Titik terendah dari hasil pemberitaan media Barat mengenai perang Irak dan Suriah adalah berita tentang perebutan Aleppo Timur, yang dimulai pada sekitar bulan Juli dan berakhir di bulan Desember 2016, ketika militer pemerintah Suriah mengambil alih markas terakhir milik pemberontak dan lebih dari 100,000 warga sipil berhasil dievakuasi.

Selama pengeboman, media elektronik seperti televisi dan banyak surat kabar dalam laporan yang mereka buat terlihat mulai melupakan kreadibilitas sebagai jurnalis dan sebaliknya mereka malah berlomba-lomba menerbitkan cerita mengerikan walaupun tanpa didukung dengan bukti-bukti yang kuat.

Contohnya, NBC News yang melaporkan bahwa ada lebih dari 40 warga sipil dibakar hidup-hidup oleh tentara pemerintah, dimana sumber beritanya hanya berasal dari media Arab yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Cerita lain yang ditulis oleh Daily Express hingga New York Times, yang kemudian ‘berhasil’ menjadi berita utama dimana-mana adalah mengenai 20 perempuan yang melakukan aksi bunuh diri massal sebagai usaha mereka untuk menghindari pemerkosaan oleh para tentara. Dan siapa sumber berita ‘hebat’ ini? Cukup hanya dengan mengutip satu kalimat dari salah satu pemberontak yang dikenal, Abdullah Othman. Tanpa mereka merasa perlu melakukan penyelidikan lebih lanjut.

Berita yang cukup kredibel malah datang dari Rupert Colville, juru bicara Komisi Tinggi Dewan HAM untuk PBB yang mengatakan bahwa pada tanggal 13 Desember instansinya menerima laporan tentang 82 warga sipil, termasuk 11 perempuan dan 13 anak-anak telah dibunuh oleh pasukan pro-pemerintah di beberapa lokasi di Aleppo Timur. Nama-nama korban telah diidentifikasikan.

Penelusuran selanjutnya oleh UNHCR pada bulan Januari menemukan bahwa jumlah korban jiwa bertambah menjadi 85 orang. Colville kemudian menyatakan bahwa pelakunya bukanlah tentara Suriah, melainkan dua kelompok milisi pro-pemerintah, yaitu al-Nujabah dari Irak dan Liwa al-Quds yang merupakan kelompok Palestina Suriah. Motif pembunuhan ini sendiri ialah pertikaian pribadi antar saudara.

Ketika ditanya apakah ada laporan mengenai eksekusi warga sipil di minggu terakhir pengeboman? Coville menjawab ada laporan-laporan yang mengatakan jika beberapa anggota oposisi bersenjata menembaki warga yang mencoba untuk kabur dari daerah pemberontak.

Pembunuhan 85 warga sipil yang telah dikonfirmasi oleh beberapa sumber itu dan pembunuhan beberapa warga dengan jumlah yang tidak diketahui dengan bom dan roket tentunya merupakan sebuah peristiwa mengerikan. Akan tetapi, tidak selayaknya membandingkan peristiwa tragedi di Aleppo Timur – seperti yang dilakukan oleh jurnalis dan politikus di kedua sisi Atlantik pada bulan Desember – dengan pembantaian massal 800,000 orang di Rwanda tahun 1994 atau lebih dari 7,000 di Srebrenica pada tahun 1995.

Semua peperangan kerap kali menghadirkan cerita berbau tragedi yang kadang palsu, sejalan dengan peristiwa yang benar-benar terjadi. Tetapi dalam kasus di Suriah, berita palsu dan laporan yang cenderung berat sebelah terasa lebih mendominasi hingga menguasai berita-berita utama sampai di titik yang terlihat tidak masuk akal, merupakan hal yang tidak pernah terlihat sejak perang dunia pertama.

Kemudahan dalam menyebarkan propaganda memang sering dikaitkan dengan semakin berkembangnya teknologi modern saat ini. Hadirnya smartphone serta media sosial (Youtube, Facebook, Twitter) ditambah dengan kemudahan akses internet, hingga aplikasi komunikasi di dalam ponsel cerdas yang kita miliki. Ini semua menjadikan media-media mainstream lepas tanggung jawab: memang tidak aneh kalau dalam perang sipil kedua belah pihak akan menggunakan cara apa pun untuk mengumumkan dan membesar-besarkan kesalahan atau kejahatan dari pihak lawan, sembari sibuk menutupi kejahatan dan kesalahan pihak sendiri. Alasan sebenarnya mengapa laporan tentang konflik di Suriah begitu tidak memadai yaitu hampir seluruh liputan organisasi berita media barat di alih dayakan (outsource) ke pihak pemberontak.

