Sekarang menjadi jelas kalau Rusia – yang telah memveto sebelas Resolusi mengenai Suriah di Dewan Keamanan PBB sejak permulaan konflik pada tahun 2011 – akan mengenyampingkan semua kritik kosong selanjutnya dari pihak Barat.

Pada kenyataannya isi teks Resolusi menunjukkan melemahnya posisi Barat dalam hal Suriah dibanding Rusia.

Pada tahun 2016 mungkin saja kekuatan Barat akan menolak amandemen Rusia dan akan bersikeras supaya Resolusi diserahkan kepada Dewan Keamanan PBB dalam bentuk aslinya, yaitu yang mencantumkan tanggal permulaan gencatan senjata.

Resolusi tersebut mungkin saja akan mendapatkan suara yang dibutuhkan di Dewan Keamanan PBB supaya bisa lolos, yang mengharuskan Rusia untuk menggunakan hak vetonya.

Hal itu akan menyebabkan timbulnya kutukan keras dan tentangan lebih keras dari Dewan Keamanan kepada Rusia.

Fakta bahwa kekuatan Barat kali ini setuju dengan amandemen Rusia, yang dengan keadaan Ghouta timur sekarang menghilangkan makna dari Resolusi, menunjukkan bahwa antara mereka mulai lelah dengan permainan ini, atau mereka risau kalau keberatan Rusia menarik perhatian anggota-anggota non-permanen Dewan Keamanan PBB, sehingga Resolusi tidak akan mendapatkan cukup suara untuk lolos kalau dilakukan pemungutan suara untuk Resolusi bentuk asli.

Ringkasan debat di Dewan Keamanan PBB yang dirilis oleh Perserikatan Bangsa-bangsa menunjukkan kalau empat anggota Dewan Keamanan (Rusia, Cina, Bolivia, Kazakhstan dan Etiopia) mungkin akan memberikan suara tidak setuju atau abstain bila dilakukan pemungutan suara untuk Resolusi bentuk asli, dengan tiga anggota (Equitorial Guinea, Pantai Gading dan Peru) masih mengambang.

Kemungkinan besar ketiga negara tersebut akan memberikan suara setuju untuk Resolusi, tapi pernyataan duta-duta besar mereka selama debat tidak ada unsur retoris dan agak ambigu, sehingga mungkin saja beberapa atau bahkan ketiga negara tersebut akan abstain.

Karena Resolusi membutuhkan paling sedikit sembilan suara di Dewan Keamanan PBB untuk bisa lolos, kalau saja dua dari negara-negara tersebut abstain maka Resolusi tidak akan lolos tanpa perlu veto dari Rusia, menyebabkan kekalahan diplomatik masif bagi AS dan kekuatan Barat.

Mereka yang tahu tentang peristiwa ‘Pertempuran Akbar Aleppo’ pada tahun 2016 akan ingat kalau terdapat sejumlah gencatan senjata atau ‘jeda kemanusiaan’ yang diperintahkan oleh Presiden Putin, meski pun ada keberatan dari pihak Suriah dan pihak militer negaranya sendiri, dengan tujuan dapapt memberikan suplai bantuan kepada masyarakat sipil.

Rusia juga bernegosiasi keras untuk mencoba membuat ‘jihadis’ meninggalkan Aleppo timur di bawah pengawasan bersama keluarga mereka.

Namun semua gencatan senjata dan semua usaha untuk membuat ‘jihadis’ meninggalkan Aleppo timur berakhir dengan kegagalan.

Pihak ‘jihadis’ bersikeras menolak untuk pergi, dan akhirnya setuju saat wilayah yang berada di bawah kendali mereka menyusut sampai seluas satu kilometer persegi dan posisi mereka tidak lagi dapat dipertahankan secara militer.

Saya menduga kalau hal yang senada juga akan terjadi di Ghouta timur, meski pun tentara Suriah lebih kuat dibanding saat di Aleppo pada tahun 2016, dan karena ‘jihadis’ di Ghouta timur jauh lebih lemah dibanding Jihadis yang bertempur di Aleppo pada tahun 2016, saya memperkirakan prosesnya kali ini akan jauh lebih singkat.

Sekarang saja sudah ada laporan bahwa tentara Suriah berhasil merebut wilayah yang signifikan selagi mendekat ke arah ‘jihadis’ di Ghouta timur.

Sementara kekuatan Barat tidak memiliki sarana dan niat untuk mencegah apa yang yang akan terjadi, yaitu pembebasan Ghouta timur dari teroris yang dikendalikan oleh Al-Qaeda.

Meski pun butuh waktu lebih, saya memperkirakan tidak lama lagi seluruh wilayah Ghouta timur akan berada di bawah kendali pemerintahan Suriah.

Pada titik ini pemerintahan Suriah akan mampu untuk mengalihkan perhatiannya secara penuh ke krisis di area Kurdi Suriah di sisi utara jauh Suriah.

Alexander Mercouris
http://theduran.com/east-ghouta-last-great-battle-syrian-war/