Sebuah kritik tersembunyi yang ditujukan kepada International Socialist Organization (ISO) dalam gambar di bawah, mengambil judul “Jika ISO Ada Pada 1865”, menggambarkan secara gamblang orientasi utama kaum liberal Barat pada pemerintahan nasionalis Arab di Damaskus.
Apa yang ditunjukkan dalam grafis tersebut adalah bahwa ISO dan yang serupa dengannya, akan berupaya keras mencari kelompok Syria lokal yang mengangkat senjata melawan Damaskus, untuk didukung, sampai di titik dimana mereka bersikeras bahwa kelompok semacam itu ‘pasti ada’, meski tak diketahui rimbanya.
Tentu, Washington akan mengulurkan bantuan untuk menamai proksi-proksinya dengan sebutan-sebutan pujian. Pemberontak Islamis di Syria, terutama al-Qaeda, belum lama disebut-sebut Washington sebagai gerakan pro-demokrasi, dan ketika taktik itu tak lagi berhasil, maka mereka disebut sebagai pemberontak ‘moderat’.
Dan saat dimana kini pemberontak ‘moderat’ tersebut terbukti berkelakuan bertolak-belakang, neocon mulai menyandarkan harapan bahwa di antara gerombolan Islamis itu, pasti ada pendukung sekulerisme dan sosialisme – sesuatu yang sudah lebih dulu diterapkan pemerintah Damaskus.
Menurut mereka, di suatu tempat di Syria, hadir sebuah kelompok bersenjata anti-pemerintah berhaluan liberal sekuler yang bisa didukung neocon; namun tujuan utama Barat hanyalah untuk mencari-cari alasan, apapun itu, tak peduli bagaimana lemahnya, untuk menciptakan kesan keunggulan moral pada sebuah kelompok yang memerangi pemerintah Syria; kelompok yang bisa ditampilkan sebagai non-sektarian, anti-imperialis, sosialis, menjunjung hak wanita dan minoritas, dan pro-Palestina; dengan kata lain, sebuah kelompok seperti partai Baath, hanya saja, asal bukan partai Baath.
PKK hadir untuk mengisi harapan itu. Sebuah kelompok gerilya anarkis yang disebut sebagai teroris ketika beroperasi di Turki, namun berubah nama menjadi YPG di Syria, dimana ia menjadi komponen utama kelompok yang dielu-elukan, Syrian Democratic Force (SDF). Bahkan YPG terdengar sangat menarik bagi warga liberal Barat hingga beberapa diantara mereka sampai menjadi sukarelawan untuk bertempur bersama mereka. Namun, apakah YPG benar-benar sebuah harapan seperti yang digemborkan?
Kurdi di Syria
Sulit untuk menentukan secara tepat tentang jumlah populasi Kurdi di Syria, namun jelas bahwa etnis ini mewakili presentase yang kecil dari populasi Syria (kurang dari 10 persen menurut CIA, dan hanya 8,5 persen menurut Nikolaos Van Dam dalam bukunya The Struggle for Power in Syria).
Perkiraan proporsi keseluruhan populasi Kurdi yang hidup di Syria berkisar antara 2 hingga 7 persen berdasarkan angka yang disebut dalam CIA World Factbook. Setengah dari komunitas Kurdi hidup di Turki, 28% hidup di Iran dan 20% di Iraq.
Laporan Departemen Pertahanan AS tahun 1972 memperkirakan hanya sekitar 4 hingga 5 persen dari populasi Kurdi di dunia yang hidup di Syria. Meski hanya perkiraan kasar, namun jelas bahwa Kurdi mewakili proporsi kecil dari populasi Syria dan jumlah Kurdi yang hidup di Syria sebagai bagian komunitas Kurdi secara keseluruhan, sangatlah kecil.
PKK
Petempur Kurdi beroperasi di Syria di bawah nama YPG, yang terikat dengan Kurdistan Workers’ Party atau PKK, sebuah gerakan gerilya radikal yang menggabungkan ide-ide anarkis dengan nasionalisme Kurdi. PKK telah memerangi Turki secara gerilya sejak tahun 1978, dan dianggap sebagai organisasi teroris oleh Uni Eropa, Turki dan Amerika Serikat.
