Manipulasi berita dan pengaburan fakta adalah senjata yang efektif di tangan penguasa. Mereka dengan mudah bisa menghilangkan realita.

Ambil contoh, Yaman.

Dalam laporan UNICEF, setiap 10 menit seorang anak meninggal dunia dengan sia-sia. Kematian ini hanyalah salah satu dari kejahatan kemanusiaan yang terburuk di dunia, termasuk merajalelanya epidemi kolera, dimana media penganjur perang berhaluan fasis berlagak bisu, tuli dan buta.

Namun, informasi mudah dicari. Ada banyak perlawanan terhadap konspirasi media dan birokrat. Pada 10 Juli, The Independent di rubrik “voices” menerbitkan tulisan Wael Ibrahim (pekerja kemanusiaan di Yaman).

“Akan butuh puluhan tahun untuk mengembalikan infrastruktur dan layanan kesehatan di kota Sana’a. Kita butuh banyak orang untuk menyuarakan tentang Yaman.”

Dari 23 Maret 2015, Saudi Arabia, didukung oleh Amerika dan Inggris, mulai membom Yaman yg notabene negara termiskin di teluk, dan mengacuhkan Dewan Keamanan PBB, tradisi yang sudah berjalan dari jamannya presiden Bill Clinton saat perang Kosovo (pemboman warga serbia).

Tujuan dukungan anglo-american kepada Saudi Arabia adalah menempatkan kembali pemerintahan boneka Amerika dibawah kepemimpinan Presiden Abdrabbuh Mansour Hadi, yang kabur ke Arab Saudi saat ada tekanan mundur dari pemberontak Houthi – yang dituduh oleh pemerintah Amerika sebagai pion Iran, atau mendapat dukungan dari Iran.

Tak masuk akal saat Amerika dengan terang-terangan membantu pemberontak (palsu) di Syria, di saat yg sama Iran sendiri tidak diperbolehkan membantu Houthi di Yaman untuk memperjuangkan negaranya. Tidak seperti pemberontak palsu di Syria beserta 80% gerombolan aliansi asing Daesh dan Al-Qaeda yg menyerbu negara berdaulat Syria dari tahun 2011.

Kemunafikan kerajaan, ibaratnya: disatu sisi mendukung pemberontak, disisi lain mendukung pemerintah yang sah.

Karena alasan – dukungan Iran –  Saudi memblokade pangkalan udara dan pelabuhan di Yaman untuk memeriksa arus pengiriman senjata dari Iran kepada pemberontak, memperparah keadaan perang lewat sanksi ekonomi – taktik mengepung Iran yang parah karena jumlah korban terbesar adalah penduduk sipil. Namun hal tersebut tampaknya bisa dimaafkan atas nama, perang melawan teror.

Seperti yang kita lihat, blokade juga menyebabkan kehancuran luar biasa, karena menyangkut aliran makanan, obat-obatan, dan kebutuhan kesehatan lainnya.

Beberapa pengamat perang yang jujur menyatakan bahwa perang di Yaman adalah adalah perang strategi yang diprakarsai oleh Amerika saat pemerintahan Obama bekerja sama dengan Inggris sebagai sekutunya lewat Kabinet Cameron, dimana target utama mereka sebenarnya adalah, Iran.

Seperti halnya Irak pada tahun 2003, kemitraan dengan Inggris sangat berharga mengingat pengalaman panjang mereka dalam hal  “pengelolaan” negara bekas koloni seperti Irak dan Yaman, ketika pelabuhan Aden merupakan titik pusat dan paling penting dalam menjalankan bisnis kerajaan Inggris, yang terdiri dari dua pertiga planet ini.

Untuk mengaburkan bukti campur tangan dan agresi militer Amerika dan sekutunya, mereka mengklaim bahwa Iran-lah biang kekacauan.

Penasehat keamanan nasional di era Trump, menegaskan hal tersebut di bulan Januari:

“Mulai hari ini, Iran menjadi akan menjadi perhatian kita.”

