Sudah sebulan lebih berlalu dari percobaan kudeta di Turki yang dimotori oleh AS, dan hingga saat ini belum ada upaya ‘permintaan maaf’ dari Washington untuk memperbaiki hubungan dengan salah satu sekutu terkuatnya di dalam NATO.
Faktanya, pemimpin luar negeri pertama yang ditemui Erdogan pasca-Kudeta yang gagal tersebut, tak lain adalah ‘musuh’ terbesar AS dan NATO. Apalagi saat Erdogan menyambut Putin dengan, ‘Vladimir teman yang baik’ – yang menyiratkan banyak hal yang terjadi di balik layar antara mereka berdua.
Kedekatan dengan Rusia ini membuat banyak pihak mulai berspekulasi bahwa Turki berniat untuk keluar dari NATO. Namun sama sekali tidak. Turki tak akan meninggalkan NATO; setidaknya dalam waktu dekat.
Meski Erdogan dikenal berani membuat langkah drastis, terutama dalam kondisi psikologisnya saat ini, namun politisi Rusia yang pragmatis akan menjadi pihak pertama yang menganjurkannya untuk membatalkan niat tersebut. Rusia paham betul apa konsekuensi yang menanti jika Turki keluar dari NATO.
Turki tak hanya penting bagi AS karena memiliki tentara terbesar ke-2 di NATO. Secara geografis, Turki berada di persimpangan antara Eropa dan Asia, memiliki jalur pantai terpanjang di Laut Hitam, yang meliputi Mediterania timur. Turki juga berbagi perbatasan langsung dengan Syria, Iran dan Iraq, dan mengendalikan salah satu jalur air paling penting di dunia. Selat Bosporus dan Darnadelles adalah gerbang satu-satunya dari dan menuju ke Laut Hitam, yang menjadi rute realistis bagi Rusia ke Mediterania.
Bagi Washington, kehilangan Turki tidak akan bisa diterima, namun dengan fakta bahwa AS tidak melakukan langkah apapun untuk merebut ‘hati’ Erdogan kembali, menandakan bahwa rencana mereka untuk melengserkan sang Sultan belumlah ‘selesai’.
Di Turki, 14 Agustus lalu, media lokal gencar memberitakan bahwa sesuatu yang ‘besar’ akan terjadi. Mereka mengaitkannya dengan tiga jenderal yang masih buron, ribuan tentara yang hilang, termasukan pasukan khusus Turki dan banyak senjata yang raib dari gudang penyimpanan militer.
Memang tak terjadi apa-apa hari itu, namun Turki masih terancam gerakan kudeta lanjutan, atau bahkan sesuatu yang lebih beresiko, seperti perang sipil. Meski kini terdengar adem-ayem, masa depan Erdogan di Turki tak kelihatan cerah.
Bagi Rusia, mempertahankan Erdogan bisa menjadi prioritas saat ini. Selama ia berkuasa di Turki dengan mood seperti sekarang ini, ia menjadi duri dalam daging AS dan NATO. Dan bagi rakyat dunia, itu adalah hal yang bagus.
George Ades