Membaca laporan media mengenai pertempuan di Ghouta timur beberapa hari terakhir ini memicu sensasi déjà vu yang menyeramkan.

Perasaan yang muncul mirip seperti naik mesin waktu kembali ke musim gugur 2016 dan mendengarkan semua argumen tentang pertempuran di Aleppo sekali lagi.

Sama seperti pada tahun 2016, media ramai melaporkan pertempuran antara militer Suriah dan kekuatan besar ‘jihadis’ – keduanya memiliki kekuatan sekitar 10-15 ribu orang – terjebak di sebuah distrik salah satu dari dua kota utama Suriah.

Tahun 2016 di Aleppo bagian timur; sekarang di Ghouta timur, yang merupakan pinggiran dari ibukota Suriah, Damaskus.

Sama seperti pada tahun 2016, kehadiran teroris ‘jihadis’ kejam diabaikan, dimana pasukan yang ‘melindungi’ Ghouta timur lebih sering disebut sebagai ‘pemberontak biasa’ oleh media Barat ketimbang yang sebenarnya: Jihadis militan yang berafiliasi dengan Al-Qaeda dan ISIS.

Sama seperti pada tahun 2016, media elektronik dan cetak dipenuhi dengan tulisan yang mengutuk keras pemboman yang dilakukan oleh Suriah dan Rusia

Sekarang juga timbul lagi pembicaraan tentang bom barel (bom rakitan sendiri tanpa sistem pemandu – penerjemah) dan dugaan pemboman rumah sakit yang dilakukan dengan sengaja, meski pun logika militer dari sengaja membom rumah sakit tidak pernah dijelaskan dan benar-benar tidak saya mengerti.

Sama seperti pada kasus pemboman Aleppo timur pada tahun 2016, penekanan banyak diberikan pada pembunuhan anak-anak, dengan gambar-gambar tentang anak-anak yang mati atau terluka yang diterbitkan semua media, sampai pada tahap tampaknya sebagian orang yang dibunuh di Ghouta timur adalah anak-anak.

Pada tahun 2016 tidak ada reporter Barat di Aleppo timur yang melihat dan melaporkan tentang pemboman di sana.

Hari ini di Ghouta timur juga tidak ada reporter yang hadir untuk melihat dan melaporkan tentang pemboman di sana.

Sama seperti pada kasus Aleppo timur pada tahun 2016 begitu juga di Ghouta timur hari ini, kehadiran reporter Barat tidak dimungkinkan karena ‘jihadis’ kejam yang memegang kendali di Aleppo timur sejak musim gugur 2016, dan ‘jihadis’ kejam yang memegang kendali di Ghouta timur hari ini, tanpa ragu akan membunuh dan menculik siapa pun reporter Barat yang cukup bodoh untuk pergi ke sana.

Hasilnya sama seperti pada kasus Aleppo tahun 2016, laporan pemboman di Ghouta timur seluruhnya berasal dari ‘sumber-sumber lokal’ yang akurasi dan obyektivitasnya (karena mereka melaporkan dari area yang dikendalikan oleh Al-Qaeda) pastinya meragukan.

Lebih jauh lagi organisasi yang sama – White Helmets – sangat terlibat di kedua kota dan kedua peristiwa.

Sama seperti pada tahun 2016, masalah yang nyata mengenai akurasi dan obyektivitas pelaporan tampaknya tidak membuat media Barat khawatir sama sekali.

Pada 2016, dalam melaporkan pemboman Aleppo, begitu juga dalam melaporkan pemboman di Ghouta timur hari ini, media Barat hanya melaporkan ulang dari laporan yang mereka terima dari ‘sumber-sumber lokal’ dan White Helmets tanpa memberikan peringatan publik tentang obyektivitas dan akurasinya, menerbitkan laporan-laporan tersebut seakan-akan sudah terbukti dan benar.

Hal ini terjadi meski pun fakta yang ada – yang ditunjukkan oleh Robert Fisk – sifat propaganda paling tidak beberapa dari laporan ini jelas terlihat dari fakta yang ada, yaitu laporan-laporan tersebut tidak pernah menyebutkan atau memperlihatkan satu pun ‘jihadis’ di Ghouta timur – sama seperti pada laporan tahun 2016 tidak pernah menyebutkan atau memperlihatkan satu pun ‘jihadis’ di Aleppo timur – kendati banyaknya jumlah ‘jihadis’ di sana.

Sama seperti pada tahun 2016, Sekretariat Perserikatan Bangsa-bangsa dan berbagai organisasi kemanusiaan mati-matian melobi untuk terlaksananya gencatan senjata dan aksi kemanusiaan untuk dapat menolong masyarakat sipil.