Sialnya, Yaman menjadi negara tumbal karena secara geografis terletak diantara Iran dan kepentingan barat, dibom, terkena sanksi ekonomi, mata uangnya jatuh – taktik perang abad pertengahan.

Sejak Maret 2015, 3,2 juta orang Yaman telah mengungsi, 13.000 penduduk sipil meninggal dunia (menurut perhitungan PBB), 2 juta anak berhenti sekolah, dan hampir 15 juta orang tidak mendapatkan akses kesehatan.

Oktober tahun lalu, Saudi membom acara pemakaman di Sana’a, menewaskan 114 orang (laporan  lain menyebutkan 140 orang) dan melukai 613 orang dari 750 pelayat dalam hanya satu serangan diantara banyak serangan yang dilancarkan –termasuk pasar dan kamp pengungsi – hal yang mendorong staf ahli PBB mengatakan bahwa Saudi telah melanggar hukum internasional, diantaranya karena Saudi menyerang dua kali, serangan pertama saat bangunan acara pemakaman masih dipenuhi orang-orang yang terluka, dilanjutkan dengan serangan kedua membunuh orang-orang terluka dan orang-orang yang akan menyelamatkan.

Pada bulan Maret, serangan udara Saudi menewaskan 40 orang pengungsi Somalia didalam perahu, saat mereka akan mengungsi dari negaranya yang sudah hancur. Baru-baru ini sebuah pasar di perbatasan Saudi diserang, dan menewaskan 6 anak kecil.

Serangan udara Saudi telah menghancurkan sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur vital seperti jaringan listrik dan persediaan air. Semua kejahatan klasik terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.

King Salman Humanitarian Aid and Relief Centre (KS Relief), yang didirikan oleh Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud pada tahun 2015, mengklaim dengan pasti bahwa Arab Saudi “tidak berniat membunuh warga sipil.” Sebaliknya, mereka berniat untuk “mengembalikan hak orang Yaman yang telah direnggut paksa” oleh pemberontak Houthi.

KS Relief bahkan telah menyewa perusahaan Humas dari Inggris untuk membantu meyakinkan Yaman dengan “kami disini untuk membantu” lewat bantuan kemanusiaan. Memang, KS Relief telah mengucurkan dana lebih dari 3 miliar dollar untuk membantu Yaman. Keangkuhan Saudi sebagai “penyumbang bantuan terbesar untuk kemanusiaan dan pembangunan di Yaman”.

Namun faktanya, walaupun Saudi menyangkalnya, bantuan tersebut disalurkan melalui berbagai macam syarat, termasuk memakai organisasi-organisasi di PBB, serta kerahasiaan mengenai siapa, dimana, dan kapan bantuan tersebut diberikan. Bagaimanapun juga kampanye untuk “hati dan pikiran” di Yaman, terdengar sama anehnya dengan dulu perang Amerika di Vietnam. Bom dulu, obati kemudian.

Andrew Smith, dari The British Campaign Against Arms Trade (CAAT), mengatakan kepada surat kabar The Independent, mengenai rencana bantuan sumbangan Saudi kepada Yaman.

“Setiap sumbangan untuk membantu orang harusnya disambut, namun hal terbaik yang bisa dilakukan rezim Saudi untuk penduduk Yaman adalah berhenti membom secara membabi buta yang telah menewaskan ribuan orang serta membuat jutaan orang kelaparan.”

Dari 27 juta orang di Yaman, 20 juta orangnya mengalami kekurangan makanan, atau kelaparan. Mengutip dari data statistik PBB dan Organisasi lain nya, Wael Ibrahim mengatakan:

“Seiring berjalan nya konflik, saya melihat semakin banyak kemiskinan. Ada 20 juta orang membutuhkan bantuan dalam populasi 27 juta orang. Saya telah melihat kondisi menyerupai kelaparan seperti anak-anak dengan garis-garis merah di rambut mereka – tanda kekurangan nutrisi, dan jumlah orang yang banyak di pusat pemberian makanan.”

