Pemerintah Indonesia yang berdaulat dan mendapat mandat publik, membiarkan dirinya berlarut-larut berunding dengan sebuah perusahaan swasta seperti Freeport yang privat.
Ini seperti mengulang apa yang dilakukan kerajaan-kerajaan Nusantara yang agung, yang memposisikan dirinya hanya setara dengan sebuah kongsi dagang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), dan terjerat dalam setidaknya 1.000 jenis perjanjian dalam kurun waktu hampir 200 tahun.
Tapi sebagian (besar) rakyat Indonesia lebih senang percaya bahwa kita dijajah oleh negara Belanda selama 350 tahun. Mungkin agar merasa sedikit lebih terhormat, daripada dijajah sebuah kongsi dagang yang didirikan oleh 17 pemegang saham dan 60 orang direksi, yang bisa membentuk tentara sendiri.
Bila dijajar, dokumen-dokumen terkait VOC panjangnya mencapai 12 kilometer dan merupakan koleksi dokumen perusahaan multinasional terbanyak di dunia, yang kini disimpan di kantor Arsip Nasional, Jalan Ampera, Jakarta Selatan.
Hari-hari belakangan ini kita telah melihat bagaimana Indonesia sebagai sebuah negara merdeka, selama 24 tahun terjebak dalam proses negosiasi kepemilikan saham atas sumber daya alamnya sendiri (maaf untuk kawan-kawan di Papua, catatan ini akan sampai pada bagian “itu”).
Ini adalah sebuah negara yang berkutat pada rembuk-rembuk teknis apakah divestasi melalui penawaran langsung atau lewat pasar modal. Apakah bertahap 2,5 persen per tahun seperti Kontrak Karya 1991, atau langsung 20 persen sampai tahun 2021 seperti Peraturan Pemerintah tahun 2014.
Negara ini seperti tak punya peta jalan atau cetak biru rencana untuk mengelola sendiri, meski telah 40 tahun diajari bagaimana cara melubangi tanah di Papua. Bahkan peta jalan yang luhur untuk pada akhirnya mengembalikan semuanya kepada orang-orang Papua tanpa prasangka politik, prasangka kompetensi, dan bias budaya.
Jakarta sudah terlanjur berdosa menyerahkan Ertsberg kepada Freeport McMoran (April 1967), dua tahun sebelum rakyat Papua ditanya dan memberikan jawaban apakah mereka ingin bergabung dengan Indonesia atau mengurus negara sendiri (Juli-Agustus 1969).
Hari-hari ini kita melihat bagaimana sebuah pemerintahan yang mendapat mandat rakyat lewat proses yang demokratis, di saat yang sama hanyalah pemegang saham minoritas 9,36 persen yang tunduk pada keputusan Rapat Umum Pemegang Saham di Phoenix, Arizona, bahwa deviden yang hanya 1,76 triliun rupiah, tak lagi dibagikan sejak 2012 untuk mengongkosi penambangan bawah tanah.
Lalu untuk menenangkan hati rakyat, pemerintah terlihat sibuk surat-menyurat meminta penjelasan. Padahal mereka telah sadar sepenuhnya, bahwa dalam nalar korporasi yang privat, yang disebut Republik Indonesia hanyalah pemilik sedikit kursi di tengah ruang rapat pemegang saham.
Hari-hari ini kita juga melihat bagaimana sebuah bangsa yang memiliki konstitusi yang agung bahwa isi buminya hanya “digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, justru merundingkan berapa persen royalti yang bisa diperoleh, dengan kontraktor penambang yang ditunjuknya sendiri. Butuh waktu 41 tahun untuk meningkatkan royalti dari 1 persen menjadi 3,75 persen, di saat standar royalti tambang emas di dunia rata-rata sudah 5-7 persen.
Republik yang didirikan para cendekia yang menguasai puluhan bahasa dunia ini, bahkan terjebak soal kapan waktu yang tepat untuk memperpanjang kontrak: apakah dua tahun sebelum berakhir, atau sepuluh tahun agar memberi kepastian investasi. Alih-alih berpikir di luar kotak: benarkah kontraknya patut diperpanjang. Untuk memuluskan itu, ada menteri yang sibuk mewacanakan amanden UU Minerba agar Peraturan Pemerintah-nya bisa diubah.
Lalu di tengah perenungan besar itu, muncul petualang-petualang pencari rente yang seperti membenarkan kesimpulan bahwa penjajahan selama berabad-abad di Nusantara ini sejatinya adalah invited colonalism alias penjajahan yang diundang.
Dandhy Dwi Laksono