Mengapa China tak mengirimkan bantuan militer ke Syria? Mengapa juga China abstain soal Crimea? Mengapa China menghadiri pertemuan Bilderberg?
Apakah ini membuktikan bahwa China sedang menjalankan agenda New World Order (NWO) dan sebenarnya bermain mata dengan AS?
Suka tidak suka, China adalah kekuatan baru negara adidaya. Meski punya militer yang cukup kuat – yang mampu menahan manuver AS di Laut Cina Selatan (LCS) untuk saat ini – namun bagi Beijing, ekonomi adalah senjata utama.
One Belt One Road (OBOR) adalah salah satu inisiasi China untuk mewujudkan area perdagangan trans-Asia – sebagai antidot Trans-Pacific Partnership (TPP) yang digagas AS. OBOR meghubungkan China dengan Jalur Sutera baru yang dibangun melalui Asia Tengah, hingga Mediterania melalui Syria dan Lebanon, yang saling melengkapi visi Eurasia milik Putin.
Yuan kini juga menjadi salah satu mata uang resmi IMF, yang membuatnya harus ada di tiap bank sentral negara-negara yang terkait di dalamnya dan memiliki potensi besar untuk menggeser dolar dalam beberapa kasus perdagangan.
Washington menyadari hal ini, namun untuk bereaksi keras akibat dolarnya diganggu – seperti pada Saddam dan Khadaffi – efek domino dari aksi serupa akan membuat AS sendiri runtuh. Bagi AS, untuk saat ini, China merupakan ‘teman’ yang menyusahkan.
Keterlibatan China di Syria memang tidak sebesar Rusia. Hal yang bisa dipahami mengingat Beijing terang-terangan menolak kebijakan Moskow untuk ikut berperang di Syria sejak awal.
Dan perlu dicatat bahwa meski China mendukung sepenuhnya pemerintahan Syria yang sah, namun dengan visi ekonomi yang begitu besar di kawasan, China juga tak siap untuk bermusuhan dengan Saudi dan Qatar, yang akan menjadi elemen krusial dalam Jalur Sutera barunya.
Meski demikian, Syria sendiri mengakui bahwa bantuan Beijing dalam konflik Syria cukup signifikan. Meski ‘hanya’ memberikan bantuan kemanusiaan dan pelatihan medis militer, namun banyak pihak yang meremahkan hal ini sebagai upaya simbolis saja.
Faktanya, kini 40% tenaga medis dalam militer Syria dilatih di dan oleh Beijing. Dan anda bisa mengira sendiri seberapa besar pengaruh hal ini dalam kemampuan tempur Syria.
Katakan pragmatis, namun kebijakan China mewakili kepentingan dalam negeri yang ia usung. Keberaniannya dengan berpihak pada Syria sendiri sudah merupakan perjudian besar, yang lebih ditujukan untuk senjata negosiasi dengan AS soal LCS.
Dalam kasus Crimea, Beijing terjebak dalam situasi ‘damned if you do, damned if you don’t’. China bisa menghitung kesusahan yang dialaminya jika all-out mendukung Rusia, namun juga tak siap bermusuhan dengan Moskow.
Tibet juga bisa menjadi bumerang jika Beijing salah mengambil keputusan dan tentunya, rencana penjualan senjata AS ke Taiwan juga menjadi pertimbangan khusus. Belum lagi jika kita bahas Xinjiang.
Kasarnya, China dan hampir setiap negara lainnya mempunyai perhitungan untung-rugi sendiri, terutama jika dikaitkan dengan keputusan geopolitik yang memiliki implikasi mendalam ke dalam negeri.
Semuanya berakar pada kepentingan dalam negeri, dengan sedikit bumbu sejarah dan aroma ideologis.
Maka jangan terkejut saat mendengar ada perjanjian kerjasama antara China dan Saudi, atau antara Beijing dan Tehran. Juga jangan kecewa kalau mendengar Rusia menghadiri pertemuan Bilderberg pada 1998, 2011, 2012 dan 2015, atau melihat foto Putin bersalaman dengan Netanyahu.
NWO? Kita sendiri sudah menjadi bagiannya sejak terdaftar menjadi anggota G20 pada 1999. Deal with it!