Cemil Bayik, adalah komandan lapangan PKK di Turki, dan juga inkarnasinya di Syria, YPG. Bayik juga mengepalai organisasi payung PKK, KCK – yang berfungsi untuk menyatukan afiliasi PKK di beberapa negara. Semuanya mengikuti pemimpin yang sama, Abdullah Ocalan, yang dipenjara di Turki sejak 1999, saat ia ditangkap dengan bantuan CIA.
Ocalan, dulu sempat menjadi pengikut setia Marxisme-Leninisme, menurut Carne Ross yang menulis profilnya pada 2015. Namun Ocalan akhirnya berpendapat bahwa, “seperti kapitalisme, keberhasilan komunisme sangat bergantung pada pemaksaan”.
Saat dipenjara di sebuah pulau di Laut Marmara, Ocalan menemukan karya pemikir politik asal New York, Murray Bookchin. Bookchin percaya bahwa demokrasi sejati hanya akan berhasil jika proses pengambilan keputusan diserahkan pada komunitas lokal dan tidak dimonopoli oleh elit yang tak tersentuh dan tak bisa dimintai pertanggungjawaban.
Menurut Bookchin, pemerintah sangat diidamkan, namun pengambilan keputusan harus inklusif dan tidak terpusat. Meski anarkis, Bookchin lebih suka menamai pendekatannya dengan “communalism”. Ocalan mengadopsi pemikiran Bookchin dalam nasionalisme Kurdi, sekaligus melabelinya sebagai “konfederalisme demokratis”.
Zionisme buruh juga memiliki ide serupa mengenai sistem politik yang berdasar pada komunitas yang tidak terpusat, namun pada intinya, ia-nya adalah gerakan nasionalis. Begitu juga, pandangan Ocalan tak akan bisa dimengerti di luar kerangka nasionalisme Kurdi.
PKK mungkin mengusung tujuan utopis yang indah tentang konfederalisme demokratis, namun pada intinya, ia adalah organisasi yang mendedikasikan diri untuk menciptakan pemerintahan Kurdi – dan pada akhirnya, tidak hanya pada wilayah tradisional Kurdi saja, namun juga Arab – hal yang membuatnya paralel dengan zionisme.
Di Syria dan Iraq, petempur Kurdi memanfaatkan kampanye melawan Daesh sebagai kesempatan untuk melebarkan Kurdistan ke dalam wilayah tradisional Arab, dimana populasi Kurdi menjadi minoritas.
Sam Dagher, penulis The Wall Street Journal, mengatakan bahwa tujuan PKK adalah “konfederasi mandiri pimpinan Kurdi di Iran, Iraq, Syria dan Turki”, negeri-negeri yang memiliki kehadiran populasinya, meski, seperti yang kita saksikan, jumlahnya tidak signifikan di Syria.
Dagher melanjutkan, “dalam mengejar tujuan ini, sekitar 5000 Kurdi Syria telah tewas bertempur bersama PKK sejak pertengahan 1980-an, dan kini hampir semua pimpinan YPG dan petarungnya yang berpengalaman merupakan veteran dari konflik berdekade mereka dengan Turki.”
Dagher juga menambahkan, “di Syria, PKK memiliki tujuan untuk mendirikan wilayah pemerintahan sendiri di utara Syria”, sebuah wilayah dengan populasi Arab yang cukup signifikan.
Saat petempur PKK menyeberang perbatasan ke Turki, mereka menjadi ‘teroris’, menurut Amerika Serikat, Uni Eropa dan Turki, namun saat mereka kembali menyeberang ke Syria, dengan ajaib mereka berubah sebagai pejuang gerilya yang mengobarkan perang dengan demokrasi yang konon menjadi komponen utama SDF.
Kenyataannya, mau di Turki atau Syria, PKK menggunakan metode yang sama, mengejar tujuan yang sama, dan bertempur dengan personel yang sama. YPG adalah PKK.