Namun Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berbagai agen kemanusiaan melebih-lebihkan perkiraan jumlah masyarakat sipil yang terjebak di Ghouta timur (”400.000”), sama seperti pada tahun 2016 mereka juga melebih-lebihkan perkiraan jumlah masyarakat sipil yang terjebak di Aleppo timur (“250.000”), sebuah fakta yang pada akhirnya membuat obyektivitas mereka dipertanyakan, begitu juga dengan penyangkalan mereka akan keberadaan Jihadis di sana.

Lebih jauh lagi, sama seperti apa yang diklaim oleh otoritas Suriah pada tahun 2016 – yang ternyata cukup akurat – bahwa ‘jihadis’ di Aleppo timur mencegah masyarakat sipil untuk keluar [dari Aleppo] dan menggunakan masyarakat sipil sebagai tameng, sehingga otoritas Suriah sekarang mengklaim bahwa ‘jihadis’ di Ghouta timur mencegah masyarakat sipil untuk keluar [dari Ghouta] dan menggunakan mereka sebagai perisai manusia.

Sama seperti pada tahun 2016, Rusia sibuk menjadi perantara persetujuan gencatan senjata, penhentian pemboman dan aksi kemanusiaan untuk meringankan kesengsaraan masyarakat sipil, meski pun hal ini membuat kesal otoritas Suriah karena mengganggu operasi militer mereka. Sama seperti pada tahun 2016, bagaimana pun usaha Rusia sama sekali tidak dihargai oleh pihak Barat.

Sebaliknya, media Barat dipenuhi oleh cerita-cerita kekejaman [perang] yang menyalahkan Rusia dan terutama Presiden Putin, contohnya editorial di Guardian yang terlalu membesar-besarkan.

Sama seperti kasus pada tahun 2016 selama pertempuran di Aleppo, media elektronik dan cetak hari ini dipenuhi dengan pembahasan kejahatan perang, dengan tuntutan prosekusi kejahatan perang dijatuhkan kepada Rusia, Suriah dan Iran, yang dianggap bertanggung jawab untuk pembunuhan masyarakat sipil di Ghouta timur dan pemboman.

Hal ini tetap terjadi sekali pun ada fakta bahwa komite parlemen Britania yang melaporkan hubungan Britania dan Rusia mengakui bahwa klaim Rusia melakukan kejahatan perang pada tahun 2016 di Aleppo tidak terverifikasi.

Begitu juga dengan fakta bahwa ‘jihadis’ di Ghouta timur diketahui melakukan pemboman di area sipil yang – sama seperti yang terjadi pada pertempuran di Aleppo pada tahun 2016 – tidak dimunculkan, meski pun tingkat kerusakan pemboman mereka jelas tidak dapat dibandingkan dengan pemboman yang dilakukan oleh Rusia dan oleh angkatan udara Suriah.

Sama seperti kasus krisis di Aleppo pada tahun 2016, krisis di Ghouta timur hari ini dipengaruhi oleh campur tangan media Barat.

Juga ada – sama seperti pada tahun 2016 – permohonan kepada Presiden Putin untuk “menunjukkan belas kasihan”.

Pada tahun 2016 permohonan ini utamanya berasal dari Menteri Luar Negeri Britania Boris Johnson. Kali ini permohonan tersebut berasal dari Kanselir Jerman Merkel dan Presiden Perancis Macron.

Sementara itu – seperti pada tahun 2016 – Rusia mendapatkan tentangan di Dewan Keamanan PBB dari buta besar AS untuk PBB. Pada tahun 2016 Samantha Power; kali ini Nikki Haley.

Sama seperti pada tahun 2016, sekarang kita menyaksikan permintaan yang memanas dan histerikal untuk ‘aksi militer’ supaya ‘mengghentikan pembunuhan’, dengan mengenyampingkan semua kemungkinan hasil yang bisa saja terjadi.

Sebagai pelengkap [cerita] paralel yang menakjubkan ini, didapati pemboman yang dilakukan oleh AS terhadap tentara Suriah yang ditempatkan di sisi jauh timur Suriah di propinsi Deir Ezzor, sama seperti yang terjadi pada pertempuran Aleppo pada 2016.

Lebih jauh lagi, respon Rusia terhadap ancaman AS dan serangan bom AS tampaknya sama seperti pada tahun 2016: pengerahan kekuatan militer yang lebih banyak ke Suriah dan pangkalan udara Khmeimim.

Pada tahun 2016 [Rusia menambahkan] misil antipesawat S-300 VM Antey 2500; hari ini misil antipesawat S-400 dan (menurut laporan) jet tempur SU-57.