Mungkin saya memang harus belajar lebih banyak untuk membangun empati yang lebih kepada orang-orang yang saya sebut selama ini dengan Ekstremis itu. Sebutan itu sendiri tendensinya agak negatif, tentu saja agak sedikit berorientasi membelah persepsi menjadi “Saya VS Dia” dan tidak sepenuhnya tepat.
Sebagai disclosure, orang-orang yang saya sebut ekstremis itu tidak sepenuhnya orang-orang kasar yang berperilaku kasar. Banyak dari mereka adalah orang-orang yang lembut dan punya hati halus. Saya bersahabat baik dengan banyak dari mereka, membagi banyak kenangan menyenangkan dan saya jamin bahwa tidak banyak dari kenangan itu yang terkait dengan kekerasan.
Tapi benang merah yang paling mencolok dari teman-teman saya ini adalah kecenderungan mereka untuk sering membangun perasaan bahwa “Kita sedang dizalimi” atau ketegangan intens bahwa “Musuh-musuh sedang mengepung kita” dan karenanya yang harus kita lakukan adalah membangun benteng yang tebal untuk menghadang kuasa gelap yang ada didepan mata.
Perasaan Terancam Yang Masif
Syaikh Jalal Kisyk mungkin orang pertama yang mengeksplorasi terminologi tentang apa yang disebutnya “Al-Ghazw al-Fikri” (Invasi Pemikiran) dalam bukunya yang berjudul serupa di tahun 1966 dan dilanjutkan dengan elaborasi lebih lanjut dalam buku Al-“Naksa wa al-Ghazw al-Fikri” (1969). Intinya adalah, umat Islam mengalami apa yang disebut “Invasi Pemikiran” dari kelompok-kelompok Anti Islam diluar sana dalam berbagai format pemikiran dan satu-satunya solusi adalah kembali kepada “Pemikiran Islam” yang murni.
Tapi masalah sebetulnya bukanlah pada Ghawzul Fikri saja. Pasca kehancuran Baghdad, Reconquesta di Eropa dan penghancuran manuskrip-manuskrip langka di Hijaz oleh Rezim Wahhabi, umat Islam berada dalam situasi yang bisa disebut keterputusan Epistemologi saat praktik keagamaan populer hanya menjadi tumpukan praktik tanpa Istinbath dan istidlal yang memadai, dan melalui sebuah periode panjang kolonialisasi, umat Islam pasca Kolonialisme dihantamkan pada sebuah situasi nyata bahwa dalam segala hal mereka bukan lagi siapa-siapa.
Peradaban yang beberapa ratus tahun berselang adalah pemimpin dunia dan beberapa puluh tahun sebelumnya masih menggetarkan Eropa, saat ini tidak lebih dari serombongan orang yang terbelit kemiskinan ekonomi, bodoh secara konsepsi, tidak merdeka secara politik dan budayanya diinjak-injak oleh peradaban asing yang sama sekali tidak sejalan dengan peradaban mereka.
Fakta bahwa kemerdekaan negara-negara Islam pada periode pasca kolonialisme tidaklah sepenuhnya digerakkan oleh ide-ide yang secara menyeluruh mewakili simbol-simbol keagamaan tradisional, menyebabkan beberapa kelompok Islamis sendiri agak terasing dari gegap gempita kemerdekaan. Selain asumsi dasar bahwa ide-ide universal semacam Demokrasi dan Ham tidaklah selaras dengan Islam, kenyataan lain menunjukkan bahwa pendorong ide “mulia” tersebut sebetulnya adalah kelompok yang sama yang menyelenggarakan kolonialisme di negara mereka beberapa waktu berselang, membuat perasaan bahwa Nasionalisme dan Demokrasi yang mendorong kemerdekaan itu sebetulnya bukan sebentuk format kemerdekaan Politik sebagaimana yang mereka cita-citakan.
Perasaan tidak puas secara politik dan persepsi bahwa Islam tidak cukup terakomodir dalam pemerintahan demokrasi dan nasionalisme adalah pola yang sama terjadi di seluruh dunia mulai dari Iran, Mesir, Aljazair, Suriah, Irak hingga Indonesia.