Sebuah Kesempatan
Washington sudah lama ingin menyingkirkan kaum nasionalis Arab di Syria, menganggap mereka sebagai “sebuah fokus perjuangan nasionalis Arab melawan kehadiran dan kepentingan Amerika di kawasan”, seperti dituturkan Amos Mo’az.
Para nasionalis, khususnya Partai Sosialis Arab Ba’ath, yang berkuasa sejak 1963, mewakili banyak hal yang dibenci Amerika: sosialisme, nasionalisme Arab, anti-imperialisme dan anti-zionisme.
Washington mencela Hafez al-Assad, presiden Syria dari 1970 – 2000, mengatainya sebagai komunis Arab, dan menganggap putranya, Bashar, yang menggantikannya sebagai presiden, hanya sedikit berbeda.
Menurut keluhan Departemen Luar Negeri AS, Bashar tidak memberi kesempatan ekonomi Syria – yang berdasar model Soviet, menurut peneliti Deplu AS – untuk melebur dengan ekonomi global pimpinan AS.
Ditambah lagi, Washington masih menyimpan kekesalan tentang dukungan Damaskus pada Hezbollah dan gerakan pembebasan nasional Palestina.
Para perencana kebijakan AS memutuskan untuk menghilangkan kaum nasionalis Arab dengan menyerang negeri mereka, pertama di Iraq, pada 2003, lalu Syria. Meski demikian, Pentagon segera menyadari bahwa sumber daya mereka dihambat oleh pendudukan yang mereka lakukan di Afghanistan dan Iraq, dan hal ini membuat invasi atas Syria menjadi mustahil.
Sebagai alternatif, Washington segera memulai kampanye perang ekonomi terhadap Syria. Kampanye itu, yang masih berjalan hingga 14 tahun setelahnya, pada akhirnya mencekik ekonomi Syria dan menghambat negeri itu dalam memenuhi kebutuhan kesehatan, pendidikan dan layanan dasar di beberapa wilayah.
Di saat yang sama, Washington melakukan langkah-langkah untuk memancing perang suci yang berjalan panjang, melalui kaum Islamis yang mengobarkan perang terhadap pemerintahan sekuler, sejak tahun 1960-an dan berakhir dengan perebutan berdarah atas kota Hama, kota terbesar ke-4 di Syria pada 1982.
Sejak 2006, Washington bekerja sama dengan Ikhwanul Muslimin di Syria untuk kembali mengobarkan jihad melawan pemerintahan sekuler Assad. Ikhwanul Muslimin mengadakan dua pertemuan di Gedung Putih, dan sering melakukan pembicaraan dengan Departemen Luar Negeri dan Dewan Keamanan Nasional AS.
Pecahnya kekerasan pada 2011 disambut PKK sebagai kesempatan. Yaroslav Trofimov, pernah menulis di The Wall Street Journal, “PKK, yang dulunya merupakan sekutu Damaskus, sudah lama hadir di komunitas Kurdi di utara Syria. Saat ombak ‘revolusi’ tiba di Syria, cabang PKK di Syria dengan cepat menguasai tiga wilayah dengan mayoritas Kurdi di sepanjang perbatasan dengan Turki. Petempur PKK dan senjata mengalir deras ke sana dari bagian lain Kurdistan.”
Rekan Trofimov, Joe Parkinson dan Ayla Albayrak, memandang bahwa, “perang sipil yang terjadi merupakan kesempatan untuk merebut wilayah teritorial – mirip dengan apa yang sudah dilakukan Kurdi di Iraq.” Wilayah tersebut, yang didukung sejak lama oleh Amerika Serikat dan Israel, dipandang sebagai alat untuk melemahkan pemerintah Iraq.
Damaskus ‘mempercepat’ pengambil-alihan wilayah ini dengan menarik pasukannya di situ. Pakar Timur Tengah, Patrick Seale, pernah menulis bahwa Kurdi telah memanfaatkan kesempatan atas kekacauan yang terjadi dan menggunakannya untuk agenda politik mereka. Ia juga memperkirakan bahwa penarikan tentara Syria dari wilayah mayoritas Kurdi, adalah untuk memperkuat front Damaskus dan Aleppo; menghukum Turki atas dukungannya atas jihadis; dan sebagai upaya damai bagi Kurdi, yang mencegah mereka bergabung dalam pemberontakan jihadis.
