Mengenai apa yang sebenarnya terjadi di balik kampanye membara untuk menghentikan serangan di Ghouta timur, tujuannya sama seperti kampanye membara untuk menghentikan serangan di Aleppo timur pada tahun 2016: untuk mencegah kantung ‘jihadis’ yang mengancam salah satu dari dua kota besar Suriah – Aleppo pada 2016, Damaskus hari ini – dihancurkan.

Mengenai apa yang akan terjadi bila – atau lebih tepatnya, saat – kantung ‘jihadis’ tersebut akhirnya dihancurkan, lebih baik saya mengutip kata-kata Marcus Papadopoulos

“Begitu Ghouta Timur dibebaskan dari Al-Qaeda, dunia akan melihat respon yang sama dari penduduknya seperti yang dunia pernah lihat begitu Aleppo dibebaskan: sorak kegembiraan. Dan, seperti juga Aleppo Timur, Ghouta Timur akan berperan sebagai kesaksian lain dari topeng yang dikenakan oleh White Helmets.”

Kenapa bisa ada usaha keras yang menjurus ke panik untuk menyelamatkan kantung ‘jihadis’ yang dikuasai Al-Qaeda dari kehancuran di dekat Damaskus?

Jawaban singkatnya adalah sama seperti kehancuran kantung ‘jihadis’ pada tahun 2016 di Aleppo timur menunjukkan kepada lobi ‘promosi demokrasi’ Barat kalau mereka tidak mungkin memenangkan perang perubahan rezim di Suriah, begitu juga kehancuran kantung ‘jihadis’ di Ghouta timur dekat Damaskus akan menunjukkan kepada lobi ‘promosi demokrasi’ Barat kalau mereka jelas kalah dalam perang perubahan rezim di Suriah.

Sisa-sisa daerah yang dikuasai ‘jihadis’ di Suriah akan berkurang menjadi area pinggiran di bagian Suriah yang terpencil dan miskin: tempat-tempat seperti propinsi Idlib di barat laut Suriah, pertahanan ISIS di area timur Eufrat, dan kantung kecil dekat pangkalan AS yang makin sepi di Al-Tanf dekat perbatasan dengan Yordania.

Meski pun pertempuran tidak serta-merta berakhir, dan masalah masif akan apa yang harus dilakukan terhadap Turki dan Kurdi di utara Suriah akan tetap tak terpecahkan, makin sulit untuk mempertahankan dongeng yang menceritakan bahwa perang sipil kemungkinan akan berakhir dengan kemenangan “pemberontak”.

Seiring waktu, tekanan untuk menarik tentara asing yang tidak diundang – AS, Turki dan Israel – yang sekarang berada di wilayah Suriah akan makin meningkat.

Pada saat itu pertempuran melawan ‘jihadis’ akan berkurang menjadi operasi sapu bersih, dan sandiwara ‘perundingan damai’ di Jenewa, Astana dan Sochi akan berakhir.

Meski pun terdapat kemiripan antara kegaduhan tentang masalah pertempuran di Aleppo pada tahun 2016 dengan pertempuran di Ghouta timur hari ini, ada satu perbedaan penting.

Kali ini kegaduhannya tidak disertai dengan alasan kuat.

Setelah kemenangan tentara Suriah di Aleppo pada tahun 2016, dan setelah pendirian pangkalan Rusia permanen di Suriah, sekarang tidak ada lagi kemungkinan Presiden Assad dapat digulingkan secara paksa.

Hal ini berarti bahwa perubahan rezim di Suriah tidak lagi dapat dilakukan, yang menimbulkan pertanyan kenapa perang masih terus dilanjutkan.

Kesampingkan dulu masalah itu, karena AS dan koalisi perubahan rezim tahu bahwa ‘kemenangan’ “pemberontak” tidak lagi memungkinkan, protes mereka terhadap maneuver ofensif tentara Suriah yang masih berlangsung melawan ‘jihadis’ di Ghouta timur menjadi tidak memiliki alasan kuat dan memiliki kekuatan yang sama dibandingkan pada tahun 2016.

Hal ini menjelaskan Resolusi kosong yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB pada Sabtu, 24 Februari 2018. Saya mereproduksi seluruh teks Resolusi di bawah ini, tapi paragraf kuncinya adalah sebagai berikut

Dewan Keamanan

……………………..

