Pengepungan Petersburg pada masa Perang Sipil Amerika berlangsung selama 9 bulan. Pengepungan Tobruk dalam Perang Dunia II berlangsung selama 8 bulan.

Pertahanan Leningrad masa PD II hanya bertahan selama 900 hari. Pada 2011, Tripoli tumbang hanya dalam 8 hari.

‘The Battle of Aleppo’ telah berlangsung sejak 2012, dan sejauh ini, tak ada pihak yang memiliki keunggulan menentukan dalam konflik ini.

Aleppo bukan ibukota Syria, namun populasinya pada 2012 mencapai 2.1 juta jiwa, yang lebih banyak ketimbang Damaskus. Ia merupakan pusat industri, dengan konsentrasi pabrik elektrikal, kimia, tekstil dan obat-obatan.

Aleppo menyumbang 60% dari pendapatan ekspor Syria. Kota ini juga merupakan pusat sekolah militer, seperti Akademi al-Assad, dan juga tempat penyimpanan senjata.

Perlu dicatat bahwa teroris sebelumnya tak terlalu kuat di bagian barat kota ini. Di sisi lain, bagian timur Aleppo kebanyakan ditinggali oleh imigran dari pedesaan yang miskin, dengan pemikiran Islam yang konservatif.

Di saat yang sama, bagian barat Aleppo ditinggali secara turun-temurun oleh penduduknya, termasuk minoritas Kristen.

Pertempuran Aleppo dianggap sangat penting bagi semua pihak yang terlibat di dalam konflik. Teroris merencanakan Aleppo sebagai markas sebelum melancarkan teror di sepanjang perbatasan barat daya Syria – Turki.

Bagi SAA, tugas utama mereka adalah mencegah rencana ini – yang pada akhirnya akan melibatkan intervensi Turki dengan dalih untuk ‘mengamankan perbatasannya sendiri’.

Lalu, mengapa pertempuran Aleppo berjalan begitu lama? Ada beberapa penjelasan.

Pertama, Aleppo adalah perkotaan yang padat. Perang yang terjadi pada abad ke-20 menunjukkan bahwa jenis peperangan yang sangat sulit adalah perang kota. Setiap rumah atau gedung bisa dirubah dalam sekejap menjadi benteng dengan lubang-lubang untuk moncong senjata berat.

Loteng-loteng sudah diperkuat untuk menahan bom dan mortir, selain digunakan untuk istirahat. Ditambah lagi, sebagai penyimpanan ideal senjata, amunisi, makanan dan bahan bakar. Bahkan rumah yang sudah hancur sekalipun, bisa berguna sebagai penutup pergerakan personil dan peralatan.

Menara-menara dan cerobong asap sangat sesuai untuk penembak jitu dan pengintai artileri dan serangan udara. Komunikasi bawah tanah digunakan oleh kedua belah pihak untuk menyembunyikan pasukan dan serangan mendadak di dalam garis depan.

Perkembangan pertempuran perkotaan yang padat menyulitkan penghancuran gedung-gedung dan rumah ini karena hal itu akan memerlukan stok amunisi dan artileri yang sangat banyak, atau bahkan bom mobil.

Pertempuran kota menimbulkan masalah rantai komando dan kontrol karena begitu tipisnya jarak antara tembakan teman dan musuh, dan kemustahilan untuk menjaga garis depan tetap ‘bersih’.

Bahaya akan tembakan teman yang tak disengaja sangat tinggi. Peperangan di kota selalu terjadi secara tiba-tiba, yang menempatkan personil dalam stres psikologi terus-menerus.

Situasi perkotaan yang padat juga mengurangi konsentrasi pasukan, yang membuat mengumpulkan pasukan dan intelijen menjadi sangat sulit, dan membuat komunikasi radio menjadi tak berguna.

Tak diragukan lagi, dalam perang kota, lebih baik dalam posisi bertahan, ketimbang menyerang.

Kedua, adalah motivasi dari pihak yang bertikai. Aleppo telah berubah menjadi benteng, dengan SAA sebagai pengepung, dan teroris sebagai yang dikepung.

SAA sudah berdarah-darah dalam perang di Aleppo selama 4 tahun terakhir, dan membutuhkan bantuan persediaan dan pergantian personil. Banyak diantara sekutu SAA, seperti IRGC atau sukarelawan dari Iraq, datang dari luar perkotaan yang akibatnya membatasi kemampuan efektif mereka.

Di Syria, banyak pemuda lelaki yang harusnya ikut bertempur bersama SAA namun memilih mengungsi. Di sisi lain, korban di sisi teroris juga tak kalah banyak, dan meski terputus dari dunia luar, mereka mendapat dukungan dari propaganda internasional.

Bagi teroris, tak ada alasan bagi mereka untuk menyerah, terutama ancaman hukuman yang menanti akibat kekejaman yang mereka lakukan. Dalam sisi ini, pertempuran yang lebih sengit diperkirakan akan lebih terjadi.

Ketiga, perbandingan jumlah personil. Kedua belah pihak tak memiliki keunggulan signifikan dalam jumlah. Namun perlu dicatat, secara umum, pengepung setidaknya harus memiliki jumlah tiga kali lipat untuk bisa menang.

Bagi SAA, jumlah yang sepadan dengan teroris, harus dibagi lagi untuk menjaga daerah yang terbebas, untuk mencegah lolosnya teroris dari kepungan, membersihkan kota dari ranjau dan jebakan, disamping harus menghindari sebanyak mungkin kematian personil yang tentunya akan mengurangi kekuatan SAA secara signifikan.

Keempat, jumlah penduduk sipil yang terjebak sangat besar. Menurut data PBB, masih ada setidaknya 250.000 nyawa yang tak terkait dengan teroris, namun tak bisa mengungsi keluar meski beberapa koridor evakuasi telah disediakan oleh SAA.

Penempatan penembak jitu oleh teroris di titik-titik evakuasi membuat kemungkinan warga sipil untuk bisa melarikan diri dari Aleppo menjadi sangat minim. Hal yang diperburuk dengan langkah PBB yang bermuka dua, terutama sejak gencatan senjata terakhir yang turut diprakarsai bersama AS.

Bagi teroris, penduduk sipil di Aleppo sama berharganya dengan amunisi dan pertahanan yang mereka miliki. Dengan menahan begitu banyak sipil dalam penguasaannya, manuver pilihan serangan udara yang bisa dilakukan Syria menjadi sangat terbatas.

Warga sipil merupakan satu-satunya alasan mengapa Syria belum menjalankan strategi ‘carpet bombing’ di Aleppo.

Dengan beberapa poin di atas, solusi damai untuk Aleppo menjadi mustahil di titik sekarang ini. Syria dan Rusia tak akan menyerahkan Aleppo, berapapun harga yang mesti dibayarnya.

Sementara teroris yang bercokol di sana, mendapat keunggulan dalam sisi jumlah, peralatan perang dan informasi intelijen, serta penduduk sipil yang bisa dijadikan sandera untuk menghambat laju SAA merebut kota itu kembali.

https://southfront.org/why-the-battle-for-aleppo-is-so-long-and-so-important/