Pada akhirnya, PKK, memang tidak bergabung bersama jihadis, sesuai harapan Damaskus. Namun, mereka melebur bersama oposisi utama nasionalisme Arab di Syria; sang dalang sendiri, yaitu Amerika Serikat.
Pada 2014, PKK sudah mengumumkan tiga wilayah administrasi mereka yang mandiri di Syria utara; Afrin, di barat laut dekat Aleppo; Kobani dan Jazira di timur laut, yang kesemuanya mengelilingi Ras al-Ain dan kota Qamishli. Tujuan akhir mereka adalah untuk menghubungkan ketiganya, dan berarti menundukkan wilayah yang penuh dengan penduduk Arab.
Kesepakatan dengan Washington
Di titik ini, PKK memutuskan bahwa yang terbaik bagi tujuan politiknya adalah membuat kesepakatan dengan Washington.
Departemen Luar Negeri AS sendiri telah “menyetujui kemungkinan sebuah bentuk desentralisasi bagi beberapa kelompok berbeda” – Kurdi, pemerintah Syria yang sekuler, dan jihadis – yang masing-masing memperoleh otonomi di Syria.
Perhatikan asumsi implisit dalam pandangan ini bahwa Washington menganggap dirinya memiliki hak untuk memberikan otonomi di tanah Syria, ketika pertanyaan bahwa apakah negeri itu harus berpecah dalam jalur demokratis dalam negeri Syria, ditolak mentah-mentah oleh warganya.
Jika kita ingin menganggap serius ide Ocalan yang terinspirasi dari Bookchin mengenai otoritas pengambilan keputusan komunal, maka ini adalah kekejian anti-demokratis yang tidak bisa dibiarkan.
PKK juga sangat gembira dengan ide AS untuk membagi Syria menjadi zona yang mewakili wilayah yang kini dikuasai oleh pemerintah, Daesh, Kurdi dan petempur lainnya. Sistem federal akan didirikan, tak hanya bagi wilayah dengan mayoritas Kurdi, namun juga seluruh wilayah yang saat ini dikuasai oleh PKK. Zona ini akan terus meluas dengan mengikutsertakan wilayah yang ingin ditaklukkan Kurdi dalam pertempuran, tak hanya melawan Daesh, namun juga jihadis lainnya.
PKK juga menekan pejabat AS untuk beraksi atas rencana ini, menjanjikan akan berperan sebagai kekuatan darat AS melawan Daesh sebagai imbalan. PKK menyatakan bahwa kelompoknya sudah “tidak sabar untuk bergabung dalam koalisi pimpinan AS untuk meraih pengakuan dan dukungan dari Washington dan sekutunya, untuk mendirikan administrasi Kurdi di wilayah yang sudah mereka rebut di utara Syria.
Namun hanya ada satu masalah. Pihak yang diuntungkan dari skema ini, hanyalah Israel dan Amerika Serikat.
“Dukungan AS pada milisi Kurdi” tak hanya terjadi di Syria, namun juga di Iraq, dimana Kurdi juga mengeksploitasi pertempuran dengan Daesh untuk merebut wilayah yang secara tradisional merupakan milik Arab, yang bertujuan “untuk memecah Syria dan Iraq”, seperti diungkap Robert Fisk.
Pemecahan ini akan menyumbang keuntungan besar bagi Amerika Serikat dan Israel, dimana keduanya gencar menerapkan politik pecah belah untuk menjaga hegemoni di dunia Arab.
Patrik Seale mencatat bahwa rencana Kurdi – AS untuk mendirikan Kurdistan di utara Syria disambut dengan “kegembiraan diam-diam di Israel, yang sudah lama memiliki hubungan rahasia yang panjang dengan Kurdi, dan akan menyambut apapun perkembangan yang bisa melemahkan Syria.”
