Pasca kejatuhan rezim Soeharto. kelompok-kelompok yang dulunya ditindas atas nama ketertiban umum mulai melakukan konsolidasi politik. Kelompok Islam fundamentalis seperti DI/TII kemudian berubah menjadi NII, juga kelompok kiri yang berfaham komunis. Tahun 1999 kancah politik nasional lebih diwarnai oleh aksi-aksi yang dilakukan kedua kelompok tersebut, dan perang pelabelan pun terjadi.  Berseliweralah pelabelan: “Thaghut”, “Nekolim”, “Bahaya Laten Komunis”, “Antek-antek Kapitalis”, “Anti Pancasila” , “Muslim Fundamentalis” dll terhadap lawan politiknya, yang tidak lain tujuannya adalah agar rakyat menerima dan kebencian tumbuh subur di hati masing-masing terhadap orang/kelompok yang dilabeli tsb.

Dari sekian banyak kelompok yang muncul, kelompok-kelompok Islamlah  yang paling banyak melahirkan organisasi-organisasi fundamentalis, dengan pola perjuangan menciptakan kecacauan, rasa tidak aman, ketakutan, menyerang dengan bom bunuh diri dan lain sebagainya. Semua tindakan tersebut mereka labeli sebagai amalan jihad, guna mencapai satu tujuan berdirinya Daulah Islamiyah untuk mengganti Republik Indonesia yang demokrasi. Dengan masuknya organisasi Islam fundamentalis transnasional ke negeri ini, mimpi-mimpi kaum fundamentalis untuk mendirikan Negara Islam semakin tumbuh subur. Berkelindannya berbagai kepentingan elit agama yang pada masa orde baru terpinggirkan telah memunculkan pemikiran untuk mendirikan Daulah Islamiyah dengan melabeli pemerintahan RI sebagai thaghut, dan sistem pemerintahan kufur.

Dari situ kita bisa lihat bahwa kelompok ekstremis Islam ini, sebelum melancarkan teror fisik, mereka juga melakukan teror mental dan pemikiran berupa pelabelan dengan kata-kata : “Sesat”, “Bid’ah”, “Kafir”, Perusak Islam” dlsb terhadap orang yang tidak mendukung mereka. Bentuk Teror verbal ini juga tak kalah menakutkannya dengan teror senjata, bahkan lebih mengerikan lagi berupa tercabik-cabiknya keutuhan NKRI ini.

Maka demi terlindunginya segenap warga Negara, tegak kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah diberikan kewenangan oleh rakyat untuk membuat payung hokum agar  menetapkan organisasi seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Jama’ah Islamiyah, Majelis Mujahiddin Indonesia, Anshoru Tauhid, ISIS, SI dan seluruh organisasi pendukungnya, sebagai organisasi terlarang di Indonesia serta melarang penyebarluasan faham intoleransi seperti Wahabi, karena ajaran Wahabi merupakan akar dari kekerasan dan terorisme.

Dari PERPU tentang ISIS yang diajukan oleh pemerintah melalui Menkopolhukam yang ditolak dan dianggap terlalu berlebihan oleh Fachri Hamzah seorang politisi PKS, semestinya pemerintah dapat menangkap sinyalemen betapa faham radikal yang melahirkan teroris sudah memasuki ruang parlemen. Selain orang dalam di parlemen, mereka juga punya eksekutor seperti, Imam Samudra, Amrozi, Mukhlas dan Afif pelaku terror Sarinah. Mereka juga punya ahli propaganda seperti, Abu Bakar Ba’asyir, Abu Jibril, dan Abu-abu yang lain. Dan (walau kita berkata #KamiTakTakut) betapa ngerinya, mereka juga punya sayap militer yang dipimpin oleh Santoso.

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa “Terorisme adalah istilah untuk menghindari pemikiran dan diskusi rasional, dan sebagai pembenar atas tindakan ilegal dan tak bermoral yang mereka lakukan sendiri.” Semoga bermanfaat.

 

Oleh: Kardinal Syah