Dunia sekarang ini benar-benar telah dikuasai oleh opini. Saking merajalelanya opini, bahkan fakta pun didominasi oleh fakta opini. Artinya, siapa pun yang tega melemparkan opini-opini, walau tak berdasar sekalipun, akan dianggap sebagai pembawa fakta, bahkan kebenaran. Hal ini terjadi tidak hanya di dunia politik, tapi—bahkan—di dalam lembaga keagamaan, dalam hal ini Islam.
Para pelempar opini ini mengerti bahwa kebanyakan pemeluk agama Islam—terutama di Indonesia—adalah orang awam: tidak mengerti ilmu nahwu, tidak juga mengerti ilmu hadis, tidak mengerti ilmu tafsir, apalagi menguasainya. Lalu dilemparlah terma “hadis ini dhaif” karena di dalamnya ada al-Walid bin Jami’, misalnya. “Masalah Nisfu Sya’ban itu hadisnya banyak yang dhaif, bahkan palsu,” dan seterusnya, dan seterusnya.
Para da’i opinioner ini sangat mengerti bahwa apa yang diopinikannya akan di-taken for granted, tidak dikritisi, tidak juga akan dibantah. Kenapa? Anda tahu bahwa sebuah pertanyaan yang benar itu adalah pangkal dari segala jawaban yang benar juga. Jika Anda salah bertanya, Anda akan mendapatkan jawaban yang salah. Tapi, seseorang tidak mungkin dapat mengajukan pertanyaan yang benar atas opini tematik seperti term-term dalam ilmu hadis ini kecuali mengerti ilmunya.
Jadi, yang diperlukan oleh seorang da’i opinioner hanya tinggal melempar opini: “Ini haram karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah,” katanya. Opini ini tinggal dilanjutkan dengan satu pertanyaan saja, maka opini ini akan menjadi kebenaran yang absolut bagi khalayak awam. Apa pertanyaannya? Da’i opinioner ini hanya perlu bertanya, “Coba bawakan bukti kepada saya bahwa Rasulullah pernah melakukan amalan nisfu Sya’ban!”
Tentu saja audien yang awam tidak akan dapat memberikan apa yang diminta oleh da’i tersebut. Jika pun ada yang mampu menjawabnya, tentu tidak akan dilakukan di forum membuka komunikasi satu arah tersebut.
Padahal, para pemeluk Islam di Indonesia ini tidak perlu susah-susah menjalankan agamanya. Di dalam Islam kita kenal ada beberapa imam madzhab: Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam Ibnu Hanbal, plus Imam Ja’far (yang dikenal dengan madzhab Ja’fari).
Apa yang diajarkan oleh para guru yang merujuk kepada para imam ini, ikutilah. Karena para imam ini adalah orang-orang mumpuni tidak hanya di dalam fiqih, tetapi juga dalam ilmu hadis, ilmu ushul, ilmu Tafsir, dan seterusnya. Mereka disebut Imam Madzhab karena ilmu mereka melebihi kualifikasi yang hanya dimiliki oleh seorang Imam ahli hadis saja, atau imam ahli tafsir saja, atau imam ahli sejarah saja.
Artinya, jika ada pendapat Imam Syafi’i tentang Nisfu Sya’ban, yang diperkuat oleh Ibnu Nujaim, diperkuat lagi oleh Ibnu Hajar, didukung oleh al-Qurthubi, dipakai oleh para mufti di Mesir, misalnya, sangatlah sombong orang awam yang mengatakan bahwa pendapat itu berdasarkan hadis dhaif. Bahkan yang mengatakan itu adalah seorang muqallid yang tidak mengerti apa-apa tentang hadis.
Mengertikah Anda kenapa hadis Nisfu Sya’ban ini didhaifkan? Karena ini adalah riwayat Ali bin Abi Thalib. Memang tidak semua riwayat Ali bin Abi Thalib didhaifkan. Tetapi, kebanyakan riwayat-riwayatnya—sebagaimana dia dan keluarganya diwajibkan untuk dilaknat di mimbar-mimbar selama puluhan tahun oleh Dinasti Umayyah—didhaifkan, termasuk riwayat ini.
Baiklah kita akan membahas 3 orang hebat: Hisyam bin Muhammad al-Kalby (w. 204 H.), Ubaidillah bin Abi Rafi’ (w. 37 H.), dan al-Waqidi (w. 207 H.), yang nantinya akan bermuara kepada Ali bin Abi Thalib.
Anda akan berkata, “Oh, ternyata semua pelemahan ini hanyalah masalah suka dan tidak suka kepada Ali bin Abi Thalib.”
Hisyam al-Kalby itu orang hebat, karyanya mencapai 150 judul buku. Salah satu karya monumentalnya adalah mengenai perang Shiffin (Kitab Shiffin). Dari Addaruqutni, al-Uqaili, Ibnul Jarud, Ibnu Sakan, sampai Ibnu Hambal, mengatakan bahwa hadis darinya tidak layak diterima. Alasannya ada-ada saja: bahwa al-Kalby terlalu banyak pengetahuan sehingga terlalu banyak lupa. Padahal karya-karya al-Kalby banyak dirujuk oleh Ibnu abdul Barr, Ibnul Atsir, al-Dzahabi, dan Ibnu Hajar al-Asqalani.
