Tubuhnya lelah. Pundaknya kaku, linu serasa memikul batu. Matanya pedih menahan kantuk, putrinya tak berhenti merengek sepanjang malam karena kedinginan.
Pagi itu, ia ditinggalkan yang lain. Rasanya baru 5 menit ia terlelap, saat perutnya sendiri membangunkannya. Rintik gerimis tak berhenti turun sejak semalam sore. Pahanya mulai lecet karena celana jeans yang kuyup.
Berjalan perlahan, ia gendong putrinya menyusuri jalan raya yang masih sepi. Ia bersenandung lirih, mencoba mengalihkan perhatian putrinya yang mulai cemberut.
Mendadak ia ingat keponakannya. Putra saudaranya yang beranjak balig, yang tenggelam saat perahu mereka dihantam ombak. Ia belum memberitahu sang ayah, telepon genggamnya terjatuh terkubur lumpur saat berebut melewati pagar perbatasan.
Pelupuk matanya mulai menghangat. Senandungnya semakin keras, namun suaranya bergetar. Putrinya terdiam, mengeratkan dekapannya. Wajah istrinya melintas di benaknya. Tiba-tiba ia merasa iri.
Sebuah meriam menghantam kediamannya saat ia menjemput putrinya dari sekolah. Ketika kembali, kepulan asap membuatnya menghentikan mobil di ujung gang. Lehernya tercekat. Saudara lelakinya berlari menghampirinya, mulutnya menganga, kedua tangannya memukul-mukul wajahnya.
Ia masih ingin berkabung. Namun dunia tak memberinya waktu. Saudaranya menitipkan anak lelaki semata wayangnya, segulung uang lusuh, sembari mematut Kalashnikov. ‘Pergilah,’ katanya. ‘Aku akan tinggal dan berperang’.
Ia ingin bergabung dengan saudaranya, namun mulutnya terkunci. Ia menyimpan dalam-dalam semua amarah dan dendam, demi amanah yang dititipkan. Ia menatap putrinya dan keponakannya itu. Kemudaan, harapan, masa depan.
Ia tak tahu mau kemana, namun kakinya terus melangkah. Ia ingin menangis dan mengadu. Ia ingin istirahat dan berganti baju. Ia ingin secuil roti untuk mereka berdua. Ia ingin duduk sebentar saja.
Pagi itu, deras air matanya tersamar oleh hujan. Ia memekik sesekali dalam senandungnya, mencoba menutupi dadanya yang sesak. Putrinya mengikuti lantunan suaranya perlahan.
Tangisnya terhenti. Ia mengecup pipi mungil yang berkerut karena dingin itu. ‘Sebentar lagi, sayang.’
‘Kita akan segera sampai..’