Demi kepentingannya, Turki keberatan, menganggap bahwa Washington telah setuju untuk memberikan seluruh Syria utara pada PKK. Damaskus, kokoh menentang rencana itu, dan “memandangnya sebagai sebuah langkah menuju pemecahan permanen negeri itu”.
Syria di masa modern, sudah merupalan hasil pemecahan Syria Raya melalui tangan Inggris dan Perancis, yang membagi negeri itu menjadi Lebanon, Palestina, Trans-Yordania dan apa yang kini dikenal sebagai Syria.
Pada Maret 1920, Kongres Umum Syria yang kedua memproklamirkan bahwa “Syria akan tetap mandiri di dalam batas wilayah alaminya, termasuk Lebanon dan Palestina.” Secara serentak, delegasi Arab di Palestina menantang gubernur militer Inggris dengan resolusi penentangannya atas zionisme, dan petisi untuk bergabung dengan Syria.
Perancis lalu mengirim Tentara Levant, yag sebagian besar serdadunya terdiri dari koloninya di Senegal, yang kemudian mengalahkan usaha Arab untuk mendirikan negara mandiri.
Syria, yang sudah dipecah oleh mesin imperial Inggris dan Perancis, dianggap terlalu kecil untuk berubah menjadi negara federal, seperti dikatakan Bashar al-Assad. Namun Assad juga cepat menambahkan bahwa pandangan pribadinya merupakan hal yang tak penting; karena pertanyaan apakah Syria harus menjadi federal, konfederal atau negara persatuan, merupakan hak yang harus diputuskan rakyat Syria dalam referendum yang konstitusional. Sebuah pandangan demokratis yang menyegarkan, yang bertolak-belakang dengan posisi Barat yang ngotot untuk mengatur urusan politik dan ekonomi Syria.
Ujung Tombak Amerika
Bagi Washington, PKK menawarkan manfaat tambahan dalam pergerakan gerilya Kurdi dalam menjalankan agenda AS untuk melemahkan Syria dan memecahnya.
PKK bisa ditekan untuk menjadi pengganti dari tentara AS, menghindari keharusan bagi Pentagon untuk menerjunkan puluhan ribu serdadunya ke Syria. Langkah ini juga membuat Gedung Putih dan Pentagon bisa menghindar dari berbagai kerepotan dalam negeri yang harus dihadapi dari sisi hukum, anggaran dan humas.
“Situasi ini menggarisbawahi tantangan kritis yang dihadapi Pentagon,” ujar Paul Sonne. “Mendukung milisi lokal.. ketimbang menempatkan pasukan AS sebagai ujung tombak.”
Sebagai imbalan atas kemauan Kurdi untuk menjadi ujung tombak, Amerika serikat menyediakan persenjataan, amunisi, senjata mesin, dan truk pada milisi Kurdi. Senjata-senjata ini dikirim dalam metode “drop, op and assess”, yang bermakna pengiriman akan dilakukan melalui “dropped”, “operasi” berlangsung sukses, dan AS akan “asses” keberhasilan misi sebelum pengiriman selanjutnya dilakukan. Seorang pejabat AS mengatakan, “Kami akan memberi mereka senjata yang hanya mencukupi untuk melakukan setiap target misi.”
Serdadu darat PKK juga didukung oleh lebih dari 750 Marinir AS, Rangers dan Pasukan Khusus dari AS, Perancis dan Jerman – disertai dukungan helikopter, artileri dan serangan udara. Ini adalah hal yang bertentangan dengan hukum internasional.
Pembersihan Etnis
Penduduk Arab dalam jumlah besar memenuhi wilayah yang dianggap Kurdi sebagai milik mereka. PKK telah mengambil alih wilayah yang luar biasa luas di sepanjang Syria utara, termasuk kota-kota yang dipenuhi Arab. Raqqa, dan wilayah yang mengelilingi Lembah Eufrat yang diincar oleh PKK, kebanyakan memiliki populasi Arab, seperti dikonfirmasi oleh koresponden luar negeri The Independent, Patrick Cockburn – dan Arab, tidak setuju dengan pendudukan Kurdi.