Kesini-sininya ketahuan bahwa al-Kalbi didhaifkan, dituduh tukang kibul, karena satu alasan: Syiah. Lalu, jika memang Syiah adalah alasan untuk melemahkan seorang muhaddits, bagaimana dengan Ismail bin Musa al-Fazari?
Ismail ini, menurut Ibnu Hajar, adalah seorang Syiah Rafidhi. Al-Dzahabi menyebutnya sebagai Syiah Kufah. Padahal orang ini ada pada deretan perawi hadis di dalam Shahih Bukhari, Sunan Turmudzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Dawud, dan seluruh orang mengatakannya Tsiqah, la ba’sa bihi, shaduq, dan seterusnya. Juga Bakir bin Abdillah al-Thai, Ibnu Hajar mengatakannya sebagai Syiah Rafidhah; tetapi pada saat yang sama Ibnu Hajar mengatakannya sebagai orang yang maqbul. Ibnu Abdillah al-Thai masuk dalam jajaran perawi Shahih Muslim.
Berbeda dengan al-Kalby, kepada Ubaidillah bin Abi Rafi’ tidak ada yang berani menyalahkannya langsung, karena beliau adalah anak Abi Rafi’, yaitu sahabat yang merupakan sekretarisnya Ali bin Abi Thalib. Dialah yang menulis kitab Tasmiyatu Man Syahida Ma’a Amiiril Mukminin al-Jamal wa al-Shiffiin wa al-Nahrawan Mina al-Shahabat Radhiyallahu Anhum.
Ibnu Hajar, orang yang banyak mengutip karya Ubaidillah bin Abi Rafi’, mengatakan bahwa tidak ada masalah dengan Ubaidillah bin Abi Rafi’, tapi yang menjadi masalah adalah jika ada periwayatan yang di situ ada Dhirar bin Shurad. Dari Yahya bin Main, Daruquthni, Nasai, sampai al-Bukhari menganggapnya sebagai pendusta. Tetapi Ibnu Abi Hatim menganggapnya sebagai ahlul Quran dan muta’abbid. Begitu juga Yahya bin Ahdam dan al-Kisai, mereka menganggap bahwa Dhirar bin Shurad itu orang hebat.
Ke sini-sininya ketahuan ada yang disembunyikan dari pencacatan nama Dhurar bin Shurad ini, yaitu contoh berikut ini. Hadis yang diriwayatkan oleh Dhurar, yang diceritakan kembali oleh Ibnu Abi Hatim, dari Mu’tamir, dari ayahnya, dari al-Hasan, dari Anas dari Nabi tentang keutamaan shabat tertentu yang ditolak oleh para ahli hadits.
Untungnya ada Ibnu Hibban secara terang-terangan menuliskan isi hadis ini: dari Mu’tamir, dari ayahnya, dari al-Hasan, dari Anas, dari Nabi berkata kepada Ali bin Abi Thalib: Anta Tubayyin Liummati makhtalafuu fihi min ba’di (Engkau (Ali) akan menjadi orang yang menjelaskan perselisihan ummatkus setelah kepergianku).
Demikian juga dengan al-Waqidi, hadis apapun yang disampaikan oleh al-Waqidi akan ditolak mentah-mentah oleh para ahli hadis, alasannya sepele: karena al-Waqidi adalah ahli sejarah. Padahal, al-Waqidi itu adalah atasannya Ibnu Sa’ad (seorang ahli hadis sekaligus seorang ahli sejarah).
Dan Ibnu Saad sendiri banyak mengambil dari karya al-Waqidi dalam Thabaqat-nya. Sama dengan al-Kalbi dan Ubaidillah bin Abi Rafi’, konon al-Waqidi banyak meriwayatkan tentang Ali bin Abi Thalib, atau riwayat yang me-notorious-kan Yazid bin Muawiyah.
Jadi, suka dan tidak suka dalam keilmuan itu sudah ada sejak zaman baheula, bahkan dalam periwayatan hadis. Kemudian atas dasar suka dan tidak suka, bahkan para ulama dapat melakukan apa saja untuk membuat nama orang yang tidak disukainya itu menjadi tidak terpakai.
Padahal pada saat yang sama mereka yang berjanji tidak memakai hadis dari orang yang di-jarh itu, banyak menukil (men-copas) karya dari tokoh yang mempercayai tokoh yang tak dipercayai itu.
Lalu apa masalahnya? Masalahnya adalah bagaimana mungkin seseorang—apalagi orang awam—bisa merasa paling benar dengan hadis tertentu, lalu dengan kepalingbenarannya itu dia membid’ahkan dan mengkafirkan orang lain? Padahal sumbernya pun begitu dinamis.
Maka, seseorang yang merasa sebagai ilmuwan sekalipun, apalagi hanya sekedar pemeluk agama, hendaknya berpikiran terbuka: bisa jadi saya salah, bisa jadi orang lain yang benar, dan seterusnya. Karena bisa jadi faham-faham yang kita percayai salah itu memiliki kebenaran tertentu yang kita belum bisa fahami.