Sejak 2013, daerah yang dikuasai oleh pemberontak menjadi terlalu berbahaya untuk dikunjungi oleh para jurnalis. Kemungkinan diculik, dijadikan tawanan atau bahkan dibunuh dengan cara dipotong kepala menjadi kekhawatiran bagi para jurnalis. Para jurnalis yang berani mengambil risiko harus membayar dengan harga yang sangat mahal: James Foley diculik pada bulan November 2012 dan dieksekusi pada bulan Agustus 2014 oleh ISIS di Aleppo.

Steven Sotloff diculik di Aleppo bulan Agustus 2013 dan dipotong lehernya setelah Foley. Tetapi dengan tingginya permintaan publik untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di daerah tersebut, membuat banyak kantor-kantor berita tanpa terkecuali, merespon dengan mendelegasikan penyajian maupun pencarian berita kepada media lokal dan para aktivis politik. Jurnalis internasional tidak berani menginjakkan kaki di daerah yang dikuasai oleh kelompok bersenjata yang berbahaya. Bahkan sangat tidak dianjurkan bagi warga lokal yang tidak berafiliasi dengan mereka dapat melaporkan berita secara bebas.

Di Aleppo Timur, semua liputan harus dilakukan dengan seijin dari salah satu kelompok oposisi bersenjata Salafi-Jihadi yang menguasai daerah tertentu – termasuk Jabhat al Nusra, yang sebelumnya diketahui sebagai cabang dari al-Qaeda di Suriah. Apa yang terjadi pada orang yang mengkritik, melawan atau bahkan bersikap bebas kepada kelompok ekstrimis ini? Penjelasannya dapat kita baca di dalam laporan yang diterbikan oleh “Amnesty International” tahun lalu dengan judul ‘Siksaan adalah Hukumanku’: Penculikan, Penyiksaan dan Ringkasan Pembunuhan di bawah Kelompok Bersenjata di Aleppo dan Idlib.

Ibrahim yang pernah digantung pergelangan tangannya dari sebuah atap sambil dipukuli karena mengadakan pertemuan untuk merayakan pemberontakan 2011 tanpa izin dari mereka, mengatakan “Saya mendengar dan membaca mengenai teknik penyiksaan pasukan keamanan pemerintah. Saya pikir saya akan aman dari itu semua setelah saya hidup di daerah yang dikuasi oposisi. Ternyata saya salah. Saya mengalami siksaan yang sama namun kali ini dilakukan oleh Jabhat al Nusra.

Meskipun kenyataannya kelompok yang berhubungan dengan al-Qaeda memonopoli pemberitaan tentang Aleppo Timur, bukan berarti berita tentang penembakan dan pengeboman itu tidak benar. Foto-foto yang menampilkan bangunan yang rata dengan tanah dan rakyat sipil berselimut debu semen memang nyata, tidak dibuat-buat. Namun apa yang ditampilkan melewati seleksi ketat.

Perlu diingat, menurut data dari PBB, terdapat sekitar 8000 hingga 10.000 ‘pemberontak’ di Aleppo Timur, tetapi hampir tidak ada satu video pun di televisi yang pernah menayangkan salah satu petempur itu. Media-media barat biasanya menyebut kelompok yang mempertahankan Aleppo sebagai ‘oposisi’ tanpa menyebutkan hubungannya dengan al-Qaeda atau afiliasinya.

Ada asumsi yang tersirat kalau seluruh penduduk Aleppo Timur secara tegas menolak Assad dan mendukung pemberontak, tetapi anehnya ketika diberikan pilihan di bulan Desember hanya sepertiga yang memilih untuk evakuasi (yaitu sekitar 36,000 orang) yang bersedia pindah ke daerah kekuasaan pemberontak Idlib. Mayoritas sisanya (sekitar 80,000 orang) memilih untuk pindah ke daerah yang dikuasai pemerintah di Aleppo Barat.

Itu bukan karena mereka berharap diperlakukan dengan baik oleh otoritas pemerintah – tetapi karena mereka percaya bahwa hidup di bawah pemberontak akan lebih berbahaya. Dalam perang sipil Suriah, pilihannya kadang hanya buruk atau lebih buruk.

