Akhir-akhir ini, tak terlalu banyak berita dari Aleppo, Syria. SAA beserta koalisinya secara perlahan dan hati-hati berhasil merebut setapak demi setapak tanah Syria yang diduduki teroris. Soal Aleppo, pembebasannya tinggal menunggu waktu.

Meski demikian, pemerintah Syria masih tetap menawarkan jalan keluar bagi teroris yang terjebak, dengan mempersilakan mereka untuk menyerah, bahkan menjanjikan akan memberi transportasi ke Idlib dengan kebebasan untuk memanggul senjata masing-masing.

Di sisi lain, AS mulai kehilangan akal untuk menyelamatkan teroris mereka. Narasi ‘kejahatan perang’ Rusia dan Syria terus digaungkan oleh pejabat-pejabatnya, dan seperti bisa dilihat, publik mulai bisa membaca dan muak dengan propaganda Washington.

Tren menurun AS dan sekutunya ini sebenarnya merupakan efek dari pergeseran kekuatan yang lebih besar, terutama di Timur Tengah dan Asia Pasifik.

Beberapa front konflik yang dikobarkan AS mulai menemui jalan buntu, dan strategi diplomatik yang arogan dan terlalu percaya diri menuai kegagalan yang memalukan.

Di Yaman, Washington terpaksa turun tangan membantu Bani Saud dengan mengebom tiga titik radar untuk mengalihkan perhatian dari kejahatan perang Riyadh yang mengebom acara pemakaman di Sanaa, beberapa waktu lalu.

Dengan dalih membela kapal perangnya, AS sengaja menutupi fakta bahwa kapal tersebut berada di perairan Yaman, dan Yaman dilindungi haknya oleh PBB untuk menghancurkannya.

Namun seperti perang di Yaman itu sendiri, fakta-fakta ini tentu tak akan diberitakan oleh media, atau bahkan masuk pembahasan mereka-mereka yang memposisikan diri sebagai aktivis Islam. Soal Yaman, umat Islam telah di-ninabobo-kan. Dan sayangnya, taktik ini berhasil dengan sempurna.

Agresi Washington secara langsung di Yaman ini menjadi indikasi awal ketidakbecusan Bani Saud untuk melangsungkan hegemoninya di kawasan. Dan menilik pentingnya Yaman bagi persekutuan zionis, kemungkinan AS melakukan agresi sepihak di Yaman – atas nama Saud – menjadi terbuka lebar.

Di level geopolitik, AS juga dipermalukan secara telak dengan penandatanganan kesepakatan jalur pipa gas antara Turki dan Rusia beberapa waktu lalu. Meski perjanjian itu sendiri bukan hal baru, namun kemauan Erdogan untuk merealisasikan hal tersebut menjadi pukulan telak bagi NATO dan sekutunya, yang semula berharap jalur pipa minyaknya dari Qatar akan menjadi senjata bagi ketergantungan negara-negara di kawasan itu.

Apakah ini berarti Erdogan telah beralih pihak dan insyaf?

Tidak juga. Konsesi tertentu yang diminta Erdogan tampaknya sudah dipenuhi oleh AS, yang bisa dilihat dari minimnya protes Washington atas pendudukan Turki di Syria dan Iraq. Satu hal penting juga yang lolos dari pemberitaan, adalah pemindahan seluruh hulu ledak nuklir NATO dari Incirlik ke Romania, yang ditujukan untuk menekan teritorial Rusia.

Masih ingat soal bagaimana marahnya Erdogan pada Fethullah Gulen dulu?

Ada dengar kata-kata serupa akhir-akhir ini? Sudahkah Gulen diserahkan pada Erdogan?

Dalam politik, tak ada yang ‘personal’. Meski kelihatannya begitu, perhitungan matematis tetap menjadi dasar pijakan kebijakan. Melihat merosotnya pengaruh AS dan konco-konconya, banyak negara mulai berani untuk mengambil keputusan yang jika dilakukan beberapa tahun lalu, akan sangat beresiko.

Di Mesir, Kairo resmi mengumumkan akan memutus kontrak impor minyaknya dari Aramco, milik Bani Saud. Tanpa ba-bi-bu, Mesir mengatakan sedang mempertimbangkan proposal dari Iran, Venezuela dan bahkan Rusia untuk memenuhi 40% kebutuhan minyak negara itu.

Untuk mengelak dari tuduhan politis, Mesir menggunakan alasan murni ‘ekonomis’ sebagai pemutusan kontrak Aramco. Meski Saud dan AS belum buka suara, keputusan ini memiliki dampak yang cukup mendalam pada proyek Oded Yinon, terutama saat Bani Saud dalam keadaan sulit secara finansial.

Lalu, apakah itu berarti banyak negara mulai memutuskan untuk beralih blok dan menanggalkan kesetiaan pada AS?

Tidak serta-merta begitu. Pergeseran geopolitik ini merupakan bukti bahwa politik unipolar yang selama ini dibawa AS dengan bungkus demokrasi mulai mengalami kemunduran hebat. Hadirnya Rusia dengan militer yang modern dan canggih cukup untuk membuka kesempatan bagi negara-negara itu mencari alternatif, bahkan dalam urusan-urusan pelik seperti minyak.

Meski Washington kalang-kabut berusaha untuk menyelamatkan hegemoninya, arah pemecahan konsentrasi kekuatan ini tak terelakkan untuk terjadi. Bangkitnya China dengan Jalur Sutera baru di Eurasia semakin memojokkan AS, karena sekutu-sekutunya sendiri juga mulai ‘mendua’.

Akan ada batas dimana retorika penyebaran rasa takut untuk mengontrol populasi manusia akan kalah dengan logika, dan meski idealnya hal ini akan membuat dunia lebih damai dan sejahtera, sayangnya, dengan kekuatan militer dan nuklir yang dimiliki Washington, kehancuran besar malah tergambar di depan mata.

Syria, adalah titik awal kehancuran imperialisme AS. Sayangnya, keruntuhan rezim zionis itu tak akan terjadi dengan mulus dan tanpa pertumpahan darah.

Sunyi, senyap. It’s a deep breath before the plunge.