Saat 2017 menjelang akhir, pihak-pihak yang berperang di Suriah bergerak ke arah rekonsiliasi – namun AS tidak ada di antara mereka.

Islamic State sudah dikalahkan, Angkatan Darat Arab Suriah (ADAS) dan sekutunya mendekat ke sisa-sisa kantung yang dikuasai oleh ekstrimis lain, dan Iran, Rusia, dan Turki mulai menyongsong perdamaian.

Lalu ada Amerika. Donald Trump mungkin mengisyaratkan perubahan strategi, tapi dia masih menyusuri jalan yang sama seperti pendahulunya dalam hal Suriah.

Dengan tekad untuk melengserkan Presiden Suriah Bashar al-Assad sebagai jalan untuk melemahkan Iran dan menghidupkan kembali hegemoni regional AS, Gedung Putih pimpinan Barrack Obama bertaruh pada dua hal untuk mecapai tujuan ini: 1) strategi militer untuk merebut kendali Suriah dari rezim [berkuasa], dan 2) mediasi di Jenewa yang disponsori PBB dan didukung AS untuk mencopot Assad.

Washington kalah dalam taruhan militer ketika angkatan udara Rusia memasuki pertempuran pada September 2015, memberikan perlindungan udara dan pengaruh internasional yang berdampak besar pada usaha Assad.

Sekarang AS berfokus pada membangkitkan proses damai Jenewa yang tertatih-tatih yang mungkin dapat menghasilkan penyelesaian politik Suriah tanpa Assad.

Nyatanya, setelah dua tahun, keadaannya juga berbalik. Sekarang Iran, Turki, dan Rusia yang memimpin usaha rekonsiliasi di Suriah melalui sebuah proses yang dimulai di Astana dan minggu lalu dilanjutkan di Sochi – bukan Jenewa. Ketiga negara tersebut telah mengubah kondisi perang di darat dengan mengisolasi ekstrimis kunci, membuat zona gencatan senjata, dan negosiasi perjanjian untuk menjaga perdamaian.

Bukan kejutan kalau Amerika tidak berperan dalam inisiatif baru ini, dan mereka juga sama sekali tidak memberi saran apa pun. Sementara itu, kerangka kerja Jenewa PBB, tidak sekali pun berhasil membawa kedua pihak Suriah bertemu di Meja Besar meski pun setelah dilakukan delapan kali perundingan.

Sebagai ilustrasi, Utusan Khusus PBB untuk Suriah Staffan de Mistura, yang memimpin perundingan ini, sekarang berkata, “Kami telah memulai pertemuan paralel yang sangat berdekatan. Bahkan, saya berpindah-pindah dari ruangan yang satu ke ruangan yang lain yang berjarak lima meter,” dengan ekspresi datar.

Singkatnya, usaha yang dilakukan AS bagi Suriah sekarang seperti menabrak tembok, sementara perantara baru regional dan internasional mulai beraksi mengejar ketinggalan.

Jenewa: Proses yang dirancang untuk gagal

Satu minggu lalu, dengan keriuhan media, kita dijanjikan permulaan dan putaran baru Suriah. Untuk pertama kalinya sejak konferensi Jenewa I diluncurkan pada Juni 2012, kita mendapat berita bahwa pihak oposisi sudah “bersatu” dan tidak ada lagi “prasyarat” yang bisa saja menghalangi perundingan.

Ekspektasi yang ada segera kandas tak lama setelah beberapa anggota oposisi Suriah memberikan pernyataan off-message (pernyataan yang bertentangan dengan sikap resmi partai politik seseorang – penerjemah) dan berkeras bahwa “Assad harus lengser” suatu saat selama masa transisi. Mereka tidak bersatu. Dan pemerintahan Suriah tidak menyembunyikan kejijikan mereka. Mereka tiba [di tempat perundingan] terlambat satu hari dan buru-buru kembali ke Damaskus.

Inilah sebabnya kenapa negosiasi Jenewa sama sekali tidak akan berjalan lancar.

Pertama, “pihak oposisi Suriah” tidak benar-benar mewakili “rakyat Suriah.” Sebagian besar dari pihak oposisi ini dipilih oleh pemerintahan asing – sampai baru-baru ini, utamanya dipilih oleh sekutu AS di Riyadh, Doha, Ankara – untuk melakukan perintah mereka di Jenewa, dan “dipilih” oleh tidak lebih dari beberapa lusin rakyat Suriah lainnya yang berada di ibu kota negara asing.