Laporan yang sangat menunjukkan keberpihakkan terlihat dari pengepungan Aleppo Timur yang dilukiskan seperti peperangan antara kebaikan dan kejahatan: “Lord of the Rings”, dengan Assad dan Putin sebagai Saruman dan Sauron. Dengan pengalihan kontrol agenda media kepada milisi lokal, kantor berita secara tak sadar memberikan insentif kepada mereka untuk mengeliminasi – melalui intimidasi, penculikan dan pembunuhan – setiap jurnalis independen, baik warga Suriah atau non Suriah, yang menulis segala hal yang bertentangan dengan apa yang mereka ceritakan.

Pemimpin dunia dan media internasional pernah meramal pembunuhan terburuk pasca perang dalam sejarah. Tapi, sangat memalukan, ketika pengepungan mulai berakhir mereka kehilangan minat untuk melaporkannya dan tidak mencari tahu apakah tragedi itu benar-benar terjadi. Yang lebih menyedihkan, dengan menceritakan pengepungan di Aleppo Timur sebagai tragedi kemanusiaan yang sangat besar pada tahun 2016, mereka mengalihkan perhatian mereka dari kejadian yang sangat besar kepada kejadian yang sedang terjadi 300 mil dari timur di Irak utara.

Serangan melawan Mosul, kota terbesar yang dikuasai ISIS, dimulai pada tanggal 17 Oktober ketika tentara militer Irak, dengan bantuan kekuatan angkatan udara Amerika Serikat, memasuki bagian timur kota. Ekspektasi akan kemenangan yang bisa diperoleh dalam waktu singkat berujung dengan kekecewaan ketika tentara Irak mulai menanggung korban besar ketika unit kecil ISIS namun sangat lincah yang terdiri dari setengah lusin pejuang berpindah-pindah dari rumah ke rumah melalui terowongan atau lubang di dinding untuk posisi penembak jitu, memasang ranjau dan menanam alat peledak (IED).

Penduduk lokal yang rumahnya diambil menceritakan kalau penembak-penembak jitu itu orang Chechnya atau Afghanistan yang memiliki keterbatasan dalam berbahasa Arab. Para pejuang ini didukung oleh anggota lokal ISIS yang juga menyembunyikan pengebom bunuh diri yang mengendarai kendaraan berisi alat peledak. Ada 632 bom mobil selama enam minggu pertama pada masa serangan.

Petempur ISIS biasanya bersembunyi di sebuah rumah sampai mereka ditemukan oleh tentara pemerintah Irak atau sebelum dihancurkan oleh senjata berat ataupun serangan udara Amerika Serikat. Sebelum serangan balik dilakukan mereka akan segera pindah ke rumah lain. ISIS biasanya senang dengan taktik yang berpindah-pindah, bersama pasukan atau terpisah dengan kontrol yang sangat terbatas dari atas. Cara ini memungkinkan pasukan yang kecil untuk mengacaukan pasukan yang lebih besar, dengan memukul mundur kemudian menginfiltrasi mengambil alih perumahan di mana akhirnya harus diambil alih lagi oleh lawan.

Pemerintah Irak dan Amerika Serikat memilik banyak alasan untuk menyangkal kalau mereka telah gagal mengambil alih Mosul dan malah terbawa ke dalam peperangan terbesar di Irak dan Suriah setelah invasi tahun 2003.

Baru pada minggu kedua Januari, pasukan khusus Irak dapat mencapai sungai Tigris setelah sebelumnya melalui pertempuran hebat. Dengan bantuan pesawat, helikopter, artileri dan intelijen Amerika Serikat mereka akhirnya berhasil mengambil alih Universitas Mosul, yang sebelumnya dijadikan markas ISIS untuk bagian timur kota, berikut 450,000 penduduknya. Tetapi mencapai sungai Tigris bukanlah akhir dari pertempuran, masih jauh bahkan. Pada 13 Januari, ISIS meledakkan lima jembatan sepanjang sungai.

Ada banyak kendala yang ditemukan di kota bagian barat, seperti: ini merupakan tempat tinggal bagi 750,000 penduduk dan banyak dari penduduk ini diajarkan untuk simpatik terhadap ISIS, area ini juga merupakan daerah yang lebih besar namun miskin dan kuno. Hanya lembaga bantuan sosial yang sudah terbiasa menangani korban jiwa yang besar dan melihat cara berperang sampai mati oleh ISIS, dapat mengapresiasi apa yang telah terjadi: Pada tanggal 11 Januari, Koordinator Kemanusiaan PBB di Irak, Lise Grande mengatakan bahwa kota itu ‘menyaksikan salah satu perang kota terbesar setelah perang dunia’.