Namun, kita hampir tidak mendengar sama sekali desakan protes dari orang-orang yang biasanya paling vokal menyuarakan Hak Asasi Manusia ­– termasuk radikalis kiri – yang biasanya menentang kebijakan Barat dalam hal pendudukan dan perubahan rezim.

Tanda tanya besar mengapa banyak petinggi negara tidak menginstruksikan media untuk meliput kejahatan kemanusiaan di Yaman, seperti halnya liputan di Libya dan Syria untuk menutupi maksud mereka. Tidak bisakah mereka menemukan sosok “Iblis” untuk membangkitkan kemarahan orang luar? Suatu etis tertentu, yang Hak Asasi nya dilanggar oleh si “Iblis”? Kenapa perang di Yaman tampak seperti dipandang sebelah mata?

Maafkan kesinisan saya, namun ketiadaan pembenaran instrumental rasanya seperti hantu yang menolak bertugas untuk menghantui. Mungkin, ada hal terlalu memalukan untuk dikonsumsi publik. Mungkin ada suatu aliansi yang bakal dirugikan.

Mungkin.

Industri senjata Amerika dan Inggris mejadi pihak yang diuntungkan dari perang di Yaman – pastinya, tidak diragukan lagi. Termasuk NATO dan sekutunya. Pemerintahan Obama memenangkan penjualan senjata terbanyak di dunia senilai 200 miliar dollar dalam kurun waktu 8 tahun. Rekor penjualan senjata terbanyak semenjak Perang Dunia II, lebih dari 100 miliar dollar untuk penjualan ke Saudi saja.

Pemerintahan Trump pun menampakkan secara vulgar persekutuan mereka dengan kerajaan satraps. Pada bulan Juni, Senat di Amerika mengabulkan (57 setuju, 47 menentang) penjualan senjata di bulan April senilai 110 miliar dollar kepada Riyadh: 550 juta dolar untuk pembelian peluru kendali.

Industri perang Inggris meningkat pesat di atas penderitaan warga Yaman. Menurut laporan British Campaign Against Arms Trade (CAAT) pada The Independent di bulan Juli:

“Inggris telah menyetujui penjualan senjata senilai £ 3,3 miliar euro kepada Arab Saudi. Saat ini, Inggris memproduksi jet tempur yang diterbangkan oleh personil milter inggris yang sudah terlatih dan menjatuhkan bom buatan inggris kepada penduduk Yaman. Inggis bukan hanya jadi penonton di perang,namun juga ikut berpartisipasi secara aktif.”

“Kawan dalam kejahatan” akan lebih akurat: seperti yang disebutkan, pemerintah Inggris melatih Angkatan Udara Saudi untuk melakukan serangan udara ke Yaman, pada saat yang sama Theresa May memegang sebuah laporan – studi tentang hubungan Riyadh dengan ekstremisme. Pilot Saudi dilatih untuk menjatuhkan bom curah, “tepatnya” secara teori, dibuat dan dijual oleh Inggris. Bom cluster adalah WMD jika digunakan di pusat-pusat sipil. Mereka hanya untuk melukai dan membunuh tentara musuh. Keindahan perang baru-baru ini adalah bahwa “tentara” telah menjadi konsep yang samar-samar. Jadi, apapun bisa terjadi.

Dalam beberapa hari terakhir, Pengadilan Tinggi Inggris menolak permintaan CAAT, yang menyerukan penghentian penjualan senjata ke Arab Saudi untuk digunakan di Yaman, “Sambil menunggu ulasan [yudisial] mengenai apakah penjualan tersebut sesuai dengan undang-undang ekspor senjata Inggris dan negara-negara eropa” seperti yang ditulis oleh Andrew Smith untuk CAAT di The Independent, setelah penolakan tersebut.

Rupanya penjualan peralatan senjata dan militer ke Arab Saudi – pesawat terbang, helikopter, drone, bom cluster, dan rudal – semuanya melanggar hukum Inggris dan Uni Eropa, jika tidak, mengapa pengadilan menolak permintaan untuk melakukan Judicial Review terhadap praktik pemerintah?

