Jaman nuklir dimulai secara nyata pada hari ini, 6 Agustus, 72 tahun yang lalu – setelah melalui uji-coba sukses di Alamogordo, 21 hari sebelumnya. Waktu itu, Jenderal Thomas Farrell sempat meramal, “kita sedang menuju sesuatu yang tidak kita ketahui, dan kita tidak tahu apa yang akan jadi akibatnya.”
Robert Oppenheimer, yang dipanggil sebagian orang sebagai “bapak bom atom”, pernah mengutip Bhagavad Gita yang mengatakan, “kini aku menjadi Kematian, penghancur dunia-dunia.”
6 Agustus ini menandai 72 tahun salah satu kejahatan terbesar dalam sejarah, yang diikuti tiga hari setelahnya di Nagasaki. Setidaknya 200.000 orang meregang nyawa, banyak lainnya yang cacat seumur hidup, dan generasi setelahnya terkontaminasi radioaktif hingga menyebabkan cacat lahir dan masalah kesehatan serius lainnya, hingga hari ini.
Para pembohong masih saja mengklaim bahwa mengebom kedua kota itu mempercepat berakhirnya perang dan menyelamatkan banyak nyawa. Truman, bahkan menipu publik dengan mengatakan bahwa mengebom Hiroshima, hanya “akan menghilangkan manfaat kota itu terhadap musuh.”
Itu untuk menyelamatkan rakyat Jepang dari kerusakan yang lebih dahsyat… Jika mereka tidak menerima syarat yang kita ajukan, mereka bisa menantikan hujan kehancuran dari langit, yang tak pernah terlihat sebelumnya di dunia.
Mengebom nuklir kedua kota itu merupakan dua dari banyak genosida yang dilakukan Amerika Serikat – dimulai dari penundukkan dunia baru melalui laut, menghancurkan negeri demi negeri setelahnya, sebagai lanjutan agresi perang yang berlanjut hingga sekarang.
Jepang yang kalah, akhirnya menyerah saat Truman memerintahkan penggunaan mainan baru Amerika – dua kali, bukan sekali. Semua hanya untuk memenangkan perang yang sudah dimenangi, untuk menunjukkan kemampuan militer Amerika terhadap Soviet, untuk pamer kekuasaan yang dimiliki pemimpinnya, dan apa yang akan menimpa kota-kota mereka jika Washington memutuskan untuk menyerang sekutunya semasa perang itu.
Pemimpin Amerika selalu menganggap bahwa nyawa manusia bisa dikorbankan. Ratusan ribu korban rakyat Jepang hari itu, hanyalah harga yang murah untuk ditebus.
Teror melalui pemboman merupakan kejahatan berat internasional. Artikel 25 dari Laws of War: Laws and Customs of War on Land (1907 Hague IV Convention) menyatakan:
Serangan atau pemboman, dengan alat apapun, terhadap kota, desa, pemukiman atau gedung yang tidak terlindung, adalah dilarang.
Aturan Geneva IV pasca Perang Dunia II melindungi penduduk sipil dalam masa perang – melarang segala bentuk kekerasan terhadap mereka, mewajibkan perawatan manusiawi bagi mereka yang sakit dan terluka.
Nuremberg Principles tahun 1945 melarang “kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan”, termasuk “aksi tidak manusiawi yang dilakukan pada populasi sipil manapun, sebelum atau dalam masa perang” – terutama pembunuhan ngawur dan “perusakan pada kota, atau desa, atau kehancuran yang tak dibenarkan oleh kebutuhan militer.”
Dalam bukunya The Good War: An Oral History of World War II, Studs Terkel menjelaskan sisi baik dan buruk bagi mereka yang mengalaminya.
Sisi baiknya, Amerika adalah “satu-satunya negara diantara mereka yang berkonflik namun tidak pernah diserang atau dibom. Kota-kota kita adalah satu-satunya yang tak hancur,” ujar Terkel.
Sisi buruknya, Terkel menulis, “hal ini mengaburkan pandangan kita akan bagaimana harusnya kita memandang perang” dan anggapan apakah mereka baik atau mengapa harus bertempur melawannya. “Ingatan kacau ini membuat orang bersemangat untuk menggunakan kekuatan militer” untuk menyelesaikan masalah, tak peduli akibatnya.
Perang tak pernah hanya baik atau buruk. Di jaman nuklir, perang adalah aksi ‘gila’ – mengerikan dalam standar apapun.