Dia mengingatkan intensitas peperangan dengan 47 persen korban luka tembak yang diobati adalah warga sipil, jauh lebih banyak dari pengepungan yang pernah dialami PBB. Contoh yang paling serupa dengan apa yang terjadi di Mosul adalah pengepungan Sarajevo antara tahun 1992 dan 1995, di mana 10,000 orang terbunuh, atau pengepungan di Grozny tahun 1994-1995, di mana diperkirakan 5500 warga sipil meninggal.

Tetapi jumlah kematian di Mosul bisa lebih banyak dibanding Sarajevo ataupun Grozny, karena Mosul dikuasai oleh mereka yang tidak sudi bernegosiasi, mereka yang tidak sudi menyerah dan mereka yang siap membunuh siapa pun. Karena anggota ISIS percaya kalau mati dalam peperangan adalah pembuktian terbaik di Islam.

Jumlah warga sipil yang terluka di Mosul selama tiga bulan bisa melebihi jumlah korban di Aleppo dalam kurun waktu yang sama. Sebagian disebabkan karena jumlah warga yang terperangkap dalam peperangan sepuluh kali lebih banyak – populasinya menurut PBB adalah 1.2 juta orang dengan 116.000 warga sipil dapat dievakuasi dari Aleppo Timur. Dari jumlah itu, 2,126 yang sakit dan terluka dievakuasi ke rumah sakit, masih menurut PBB. Korban jiwa di Mosul susah untuk diperhitungkan, sebagian karena pemerintah Irak dan Amerika Serikat berusaha tidak mengeluarkan data yang valid.

Pejabat di Baghdad mencela Misi Bantuan PBB untuk Irak ketika mereka mengumumkan bahwa 1.959 tentara Irak, polisi, Peshmerga Kurdi dan paramiliter sekutu telah terbunuh selama bulan November saja. PBB dipaksa menyetujui agar tidak membocorkan informasi mengenai korban militer Irak di masa yang akan datang, tetapi pejabat Amerika Serikat mengkonfirmasikan bahwa 50 persen dari 10.000 “Golden Division” – tentara elit Irak – yang dilatih oleh Amerika Serikat dan menerima gaji yang tinggi, telah menjadi korban jiwa.

Pemerintah Irak juga menutup mulut berkenaan dengan jumlah korban jiwa dari warga sipil, sebaliknya mereka menekankan bawha mereka sangat menghindari pemakaian artileri dan kekuatan udara. Tetapi para dokter di daerah Kurdistan Irak yang merawat warga terluka mengeluh kalau mereka sangat kewalahan. Pada tanggal 30 Desember, menteri kesehatan Kurdi, Rekawt Hama Rasheed, menjelaskan rumah sakit telah menerima 13.500 tentara Irak dan warga sipil yang terluka dan ini membuat mereka kehabisan obat-obatan.

Jumlah korban jiwa tidak berkurang sejak Kantor PBB untuk Urusaan Kemanusiaan di Irak mengatakan selama dua minggu di peralihan tahun, sekitar 1.500 warga Irak dari Mosul menderita luka trauma harus dirawat di rumah sakit Kurdi, kebanyakan mereka berasal dari baris depan dan ‘korban terbanyak terjadi tidak lama sejak pertempuran semakin hebat di akhir bulan Desember’.

Jumlah ini hanya merupakan perkiraan kasar dari jumlah korban sebenarnya! Mereka tidak memasukkan korban jiwa, atau yang terluka di Mosul bagian barat yang tidak mau pergi – atau memang tidak bisa pergi, karena mereka sengaja digunakan sebagai tameng hidup oleh ISIS. PBB menjelaskan banyak orang yang ditembak oleh ISIS ketika mereka berusaha kabur.

Banyak korban berjatuhan ketika Mosul dikepung. Jalan terakhir yang bisa dilewati ke Suriah, dimana makanan, obat-obatan dan bahan bakar gas untuk keperluan dapur didatangkan semenjak ISIS merebut kota dua setengah tahun yang lalu, ditutup pada bulan November oleh Hashd al-Shaabi.