Meminta kepada semua pihak untuk dengan segera menghentikan kekerasan, dan segera melaksanakan permintaan ini secara penuh dan diterapkan secara komprehensif, supaya bisa dilakukan jeda kemanusiaan sementara selama paling tidak 30 hari berturut-turut di seluruh Suriah, untuk memungkinkan untuk dijalankannya bantuan dan layanan kemanusiaan dan evakuasi medis yang aman, leluasa dan berkesinambungan bagi korban yang sakit dan terluka parah, sesuai dengan hukum internasional yang berlaku;

Menegaskan bahwa penghentian kekerasan tidak berlaku untuk operasi militer melawan Islamic State in Iraq and the Levant (ISIL, dikenal juga sebagi Da’esh), Al Qaeda dan Al Nusra Front (ANF), dan semua individu, kelompok, organisasi dan badan yang berhubungan dengan Al Qaeda atau ISIL, dan kelompok teroris lainnya, sesuai dengan yang ditentukan oleh Dewan Keamanan;

Poin kunci dari paragraf 1 adalah meski pun Resolusi “meminta kepada semua pihak untuk dengan segera menghentikan kekerasan” namun tidak ditetapkan tanggal penghentian kekerasan, yaitu kapan gencatan senjata dimulai.

Malahan “semua pihak” diminta untuk “segera melaksanakan (yaitu bernegosiasi satu sama lain) permintaan ini secara penuh dan diterapkan secara komprehensif”.

Dengan kata lain ketimbang memaksakan gencatan senjata Dewan Keamanan PBB malahan hanya memerintahkan negosiasi untuk menyepakati gencatan senjata tersebut.

Anehnya, Resolusi tersebut tidak menyebutkan siapa saja “semua pihak” yang harus menegosiasikan gencatan senjata ini. Bagian selanjutnya dari Resolusi tersebut memperjelas kalau “semua pihak” yang dimaksud tidak termasuk “organisasi dan badan yang berhubungan dengan Al Qaeda atau ISIL, dan kelompok teroris lainnya, sesuai dengan yang ditentukan oleh Dewan Keamanan”. Namun sama sekali tidak disebutkan dengan “pihak” yang mana pemerintahan Suriah harus melakukan negosiasi gencatan senjata.

Kenyataannya adalah karena pasukan ‘jihadis’ di Ghouta timur praktis per definisi merupakan anggota dari “organisasi dan badan yang berhubungan dengan Al-Qaeda atau ISIL”, yang dimasukkan dalam gencatan senjata, tidak ada satu pihak pun di Ghouta timur yang bisa diajak bernegosiasi gencatan senjata.

Selama penyusunan sampai tahap pemungutan suara Resolusi di hari Sabtu, pihak Rusia menunjukkan kalau rancangan Resolusi yang mereka terima – secara resmi disponsori oleh Kuwait dan Swedia, tapi pada kenyataannya ditulis oleh kekuatan Barat – gagal mengidentifikasi dengan siapa pemerintahan Suriah harus melakukan negosiasi gencatan senjata.

Karena tidak mungkin terjadi negosiasi untuk menyepakati syarat-syarat gencatan senjata bila salah satu pihak yang seharusnya menyetujui gencatan senjata tidak teridentifikasi dan pada kenyataannya tidak ada sama sekali, hal ini membuat permintaan gencatan senjata ini menjadi hampa.

Nyatanya pada saat saya menulis [artikel] ini, meski pun Resolusi meminta untuk “segera menghentikan kekerasan”, negosiasi untuk menyepakati gencatan senjata tidak terjadi dan manuver ofensif tentara Suriah melawan Jihadis di Ghouta timur terus berlangsung tanpa henti.

Kekuatan Barat agaknya setuju untuk meneruskan Resolusi ke tahap pemungutan suara dalam bentuk yang tidak berarti ini karena mereka bermaksud untuk menyalahkan Suriah dan Rusia di kemudian hari karena “kegagalan” mereka mengikuti “permintaan” Resolusi untuk melakukan gencatan senjata.

Namun keadaan tersebut malah menunjukkan kebobrokan kebijakan Barat mengenai Suriah.