Di Indonesia, selain perasaan terkalahkan secara politik, secara ekonomi Pribumi Indonesia juga bukanlah apa-apa, struktur ekonomi dipegang oleh Kapitalisme Kroni lokal, pengelolaan lapangan dikelola etnis tionghoa dan industri besar sejak 1959 memang didorong untuk selalu berdekatan dengan Jepang sebagai kanal industri Amerika-Indonesia. (Tentu saja ini tidak bisa dilihat secara hitam putih, Mentri Soemitro pada zaman Bung Karno berkuasa pernah membuat program pengembangan ekonomi kecil yang berbasis pada bantuan alat produksi kepada pribumi lokal yang berakhir gagal karena salah satunya etos masyarakat yang tidak cukup punya kemahiran mengelola bisnis dengan metode-metode yang modern) Namun demikian, fakta bahwa relasi sosial sebagian terbesar masyarakat Indonesia atas alat produksi terhambat, jomplang, dan dikalahkan, mengisi segenap kesadaran masyarakat pada lapisan paling bawah dan berpotensi untuk meluap menjadi riak besar di kemudian hari membonceng arus urbanisasi yang belakangan membentuk kantong-kantong muslim menengah di perkotaan.
Elit Tionghoa dan Industrialis besar pada satu puncak, di dasar stratifikasi adalah masyarakat urban yang terhalang dari akses ekonomi, maka ditengah-tengah berdiri kelas menengah yang mencoba “bergeliat” secara ekonomi dibawah bayang-bayang pengusaha non pribumi yang secara sadar atau tidak sadar diasumsikannya sebagai ancaman.
Pada bidang pemikiran keagamaan, rezim Soeharto telah berhasil membangun sebuah kerukunan berbasis perimbangan kekuasaan dan stabilitas nasional. Setelah kekuatan-kekuatan militer tidak cukup memadai untuk menjadi sekutu dekatnya lagi, Jendral Soeharto mencoba untuk mencari perimbangan kekuasaan melalui kooptasi kekuatan “Hijau” yang memberi peluang membesarnya politisi Islam untuk sedikit maju kemuka dengan menekankan aspek sekularisme Islam dan kerukunan antar umat beragama. Semua itu adalah ide asing yang sama sekali sulit untuk dipahami kecuali oleh orang-orang yang benar-benar terdidik secara nalar pada kelompok elit atau terbiasa berfikir relatif ala fikih pada masyarakat berbasis pesantren.
Adalah hal yang menarik mengetahui fakta bahwa penyokong sekularisme keagamaan yang cukup liberal di era orde baru adalah sekelompok elit lulusan luar negeri atau Nahdlatul Ulama sebagai representasi umat yang terbiasa berfikir ala Fikih. Sisanya adalah kelompok menengah yang cukup mampu mengakses informasi terkini mengenai “problem dari luar” namun tidak cukup punya waktu untuk belajar mengenai Epistemologi.
Perasaan yang kalah secara politik, terancam secara ekonomi, dan asing dari sisi pemikiran keagamaan membuat orang-orang yang menjadi korban dari situasi itu adalah juga prospek laten yang serius untuk sebuah dorongan berbuat ekstrem. Dengan sedikit manipulasi perasaan terancam lewat gesekan-gesekan kecil yang disulut elit politik, itu semua dapat menjadi nyala yang apinya dapat membesar membakar Indonesia.
Apa Yang Hidup Di Benak Mereka?
Maka, jika pada tanggal 4 November 2016 terjadi demontrasi yang masif atas seorang gubernur Jakarta yang non-Muslim, China bermulut kasar dan selama 3 tahun belakangan berhasil melakukan pembersihan-pembersihan pada birokrasi, hanya karena sebuah statement yang sebetulnya sangat sepele, jangan kita membacanya sebagai sebuah kejadian yang terpisah. Ini adalah saluran sebuah situasi dari masyarakat yang bertahun-tahun merasa dikalahkan secara telak.