Milisi Kurdi tidak hanya menduduki kota-kota Arab Muslim dan Kristen di Syria, namun juga melakukan hal yang sama di provinsi Niniveh di Iraq – wilayah yang sedari awal bukan milik Kurdi. Kurdi kini menganggap Qamishli, dan provinsi Hasakah di Syria sebagai bagian dari ‘Kurdistan’, meski Kurdi hanya minoritas di wilayah itu.
PKK kini mengontrol 20.000 mil persegi dari teritori Syria, atau kasarnya 17 persen dari luas negeri itu, sementara Kurdi sendiri hanya memiliki populasi kurang dari 8 persen.
Dalam upayanya untuk menciptakan wilayah Kurdi di dalam Syria, PKK juga dicurigai telah melakukan kejahatan pada penduduk sipil Arab di seluruh Syria utara, termasuk penangkapan sewenang-wenang dan pengusiran dengan menggunakan preteks perang melawan Daesh.
The Wall Street Journal melaporkan bahwa, PKK telah mengusir penduduk Arab dan etnis Turkmen dari wilayah besar di utara Syria. Media ini menambahkan bahwa milisi Kurdi melakukan upaya pencegahan penduduk asli yang ingin kembali ke daerah yang sudah dibebaskan.
Bukan Syria, bukan pula demokratis
Elemen PKK mendominasi Syrian Democratic Forces (SDF), sebuah nama menyesatkan yang disematkan oleh AS. Kelompok ini bukan asli Syria, karena banyak anggotanya bukan merupakan warga Syria, namun mengaku Kurdi, membanjiri Syria dari perbatasan Turki untuk mengambil keuntungan akan kekacauan yang ditimbulkan pemberontakan ‘Islamis’ di Syria.
Kelompok ini juga tidak demokratis, karena ia-nya berniat untuk memaksakan aturan Kurdi pada populasi Arab. Robert Fisk lebih memilih menyebut mereka sebagai ‘nama palsu’ bagi petempur Kurdi dalam jumlah besar.
PKK beraksi di Syria dengan nama SDF, dan mengikutsertakan sejumlah petempur dari Arab Syria, untuk menyembunyikan niatan mereka sesungguhnya pada daerah berpopulasi Arab yang kini dan akan mereka kuasai.
Zona Larangan Terbang de Facto (dan ilegal)
Pada Agustus 2016, jet tempur Syria menyerang posisi Kurdi di dekat kota Hasakah, tempat dimana AS melindungi petempur Kurdi dengan mengerahkan pesawat tempurnya. Jet AS tiba di lokasi tepat setelah dua Su-24 milik Syria selesai melakukan tugasnya.
Insiden ini menyebabkan koalisi pimpinan AS mulai berpatroli di wilayah udara sekitar Hasakah, dan akhirnya berujung pada insiden lain, dimana jet koalisi menghadang 2 jet Syria, di wilayah udara Syria sendiri.
Pentagon, seperti biasa, memperingatkan pemerintah Syria untuk menjauh dari Hasakah, dengan mengerahkan jet F-22 untuk berpatroli.
The New York Times mengamati bahwa penggunaan kekuatan udara AS di utara Syria dimana personil Amerika melatih petempur PKK, mengindikasikan bahwa AS secara efektif telah memberlakukan zona larangan terbang di area itu, meski penggunaan kata No Fly Zone (NFZ), ditolak Pentagon.
Meski demikian, kenyataannya adalah Pentagon secara ilegal telah memberlakukan NFZ ilegal di utara Syria demi melindungi gerakan gerilya Kurdi, sebagai ujung tombak AS, yang berupaya untuk memecah Syria melalui pembersihan populasi etnis Arab. Hal yang disambut dengan kegembiraan oleh Israel dan sejalan dengan rencana AS untuk melemahkan nasionalisme Arab di Damaskus.
Sebuah Perumpamaan Astigmatik
Ada yang mengemukan kesamaan akan aliansi YPG – AS dengan Lenin yang menerima bantuan Jerman saat kembali dari pembuangan di Swiss untuk kembali ke Rusia jelang Revolusi Maret 1917.
