para turis.
Bar Abu Zolouf merupakan satu dari banyak bar dan lounge yang beberapa bulan ini buka di bagian Gerbang Timur dari Kota Tua. Dua tahun lalu, saya sempat duduk dengan pemilik restoran yang ramah, Nabil, di luar restorannya yang dulu kosong, mendiskusikan serangan mortar yang ditembakkan Jabhat al-Nusra dan FSA ke Damaskus, dari Jobar, 1km arah tenggara. Sebagaimana mortar itu menghantam distrik-distrik di Kota Tua, Nabil menceritakan pengalamannya saat salah satu mortar menghantam bagian luar restorannya. Ia juga meratapi kepergian pelanggannya dalam tahun-tahun belakangan ini. Sejak dibuka 30 Mei 2016, bar Abu Zolouf kini melayani dari 70-150 tamu yang ingin bersantai setiap malamnya.
Le Visage, yang bertempat di Gerbang Timur, juga termasuk tempat-tempat yang pertama kali buka sejak serangan mortar berhenti beberapa bulan yang lalu. Dari lokasinya di atap gedung, pengunjung bisa melihat langsung Straight Street yang historis, menuju Gerbang Timur – dan juga kehidupan di balkon-balkon seberangnya, yang beberapa bulan sebelumnya kosong. Tampilan botol-botol alkohol yang menyala terang dalam gelap, dengan Jobar kurang dari 1km menjadi latar belakang. Seorang pemuda Damaskus menulis: ‘Bayangkan, Daesh hanya berjarak 4km dari sini dan kami membuka bar-bar baru. Inilah Syria!’
Dalam restoran berseni di sepanjang Straight Street, dinding-dinding batu dihiasai dengan lukisan berwarna cerah milik empunya restoran, dan sebuah papan dengan kata ‘Cangkir Kopi Ditunda’ di bagian atas. Hekmat Daoud, seorang seni dan desainer kostum ternama, yang juga merupakan pemilik restoran Kasida Dimashqia yang ramah, menerapkan tradisi yang ia sebut umum di Naples, Italia. “Saat membayar tagihan, pelanggan bisa membayar ekstra untuk minuman gratis bagi para pelajar dan orang yang terlalu miskin untuk membeli.” Setelah seminggu yang melelahkan, hanya beberapa janji cangkir kopi yang tertinggal. “Dulunya banyak, tapi sekarang pelajar hanya ingin arak dan bir,” uhar Daoud tertawa.
Berbagi makanan dengan sebuah keluarga di Kota Tua. Setelah lebih dari lima tahun peperangan terjadi di Syria, harga barang pokok naik secara dramatis, sementara pendapatan warga masih sama atau malah berkurang. Sanksi Barat terhadap Syria semakin memperburuk keadaan, sangat merugikan warga Syria dan pelayanan sosial.
Pages: 12