Perwakilan AS de Mistura bahkan tidak repot-repot menyembunyikan fakta tersebut saat dia mengucapkan terima kasih kepada Saudi karena memfasilitasi “pembentukan delegasi oposisi bersatu.”

Proses yang dipimpin PBB tersebut – seperti pemerintahan AS – telah menciptakan kondisi yang menyingkirkan pihak oposisi domestik Suriah yang lebih independen dan nasionalis dari negosiasi. Ada pihak-pihak yang sangat menolak intervensi dan militerisasi asing pada konflik ini, menetang sanksi yang diberikan oleh Barat, dan memberi sinyal kesiapan untuk berrunding dengan pemerintahan Assad mengenai reformasi yang mereka inginkan.

Rusia dan Iran tetap membuka jalan bagi individu-individu dan kelompok-kelompok tersebut, dan banyak dari mereka kalah langkah menuju Moskow selama tahun-tahun belakangan ini untuk berkompromi dan mencari solusi. Beberapa bahkan berhasil [mencapai solusi], untuk pertama kalinya, pada perundingan kedelapan Jenewa.

Kedua, oposisi Suriah telah kalah perang – pemenang yang menentukan damai, bukan yang kalah. Tim di Jenewa tampak tidak menyadari fakta bahwa pemerintahan Suriah dan sekutunya sekarang telah mendapatkan keunggulan yang hampir tidak bisa dibalikkan di medan perang. Kedua pihak [yang berperang] tersebut tidak dalam posisi seimbang – dan tidak ada satu pun mentor adidaya di dunia yang dapat mengubah fakta itu.

Pemerintahan Assad dalam beberapa kesempatan telah mengatakan bahwa pihaknya bersedia untuk duduk dengan pihak Suriah mana pun yang datang tanpa prasyarat dan bernegosiasi dengan niat baik. Bertahun-tahun “rekonsiliasi” antara pemerintahan, masyarakat setempat, LSM, penjamin dari negara sahabat, dan tentara pemberontak merupakan bukti rekam jejak dari klaim tersebut. Hal ini adalah format negosiasi di masa depan – dan merupakan solusi yang sudah teruji, di tanah Suriah, bukan made-in-America atau Riyadh.

“Genjatan senjata” di Astana

Terobosan terjadi pada akhir 2016. Turki, negara lawan utama, yang mana senjata dan jihadis masuk ke Suriah melalui negara ini, melakukan tindakan putar-balik pada strateginya dalam menghadapi Suriah, didorong oleh dukungan militer AS bagi tentara Kurdi di utara Suriah, yang dipandang oleh Ankara sebagai ancaman bagi keamanan nasional. Presiden Turiki Recep Tayyip Erdogan mulai melakukan perjanjian taktis dengan Rusia dan Iran, dan menarik Qatar dan sekutu pemberontak Suriah ke sisinya. Gerakan ini mengubah keseimbangan di medan perang, memungkinkan ADAS dan sekutunya untuk membebaskan Aleppo (titik balik dalam perang ini) dan meluncurkan kampanye melawan ISIS yang akhirnya berhasil.

Tidak lama setelah itu, delegasi yang terdiri atas pemerintahan Suriah dan selusin faksi pemberontak bertemu di Astana, Kazakhstan, untuk melakukan pembicaraan tidak langsung yang disponsori oleh Turki, Iran, dan Rusia.

Pada awal Mei, ketiga negara tersebut menandatangani memorandum untuk mendirikan empat “zona de-eskalasi” di area-area yang diduduki pemberontak di Suriah. Zona-zona tersebut mencakup titik-titik kunci di utara Homs, selatan Suriah, timur Ghouta, dan provinsi Idlib, dan [memorandum tersebut] dapat diperbaharui setiap enam bulan. Meski pun beberapa kelompok bersenjata menolak memorandum tersebut, zona deeskalasi berhasil menekan kekerasan dan, yang penting, membantu menciptakan pemisahan antara ekstrimis dan pemberontak yang ingin turut serta dalam gencatan senjata.

Lebih jauh lagi, bagi lebih dari dua juta orang yang dipercaya berdiam di zona-zona ini, proses Astana juga menjamin akses kemanusiaan dan kesehatan, kembalinya orang-orang ke kota dan rumahnya sendiri, rekonstruksi infrastruktur penting, dan keuntungan-keuntungan lain.

