Bagaimana pemaknaan jihad dari masa-kemasa ? Candiki Repantu – seorang Antropolog sosial – mengatakan bahwa telah terjadi pergeseran makna jihad seiring berjalannya waktu. Beliau mencontohkan dimasa Rasulullah SAW jihad dimaknai sebagai bentuk mempertahankan diri dari serangan musuh, bukan melakukan penyerangan secara ofensif. Tetapi pada masa pemerintahan tiga khalifah dari Khulafurrasydin, Abu bakar, Umar dan Usman r.a – jihad dimaknai sebagai perluasan kekuasaan, menyerang dan memaksa negara-negara lain untuk menerima Islam, sedang pada masa pemerintahan Ali bin Abu Thalib k.w.h jihad bermakna perang menghadapi perlawanan dari dalam tubuh kaum muslimin sendiri. Kemudian di masa dinasti Muawiyah dan ‘Abbasiyah, “jihad” dimaknai sebagai penaklukan dan perluasan kekuasaan.”
Bagi mereka, demokrasi, sosialisme, kapitalisme merupakan musuh; dan memerangi sistem tersebut berikut segala variannya adalah JIHAD.
Seiring runtuhnya kekhalifahan Ottoman Turki, sistem khilafah yang berpusat di Turki diganti oleh Kemal Attaturk menjadi sistim demokrasi yang bersifat pemisahan tegas antara Negara dan agama (sekularisme), membuat sebagian diantara kelompok Islam yang menolak sistem tersebut melakukan konsolidasi dengan mendirikan organisasi-organisasi seperti Hizbut Tahir, Ikhwanul Muslimin (yang melakukan takiyah di setiap Negara dengan memakai nama-nama yang berbeda), dan kemudian muncul – Islamic State of Iraq (ISI) yang bermertamorfosis menjadi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang kemudian berubah lagi menjadi Islamic State (IS).
Kelompok yang ingin mengembalikan sistem Khilafah ini menolak dan memusuhi segala sistem yang ada di dunia ini. Bagi mereka, demokrasi, sosialisme, kapitalisme merupakan musuh; dan memerangi sistem tersebut berikut segala variannya adalah JIHAD. Kelompok ini pada awalnya menjadikan Iraq sebagai Daulah Islamiyah pertama, setelah itu mereka meluaskan daerah kekuasaan dengan menyerang Syria dan kawasan sekitarnya dengan pengecualian Israel dan Arab Saudi.
Di kawasan nusantara yang rakyatnya telah ribuan tahun dikenal dengan tolerasi keberagamaan yang tinggi, tempat penganut Hindu, Budha, Islam, Kristen serta berbagai aliran kepercayaan hidup akur dan damai tanpa ada gesekan. Tetapi sejak masuknya ajaran Wahabi yang dibawa oleh Ulama Minangkabau, api pertentangan terpercik dan menyulut peperangan internal ummat Islam di kawasan Sumatera yang sangat menguntungkan pihak penjajah Belanda. Tanpa perlu menggunakan strategi “devide”, kaum muslimin sudah terpecahbelah sehingga nantinya dapat mudah untuk menguasai wilayahnya. Setelah itu Wahabisme yang mendasari gerakannya pada pelabelan Bid’ah, Syrik, Khurafat, Sesat dan Kafir terhadap kelompok lain mulai masuk dan menyelinap ke organisasi-oraganisasi kemasyarakatan Islam seperti NU dan Muhammadiyah.
Almarhum Gusdur mengatakan mereka sebagai musuh dalam selimut. Sejumlah besar uang digelontorkan kepada ulama-ulama yang di-istilahkan Gusdur sebagai ulama komersial untuk menyebarkan sekte fundamentalis Wahabi di seluruh dunia. Gelontoran dana dari Saudi di Indonesia sebesar US $ 70 juta selama kurun waktu antara 1973-2003 hanya merupakan bahagian kecil dari dana untuk kampanye tersebut (Gusdur: Musuh dalam selimut)
Ajaran Wahabi yang dibawa oleh Muhammad ibnu Wahab ini telah memanshukkan 125 ayat Al Qur’an tentang toleransi; dan mereka menafsirkan “Kafir” tanpa melalui kaidah-kaidah ilmu penafsiran Al Qur’an. Menurut mereka, kata “Kafir” bukan hanya mengikat pada orang-orang non muslim tapi juga digunakan untuk kelompok atau orang-orang yang pemahamannya berbeda. Maka berkembanglah pengertian jihad menjadi memerangi orang yang tidak sepaham dengan mereka, yang pada akhirnya Islam tradisional seperti NU atau Syi’ah dijadikan sebagai musuh yang harus dibunuh atau dihabisi.
Cecunguk-cecunguk Ibnu Saud sangat bernafsu untuk memukul Syi’ah. Hal ini mereka lakukan dengan memanfaatkan berbagai cara sekalipun dengan membenturkannya dengan kelompok mainstream yang ada di Indonesia. Tetapi rencana busuk mereka ini pasti tidak akan pernah berhasil, karena – sebagaimana yang dianut muslim tradisional di Indonesia – ajaran Syi’ah juga mendukung Legal State; artinya dimanapun umat Syi’ah berada, mereka berkewajiban membela tanah air dan tumpah darahnya dari rongrongan siapapun, selama pemimpin di Negara tersebut tidak berlaku zalim. Rencana kaum Wahabiyun untuk menjadikan Indonesia sebagai Proto State bisa dipastikan tidak akan pernah berhasil. Di negeri ini, para pengikut Sang Wisnu, Sang Budha Gautama, Muhammad Rasulullah, Yesus putra Maria, Sang Hyang Widi Yasa, dan Debata Mula jadi Nabolon bergandengan tangan dalam persatuan. Mereka bersatu dalam perbedaan.
Oleh: Kardinal Syah
Pages: 12