Pada 24 Februari 1945, 5 bulan sebelum bom nuklir dijatuhkan di Hiroshima, Jepang sudah meminta untuk menyerah, dengan hanya meminta agar Kaisar mereka tetap dipertahankan. Namun Roosevelt menginginkan perang untuk terus berjalan, hal yang dilanjutkan Truman setelah Roosevelt mati pada April 1945.
Howard Zinn, pernah mengatakan, “pemboman Hiroshima merupakan hal yang sakral bagi Amerika, dan bagi bagian besar dari populasi negeri itu.”
Selama ini, pemboman itu dicitrakan sebagai jalan berliku untuk mengakhiri perang dan menyelamatkan nyawa – sebuah mitos yang masih dipercaya saat ini oleh sebagian banyak penduduk Amerika, mengecilkan pembunuhan masal mengerikan yang menjadi akibatnya.
“Hiroshima dan Nagasaki merupakan kejahatan yang tak termaafkan,” jelas Zinn, “yang dilakukan pada Jepang yang telah siap untuk menyerah, aksi brutal kekejaman skala besar, dan bukan kegentingan yang tak bisa dihindari.”
“Apa yang lebih mengerikan dari pembakaran, mutilasi, pembutaan, radiasi ratusan ribu rakyat Jepang, lelaki, wanita dan anak-anak?”
Namun sangat penting bagi politisi Amerika untuk membela pengeboman itu karena jika rakyat Amerika bisa dibuat untuk menerimanya, maka mereka bisa menerima perang apapun, dengan cara apapun, sepanjang pengobar perang bisa memberi alasan.
Agresi perang yang digelorakan Amerika sejak musim panas tahun 1945 hingga saat ini telah membunuh jutaan orang akibat konflik, kekerasan yang menyertainya, kekacauan, kelaparan, luka dan penyakit yang tak terobati, selain perampasan paksa.
“Ada kesempatan yang tak habis untuk perang, dengan persediaan alasan yang tak habis pula,” membenarkan hal yang tak bisa dibenarkan, tutur Zinn.
Sebelum mengebom Hiroshima dan Nagasaki, Sekretaris Perang AS Henry Stimson mengabari Dwight Eisenhower tentang penggunaan bom atom yang tak terelakkan, mengatakan “Jepang sudah kalah dan menjatuhkan bom atom sama sekali tidak diperlukan.”
Setelah bom itu dijatuhkan, kepala pasukan Sekutu Admiral William Leahy menyebut bom itu sebagai “senjata barbar. Jepang sudah kalah dan siap menyerah.”
Pertengahan Juli, 4 hari sebelum Truman, Churchill dan Stalin bertemu di Postdam untuk membahas keadaan pasca-perang (dua bulan setelah kekalahan Nazi Jerman), Menteri Luar Negeri Jepang, Togo, mengirim telegram pada duta besar Sato di Moskow untuk membahas persyaratan pengakuan kekalahan yang mengatakan:
“Sudah menjadi keinginan Yang Mulia (Kaisar) untuk melihat berakhirnya perang secara cepat.” Washington mencegat telegram ini, karena sandi rahasia Jepang sudah bisa dipecahkan bahkan sebelum perang dimulai.
Setidaknya sejak musim panas 1940, Intelijen AS mulai memahami pesan-pesan diplomatik Jepang. Bahkan di awal 1945, Jepang sudah mulai mengirim sinyal perdamaian. Dua hari sebelum konferensi February Yalta, Jenderal Douglas MacArthur mengirim 40 halaman ringkasan penyerahan diri Jepang kepada Roosevelt.
Isinya, hampir tanpa syarat. Jepang menerima pendudukan AS, menghentikan permusuhan, menyerahkan senjata, menarik seluruh pasukan dari wilayah yang didudukinya, diadili di pengadilan kriminal perang, mengijinkan industrinya dikuasai, namun mereka hanya meminta agar Kaisar mereka dipertahankan.
Roosevelt menolak. Begitu juga Truman. Mereka menginginkan perang berlanjut, hingga tak ada syarat terakhir yang diminta Jepang.
Amerika “sudah bertekad untuk menjatuhkan bom atom itu,” terang Zinn. Penasehat Churchill, PMS Blackett mengatakan bahwa bom itu adalah “operasi besar pertama dari perang dingin diplomatik dengan Rusia.”
Bom atom di bulan Agustus adalah pengingat yang mengerikan tentang apa yang terjadi di Jepang bisa berulang kapan saja orang-orang gila di Washington berniat melakukannya. Manusia, mungkin tak akan bertahan menghadapi kegilaan mereka.
Stephen Lendman
http://www.globalresearch.ca/hiroshima-and-nagasaki-gratuitous-mass-murder-nuclear-war-a-lunatic-act/5467504