Perumpamaan ini sangat tidak tepat. Saat itu, Lenin sedang mengadu kekuatan imperialis, sementara Syria bukanlah analog dari Kerajaan Rusia seratus tahun yang lalu, yang sedang berjuang memperebutkan pasar, sumber daya dan pengaruh dengan kerajaan lain.
Malah, Syria selalu menjadi negeri yang dipecah, didominasi, dieksploitasi dan diancam oleh kerajaan-kerajaan. Ia pernah merdeka dari kolonialisme, dan kini sedang melanjutkan perjuangan – kini melawan upaya PKK – untuk mencegah re-kolonisasi.
PKK melakukan upaya tawar-menawar dengan AS untuk mencapai tujuannya mendirikan negeri Kurdi, namun dengan mengorbankan usaha Syria untuk menjaga kemandiriannya dari niat jahat AS selama berdekade. Pemecahan Syria menurut etnis dan sektarian, yang diimpikan oleh PKK, Washington dan Tel Aviv, merupakan tujuan AS dan Israel untuk melemahkan oposisi proyek zionisme dan dominasi AS akan Asia Barat.
Analogi yang lebih cocok adalah, kesamaan PKK di Syria dengan Zionisme buruh, kekuatan zionis yang dominan di pendudukan Palestina hingga akhir 1970-an. Seperti Ocalan, zionisme awal menekankan komunitas yang tidak terpusat. Kibbutzim merupakan komunitas utopis, yang berakar pada sosialisme.
Seperti inkarnasi PKK di Syria, Zionisme buruh juga bersandar pada sumbangan kekuatan imperialis, mengamankan dukungan dengan menjadi ujung tombak imperialis di dunia Arab.
Zionis menerapkan penaklukan bersenjata di wilayah Arab, bersamaan dengan pembersihan etnis dan penolakan repatriasi, untuk mendirikan negara berdasar etnis – mengantisipasi perluasan PKK oleh pasukan bersenjata milik Kurdi di wilayah mayoritas Arab di Syria, sebagaimana dilakukan juga oleh petempur Kurdi di Iraq.
Para anarkis dan kaum kiri mungkin terinspirasi oleh komunitas pertanian kolektif Yahudi di Palestina, namun hal itu sama sekali tak membuat proyek zionis sebagai progresif atau baik, karena elemen progresif dan kebaikannya dihilangkan oleh opresi regresif dan pencerabutan penduduk Arab asli, dan kolusinya dengan imperialis Barat dalam melawan dunia Arab.
Kesimpulan
Mewakili komunitas etnis yang berjumlah kurang dari 10 persen dari total populasi Syria, PKK, sebuah grup gerilya anarkis yang beroperasi di Turki dan Syria, menggunakan perlindungan Amerika Serikat; Angkatan Udara-nya, Korps Marinir-nya, Ranger Angkatan Darat-nya dan pasukan khususnya, sebagai penguat dalam memecah teritorial Syria.
Jumlah populasi Kurdi yang tidak signifikan, menjadi dasar absurd penguasaan teritorial Syria yang sangat luas, termasuk wilayah yang mayoritas dihuni oleh etnis Arab.
Untuk mencapai tujuannya, PKK tak hanya membuat kesepakatan dengan rezim despotik di Washington yang ingin kembali menjajah dunia Arab, namun juga bersandar pada metode pembersihan etnis dan penolakan kembalinya Arab ke rumahnya, sebuah taktik yang sama persis digunakan oleh zionis pada 1948 di Palestina.
Washington dan Israel (yang memiliki hubungan rahasia panjang) menganggap Syria yang terpecah sebagai salah satu jalan untuk melemahkan nasionalisme Arab, mengagalkan pilar oposisi terhadap zionisme, kolonialisme dan kediktatoran internasional ala Amerika Serikat.
Stephen Gowans
https://gowans.wordpress.com/2017/07/11/the-myth-of-the-kurdish-ypgs-moral-excellence/