Lebih dari seminggu telah berlalu sejak dua faksi politik utama di Palestina, Hamas dan Fatah, bertemu di Qatar untuk mencari kesepakatan dalam beberapa hal yang telah memecah-belah mereka sejak 2006 lalu.
Praktis, tak ada liputan mengenai jalannya perundingan atau hasil yang dicapai dalam pembicaraan tersebut. Selain beberapa pernyataan optimistik yang meragukan, tidak ada hasil perundingan resmi yang diumumkan.
Bahkan ketika warga Palestina dan media terkait ditanyai pendapatnya mengenai perundingan tersebut, semua serempak menjawab, “Terus kenapa?”
Ketidakpedulian terhadap proses negosiasi tersebut – bahkan dari media Palestina sendiri – seharusnya menjadi hal yang mengejutkan. Tak bisa dipungkiri, perpecahan antara Hamas dan Fatah sering disebut-sebut sebagai ganjalan utama bagi Palestina dalam usaha mereka mengakhiri pendudukan, pemulangan pengungsi dan penjajahan rezim zionis Israel.
Apatis
Sejujurnya, sikap apatis itu sendiri tidak mengejutkan.
Ini merupakan bukti bahwa kepercayaan publik Palestina kepada pemimpin dari kedua faksi, telah jauh memudar, termasuk dengan upaya negara-negara regional untuk menjadi penengah.
Ini bukan pertama kalinya Fatah dan Hamas duduk bersama untuk mencoba menambal perpecahan yang timbul sejak Hamas memenangi pemilu pada 2006. Kemenangan yang secara faktual mengusir Fatah sebagai salah satu faksi di Jalur Gaza.
Tak lama setelah itu, kondisi kian memanas setelah serdadu Otoritas Palestina mulai memburu anggota Hamas di Tepi Barat. Di depan mata mereka sendiri, warga Palestina melihat upaya mereka di bilik suara berakhir sia-sia. Pemilihan pada 2006 tersebut sebenarnya malah dianggap sebagai yang paling bebas dan jujur.
Dengan 75 persen warga ikut memilih, Palestina tampak antusias meski proses pemilu itu sendiri berlangsung di bawah pendudukan militer zionis.
Namun setelah perseteruan di Gaza, pembentukan pemerintahan tunggal menjadi impian belaka, dengan kedua faksi membentuk pemerintahan masing-masing, di dua wilayah geografi berbeda – yang lucunya, sama-sama diduduki oleh Israel. Seperti kata Diana Buttu, mantan juru bicara PLO, Hamas dan Fatah tak ubahnya seperti “dua orang botak yang saling berebut sisir”.
Hampir setiap tahun sejak pemilu 2006, perundingan damai selalu dilangsungkan. Empat kesepakatan telah diraih: di Mekah (2007), Kairo (2011), Doha (2012) dan Gaza/Kairo (2014. Ada juga dua deklarasi di Sanaa (2008) dan yang lain, juga di Kairo (2012).
Yang mengherankan, hasil dari tiap perundingan tersebut tak pernah bertahan dan setiap perundingan baru menjadi hal yang kian sepele. Terakhir kali, pemerintahan persatuan telah terbentuk pada 2012, namun akhirnya pecah kembali tak lebih dari setahun setelah dibentuk.
Dari serangkaian peristiwa tersebut, tak mengherankan jika warga Palestina semakin tak acuh dengan perundingan baru kali ini. Dalam survey yang digelar pada September lalu, terungkap bahwa hanya 5 persen warga Palestina yang menganggap persatuan Hamas dan Fatah menjadi hal yang penting.
Pragmatis?
Dalam perundingan tersebut, Hamas dilaporkan telah menyetujui pemerintahan Mahmoud Abbas untuk membentuk pemerintahan gabungan sesuai kehendaknya dan juga telah menyerahkan kontrol atas perlintasan Rafah di perbatasan Gaza-Mesir. Hal yang terakhir merupakan salah satu syarat yang diminta langsung oleh rezim Kairo.
Di sisi lain, Fatah menyetujui bahwa pegawai negeri yang ditunjuk Hamas untuk bertugas di Gaza, akan tetap menerima gaji dari Otoritas Palestina. Hal ini dilakukan setelah Fatah memerintahkan pegawai negeri yang setia pada Fatah di Gaza untuk tetap tinggal di rumah dan tak bekerja agar tetap bisa menerima gaji.
Kedua hal tersebut dianggap sangat penting bagi Hamas, yang memiliki tanggung jawab di Gaza pasca 2007, juga terhadap warga Gaza secara umum, dimana pekerjaan adalah hal yang cukup langka.
Konsekuensi terpenting dari pembicaraan tersebut, adalah pembukaan perbatasan Rafah. Hal ini tentunya akan mengurangi penderitaan warga Gaza yang dikepung Israel, namun masih bergantung pada niat baik pejabat zionis Israel dan Mesir.
Di luar kedua hal itu, tak jelas apa yang akan berubah di lapangan dari pembicaraan tersebut. Dan ini mungkin merupakan menjadi faktor penentu, mengapa warga Palestina semakin apatis dengan proses perundingan ini.
Lebih dari 80 persen responden dalam jajak pendapat PCPSR September lalu meyakini bahwa negara Palestina tidak akan terbentuk, setidaknya dalam lima tahun mendatang. Lebih jauh, hanya 65 persen warga Palestina yang percaya bahwa solusi dua-negara masih bisa dipertahankan.
Atas sebab ini pula, para pemuda Palestina kini memilih melawan pendudukan dengan caranya sendiri, dan berlepas diri dari afiliasi politik. Lebih dari 50 persen warga Palestina menganggap bahwa Otoritas Palestina harusnya dibubarkan saja.
Dengan atau tanpa rekonsiliasi, rezim zionis Israel tidak akan mengendurkan pendudukan dan penjajahan – apalagi memenuhi aturan internasional seperti mengijinkan pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah kelahirannya.
Tak soal dengan Fatah yang semakin kooperatif dengan zionis Israel atau Hamas yang tak henti melawan, upaya kedua faksi ini tak kunjung membuahkan hasil. Mengakhiri perseteruan antara Fatah dan Hamas, tentu saja merupakan hal penting. Namun persatuan adalah utopia di Palestina.
Tak ada kesepakatan mengenai strategi dalam melawan penjajahan, yang merupakan hal terpenting bagi Palestina.
Omar Karmi – https://electronicintifada.net/content/why-palestinian-unity-misnomer/15726