Pada bulan Juli, AS dan Yordania bergabung dengan Rusia untuk memperantarai penjagaan di zona deeskalasi selatan Suriah, dengan membentuk komando gabungan di Yordania. Dan pada bulan September, Iran, Rusia, dan Turki setuju untuk menerapkan zona deeskalasi keempat dan terakhir di Idlib, benteng dari kelompok teroris al-Nusra yang berafiliasi dengan al-Qaeda.

Singkatnya, dalam rentang waktu delapan bulan, empat area kunci Suriah didemiliterisasi di bawah pengawasan tiga negara: Turki, pendukung utama militan oposisi Suriah, dan Iran dan Rusia, keduanya merupakan sekutu dekat pemerintahan Suriah.

“Solusi politis” berikutnya di Sochi?

Kebetulan gencatan senjata ini adalah salah satu dari dua tujuan primer proses Jenewa.

Tujuan lainnya adalah penyelesaian politik dari konflik Suriah, yang dicita-citakan oleh para arsitek [proses] Jenewa dalam bentuk pemerintahan transisi yang akan menghasilkan perbaruan konstitusi, persiapan pemilu, dan sebagainya.

Minggu lalu, pada malam Jenewa-8, ketiga sponsor Astana bertemu di Sochi setelah tanpa sengaja bertemu dengan Presiden Suriah Bashar al-Assad Presiden Rusia Vladimir Putin di sana yang tampaknya memberi sinyal atas persetujuan resmi Suriah akan apa yang terjadi selanjutnya.

Dalam sebuah pernyataan gabungan, presiden Iran, Rusia, dan Turki menyerukan agar “Kongres Dialog Nasional Suriah” di adakan di Sochi dalam waktu dekat, terdiri atas pemerintahan Suriah dan “pihak oposisi yang berkomitmen terhadap kedaulatan, kemerdekaan, persatuan, integritas teritorial dan menolak perpecahan negara Suriah.”

Meski pun mereka dengan hati-hati menunjukkan bahwa inisiatif tersebut dimaksudkan untuk “melengkapi” [proses] Jenewa, bukan sebagai “alternatif,” pernyataan tersebut juga memperjelas bahwa “Iran, Rusia, dan Turki akan berkonsultasi dan menyetujui peserta Kongres.”

Apakah hal ini lagi-lagi akan menjadi oposisi yang mendapat stempel dari pihak negara asing? Seorang sumber mengatakan tidak, “semua warga Suriah yang tidak mengasingkan dirinya sendiri dapat turut serta.”

Sangat mungkin kalau pihak garis keras dan ekstrimis tidak akan ikut serta dalam perundingan Sochi – mereka konsisten menolak interaksi langsung dengan pemerintahan Suriah dan tidak akan menerima masa depan di mana Assad menjadi pemimpin. Sebaliknya, kemungkinan Sochi akan menarik minat dari lapisan masyarakat Suriah yang lebih besar untuk mendekatkan diri pada pandangan oposisi domestik tradisional Suriah, yang tidak pernah diberikan kesempatan di Jenewa.

Pada akhirnya, dari semua ini dapat dibayangkan kalau solusi politis Suriah akhir akan tampak sangat mirip dengan reformasi yang ditawarkan Assad pada 2011 dan 2012. Proposal reformasi Assad tidak pernah diberi waktu dan tempat untuk menjadi matang dan, pada saat itu, langsung ditolak oleh pemerintahan asing dan sekutu Suriah mereka.

Tapi yang paling penting, jika Sochi dapat menyelesaikan apa yang bahkan tidak bisa dimulai oleh Jenewa, kita akan didorong ke era pasca-Amerika di mana aktor-aktor regional alternatif akan mampu memperantarai perjanjian damai yang signifikan secara global.

Resolusi dari konflik sebesar ini, yang sebagian besar berada di luar payung kerangka kerja yang dipimpin oleh PBB atau AS, mematahkan asumsi bahwa solusi geopolitik yang besar harus made-in-America.

Lagu yang paling sering dinyanyikan di Timur Tengah dalam ketidakpuasannya sekarang adalah bahwa “Amerika tidak menyelesaikan konflik, mereka mengelola konflik.”

Minggu ini Trump benar-benar menghapus pandangan bahwa Amerika merupakan mediator jujur dalam usaha damai Timur Tengah saat dia secara sepihak mengakui Yesrusalem sebagai ibukota Israel. Tidaklah mengejutkan bahwa Saudi, Yordania, Qatar, Sudan, Mesir, dan negara-negara lain sekarang berpaling ke Moskow untuk mendapatkan pemikiran segar.

Sharmine Narwani
http://www.theamericanconservative.com/articles/in-syria-peacemaking-is-no-longer-made-in-america