Lintasan-lintasan tetap terbuka namun sangat berbahaya dan kadang-kadang tidak bisa dilalui ketika musim dingin. Akibatnya, harga barang di pasar Mosul meroket tajam: harga sebuah telur melonjak lima kali lipat, menjadi 1.000 dinar Irak per butir. Di pasar sayur-mayur dan buah-buahan hanya menjual kentang dan bawang Bombay itu pun dengan harga sangat tinggi. Setelah tabung gas habis, kayu yang diambil dari areal bangunan yang ditinggalkan, dijual dengan harga premium.

Pengepungan diperkirakan akan memakan waktu lama. Jika ISIS ingin bertahan, maka Mosul adalah tempat terbaik, karena militer Irak dan Amerika Serikat menghindari menggunakan senjata berat di wilayah mana pun di Irak. Contoh buruknya: pada tahun 2015-2016 serangan udara dan artileri menghancurkan 70 persen kota Ramadi, ibukota provinsi Anbar, yang memiliki populasi sebesar 350.000 orang.

ISIS memiliki banyak alasan untuk berperang sampai akhir di Mosul karena Mosul merupakan kota terbesar kedua di Irak, yang menjadi wilayah kekuasaan yang sangat penting bagi ISIS. Di sinilah, pada Juni 2014, beberapa ribu pejuangnya mengalahkan 20.000 tentara garnisun pemerintah Irak; dan di balik kemenangan ajaib inilah pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi, mencetuskan kekhalifahannya.

Mereka yang terjebak di Mosul kehilangan optimisme dan kehilangan harapan.
“Yang ditakutkan akan terjadi,” demikian ucap seorang perempuan berusia 60 tahunan bernama Fatima, yang menceritakan bagaimana kondisi kotanya kepada kantor berita digital Niqash. Mulai sekarang setiap tetes bahan bakar sangat berharga karena hanya Tuhan yang tahu kapan ini akan berakhir.

Meskipun pertempuran dahsyat yang sedang terjadi di Mosul dan peringatan PBB mengenai jumlah korban disinyalir akan melebihi apa yang terjadi di Sarajevo dan Grozny, perhatian masyarakat internasional secara eksklusif lebih terarah ke Aleppo Timur. Ini bukan pertama kalinya media-media Barat ‘menyaksikan’ pertarungan yang salah.

Ketika saya berada di Baghdad pada bulan November 2004 ketika hampir seluruh jurnalis barat meliput akhir dari pengepungan Fallujah. Marinir akhirnya merebut kota itu, tetapi para jenderal Amerika Serikat menganggap remeh – dan media luput memperhatikan – ketika tentara Amerika Serikat berperang di Fallujah, di pusat Irak, bahwa sebenarnya pemberontak telah menguasai sebagian besar kota Mosul bagian utara.

Kemenangan itu ternyata sangat penting, karena tentara Amerika Serikat dan pemerintah Irak tidak pernah menguasai penuh di kota itu. Pendahulu ISIS dapat bertahan dari tekanan militer yang hebat agar dapat menghidupkan diri mereka kembali, dengan menunggu terjadinya pemberontakan di Suriah tahun 2011 yang merupakan kesempatan emas.

Banyak juga persamaan antara pengepungan di Mosul dengan di Aleppo Timur, namun dilaporkan dengan cara yang sangat berbeda. Ketika warga sipil terbunuh atau rumah mereka dihancurkan oleh bombardir Amerika Serikat di Mosul, ISIS-lah yang selalu dianggap bertanggung jawab atas kematian mereka, bahwa ISIS telah menjadikan mereka tameng hidup. Ketika Russia dan Suriah menargetkan bangunan di Aleppo Timur, Russia dan Suriah yang selalu disalahkan, malahan sebaliknya, pemberontak tidak disangkut pautkan dengan hal ini.

Gambar-gambar orang mati, terluka dan anak-anak yang ketakutan sukses membuat orang mengelus dada telah disiarkan di seluruh dunia. Tetapi pada 12 Januari ketika sebuah video yang di tayangkan secara online memperlihatkan orang-orang sedang mencari mayat di reruntuhan bangunan yang hancur akibat serangan udara oleh Amerika dan koalisi, tidak ada stasiun televisi barat yang menyiarkan gambar-gambar tersebut.

“Kita menemukan 14 mayat,” seorang lelaki yang berwajah cekung sambil menghadap ke kamera berkata, “dan masih ada sembilan lagi dibawah reruntuhan.”

Patrick Cockburn
https://www.lrb.co.uk/v39/n03/patrick-cockburn/who-supplies-the-news