Dengan tidak adanya semangat tulus lembaga di barat akan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, ini yang harus kita catat saat kita dipengaruhi oleh media haus darah untuk mendukung perang salib palsu dan hak asasi manusia di dunia yang tebang pilih oleh tentara bayaran paladin dan tak berperasaan.

Sebenarnya, dua pertiga orang Inggris menentang penjualan senjata ke Arab Saudi. Dalam sebuah wawancara dengan Al-Jazeera inggris, Jeremy Corbyn setuju dengan mayoritas, dengan menyebut intervensi petro-monarki di Yaman “sebuah invasi”.

Di saat kejahatan di Yaman diabaikan oleh media atas dukungan pemerintah secara diam-diam, pengaruhnya memuncak. Wabah kolera menelan banyak korban jiwa. Tiap satu jam satu orang sekarat akibat penyakit yang ditularkan melalui air. Wael Ibrahim menulis dalam tulisan pribadinya:

“Ini adalah kondisi mengerikan yang menyebabkan wabah kolera di Yaman – seharusnya saya tahu, karena saya tinggal di sini. Ada sebuah parit yang sangat kotor di jalanan Sana’a. Mengemudi di dekat bandara, saya tidak bisa bernapas karena bau busuknya.”

Situasi mengerikan ini mengingatkan kita pada apa yang terjadi di Iraq pada tahun 90’an. Di bawah sanksi ekonomi yang dilakukan selama hampir 13 tahun oleh  rezim Bush senior lalu dilanjutkan oleh Bill Clinton.

Setelah mengebom instalasi pasokan air Irak selama Perang Teluk, AS secara efektif (dan mungkin sengaja) meracuni air dengan melarang pemurnian air memakai klorin. Seperti yang kita tahu, akhirnya 500.000 anak di bawah usia lima tahun meninggal.

Menteri Luar Negeri era Clinton, Madeleine Albright, mengaku di CBS bahwa kematian tersebut “layak dilakukan.” Sanksi terhadap Irak telah dilakukan pada 6 Agustus, di bulan dan hari yang sama dengan pemboman nuklir Hiroshima tahun 1945, dan banyak yang mengingat ini sebagai kebetulan yang sadis, menyebut kejadian ini sebagai bom Hiroshima kedua – kali ini terjadi di Irak.

Infeksi kolera, ditandai dengan diare hebat, disebabkan oleh konsumsi air yang terkontaminasi oleh kotoran. Wabah di Yaman pertama kali terjadi pada bulan Oktober 2016, namun penyebarannya antara bulan April dan Juni 2017. Menurut WHO, 300.000 orang Yaman sudah terinfeksi. 1.500 orang telah meninggal, 55% di antaranya anak-anak. Rumah sakit penuh dengan pasien yang terkena gejalanya. Air bersih, sanitasi, dan perawatan kesehatan – sarana untuk menghentikan epidemi – sangat langka.

Dan belum ada yang bertanya, “Apakah itu layak?” Mungkin pertanyaannya akan muncul kemudian, saat jumlah orang meninggal tidak mempengaruhi kemajuan kejahatan kasat mata tersebut, yang secara umum dikenal sebagai “kebijakan luar negeri” Amerika Serikat di “Timur Tengah”, sebuah peta abstrak ke perencanaan-bukan wilayah di mana orang tinggal dan akan menderita sebagai imbasnya.

Bagaimana dengan saya? Oh, saya beralih ke literatur saat terdiam mendengar kengerian semuanya. Siapa yang lebih baik dari Sartre? Tanpa elipsis, disintesis, dari perjalanan panjang dalam novel pertamanya, Nausea:

“Rasa mual tidak ada dalam diri saya. Aku merasakannya di luar sana. Saya berada di dalamnya. Aku merasakannya di dinding, di dalam centelan, di mana-mana di sekitarku. Seekor monster? Sebuah karapas raksasa tenggelam dalam lumpur? Selusin cakar atau sirip bergerak dalam lendir? Monster itu bangkit. Di dasar kedalaman air. “

Luciana Bohne
https://www.counterpunch.org/2017/07/14/yemen-the-war-that-isnt-happening-even-as-its-happening/