Mulut kasarnya Ahok yang melukai begitu banyak orang harus dibaca dalam alam fikiran orang-orang yang sudah terlalu lama dilukai oleh kenyataan hidup pahit. Mungkin yang dicaci maki mereka saat mengecam Ahok adalah bayangan hidup mereka sendiri yang dicaci maki di pabrik-pabrik yang dimiliki para etnis tionghoa dengan gaji kecil pada pekerjaan bertahun-tahun yang tidak juga bisa membuat mereka sejahtera.
Tafsiran Ahok atas Al-Maidah 51 dalam bayangan mereka adalah manifestasi Orientalis yang bertahun-tahun dicekoki para ustadz sebagai musuh yang nyata dalam Halaqoh-halaqoh mingguan mereka atau pengajian-pengajian di akhir minggu dan yang dimaki-maki mereka saat ini adalah Goldziher, Zwemer, Margoliouth atau Crone-Cook yang dipersonifikasi penuh dalam figur ahok dibeking oleh sekularis tidak tahu diri yang sepenuhnya terbaratkan.
Regulasi Ahok dalam birokrasi dan penggusuran yang dilakukannya selama ini mungkin memang dapat dibenarkan, namun dalam alam pikiran mereka regulasi itu dapat berjalan hanya dan hanya karena telah mendapat sokongan dari kelas menengah menyebalkan yang tidak pernah dapat memahami ketidak mampuan bersaing saudara-saudara pribumi dalam berwirausaha dalam ancaman jejaring ekonomi china sehingga lahan yang tepat dalam berbisnis bagi mereka adalah membisniskan peluang dalam jabatan. Pengusaha lokal yang proyeknya terganggu oleh regulasi Ahok akan membaca semua ini sebagai sebuah ketidak adilan karena dimata mereka Ahok mungkin telah memberi konsesi lebih banyak kepada kelompok pelaku usaha china yang dalam benak mereka adalah saingan bisnis mereka.
Maka setelah semua pukulan demi pukulan dalam kehidupan, seorang Ahok adalah sebentuk pukulan paling menyakitkan yang tidak bisa diterima kecuali ia dilengserkan.
Maka jangan remehkan perasaan dikalahkan kawan. Fakta berdarah Qabil dan Habil terjadi karena seorang saudara yang merasa dikalahkan. Saudara-saudara Yusuf yang membuangnya kesumur adalah cermin ketidakmampuan mereka bersaing dalam hal yang tepat, berujung pada keinginan untuk melenyapkan.
Rasulullah menghadapi segenap pendengki dari Kaum Quraisy, orang yang ingkar dari kalangan Ahl Kitab dan “sahabatnya” sendiri yang pura-pura beriman (munafik) dengan segenap kesabaran hingga pada Penaklukan Mekkah, ia menghabisi segenap kedengkian dengan ampunan, rekonsiliasi masal bahkan kehormatan.”Hindarkanlah bagimu kedengkian, karena kedengkian itu memakan kebaikan sebagaiman api membakar kayu bakar”, demikian sabda nabi. Maka berkaca dengan itu semua, tugas besar kita yang utama adalah menghilangkan segala sumber dan penyebab timbulnya kedengkian dari setiap sumber yang mungkin memunculkannya. Itulah yang disitir oleh Quran sebagai “Hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu apabila berjalan diatas muka bumi dengan rendah hati..” (QS 25: 63)
Ya, rendah hati disini sebagai lawan dari kata meninggi dan kata-kata yang arogan..
Tentu saja, kita tidak bisa memaksa para pendengki yang ‘berkeras untuk mendengki’ agar dia tidak mendengki, karena itu adalah statemen yang salah dari dirinya sendiri. Menghadapi orang semacam itu Quran mengajarkan: “…wa idza khathabahumul jaahiluuna qaaluu ‘salama’” ( ..kalau mereka di mention oleh orang-orang “jahil” mereka berkata dengan redaksional yang akan membawa kedamaian) (QS 25: 63)
Kita bukan pendengki karena kita bukan orang kalah, dan lebih dari semua itu kita adalah “Hamba Tuhan Yang Rendah Hati” kan?