Sudah banyak pembicaraan dan spekulasi terkait tujuan sesungguhnya kunjungan Trump ke Arab Saudi. Jurnalis senior, analis Timur Tengah, Robert Fisk, memandang kunjungan itu adalah upaya mewujudkan kekuatan NATO dengan style Sunni untuk hadapi ekspansi Iran. Fisk juga berspekulasi mengenai dana dan hasil lanjutan dari kunjungan tersebut.

Meski harga komoditas minyak mentah jatuh dalam 2-3 tahun belakangan, al-Saud tidaklah kekurangan pundi uang, walau defisit anggaran Saudi semakin bengkak. Riyadh diperkirakan miliki dana cadangan sekitar tiga perempat triliun dolar, jumlah yang fantastis jika dibandingkan ukuran negara dan jumlah penduduk.

Informasi beredar, Al Saud menginvestasikan sejumlah besar dananya pada negara Paman Sam, aliran pertama adalah investasi Riyadh sekitar 100 miliar dolar pada sektor properti USA beberapa waktu lalu.

Dalam kunjungan Trump, Saudi menyegel kontrak pembelian senjata dengan nilai nyaris 100 miliar dolar. Dua kesepakatan itu saja, al-Saud telah menginjeksikan dana 200 miliar dolar pada ekonomi Amerika, namun tentu saja terlihat kecil, hanya 1 persen dari total beban utang USA yang capai 20 triliun dolar.

Meski kecil dibanding beban utang, namun secara aktual injeksi dana Saudi jelas dapat menciptakan lapangan kerja di Amerika Serikat. Dana yang dibutuhkan Trump untuk menepati janji lapangan kerja saat kampanyenya.

Sejauh ini, setelah empat bulan pelantikannya, hal yang dapat diprediksi adalah sikapnya yang tak dapat diduga. Dengan semua manuver eksentriknya, apa alasan pendekatan Trump ke rumah Al Saud? Untuk memahaminya tentu perlu mengikuti rangkaian peristiwa sebelumnya.

Tentu saja AS memiliki banyak kepentingan strategis terhadap Saudi, diantaranya, mempertahankan keberadaan jangka panjang Israel, mengantisipasi pengaruh Rusia – Iran di kawasan teluk, berbagi tugas memerangi Suriah, dan yang fundamental adalah menjamin kebutuhan energinya melalui kontrol minyak Saudi.

Satu dari janji kampanye Trump adalah bahwa sekutu Amerika Serikat harus membayar atas setiap bantuan. Ia bahkan dalam beberapa kesempatan menyebut bahwa melindungi Saudi sangatlah mahal, dan al-Saud harus membayar untuk itu.

Tentu saja pernyataan Trump membuat monarki Saudi cukup pusing, apalagi Riyadh memang sedang bermasalah finansial serta harus berhadapan realita mahalnya ongkos kampanye perangnya pada Yaman yang tak menunjukkan tanda kemenangan.

Apalagi, Saudi percaya bahwa mantan presiden Obama telah mengecewakan mereka dengan tidak melakukan invasi ke Suriah paska dugaan serangan senjata kimia di Timur Ghouta pada Agustus 2013. Karakter labil Trump menambah kegundahan, dan Saudi bersiap pada hubungan terburuk.

Saudi sadar bahwa mereka Saat ini sedang dalam masalah yang sangat pelik dan membutuhkan bantuan Amerika Serikat lebih dari sebelumnya. Riyadh begitu gusar tentang kesepakatan nuklir Iran, Riyadh butuh pendekatan pada Trump, namun caranya? Setelah menyimak seksama pernyataan Trump sebelumnya, Saudi sadar pendekatan terbaik adalah uang, al-Saud membujuk Trump dengan seperempat triliun dolar.

Menggunakan teknik buku cek gemuk memang sudah menjadi kebiasaan Al Saud, mereka terbiasa menyelesaikan masalah dengan uang. Dan sekarang, Saudi percaya bahwa mereka telah membentuk era aliansi militer strategis dengan Amerika Serikat, membayar keunggulan ini dengan injeksi dolar.

Namun, apa yang tak dipahami al-Saud adalah mengira dirinya mencapai mimpi besar sebagai superpower kawasan teluk dengan aliansi USA, sementara bagi Trump, ini hanyalah kesepakatan bisnis, kontrak jual, tidak lebih.

Bagi Trump ini adalah situasi win-win, bila militer Saudi kuat dan dapat menundukkan pengaruh Iran, Trump berjaya dengan tangan bersih tanpa harus berhadapan dengan Iran. Sementara jika Saudi berjudi memilih perangi langsung Iran dan kalah, Amerika Serikat telah menerima uang muka seperempat triliun dolar.

Secara realistis, berapa peluang Saudi menang jika lakukan kampanye perang terbuka terhadap Iran? Apakah mungkin perang? Kita jawab saja belakangan.

Menyuplai persenjataan di kawasan tak stabil, pada rezim yang miliki rekam jejak buruk, adalah perbuatan tak bertanggungjawab, ibarat menyiram minyak pada kobaran api. Kesepakatan penjualan senjata oleh Trump pada Al Saud merupakan titik rendah sejarah Amerika Serikat.

Seharusnya USA menghargai kesepakatan pembatasan nuklir Iran, menjadi penengah, membawa Saudi-Iran duduk satu meja untuk merundingkan rekonsiliasi. Sebaliknya, perang atas teror Trump malah menyuplai senjata pada inti dan pusat terorisme (Arab Saudi), yang dipastikan berujung pada eskalasi lebih mematikan.

Setelah ratusan tahun tanpa perseteruan sektarian kawasan yang berarti antara Sunni-Syiah, tampaknya era tersebut akan berakhir, dengan aliansi USA bekingi Sunni, sementara Rusia mendukung Syiah.

Dikatakan bahwa ‘pasukan Sunni’ terkuat adalah Turki, miliki peran sebagai Sunni-nya NATO. Namun bagi Turki ancaman separatis Kurdi lebih nyata ketimbang Iran, dan tentunya Turki akan keluar aliansi jika dipaksa ikuti opsi mendukung dan memberikan bantuan pada Kurdi.

Tanpa Turki, aliansi Sunni NATO hanyalah macan ompong, kecuali dan hanya kecuali, jika aliansi impian itu mendapat dukungan dari Israel, dukungan yang tak mungkin didapat dari Amerika Serikat. Seperti serangan udara, informasi intelijen. Seberapa banyak bantuan yang akan diberikan Israel? Seberapa jauh sebelum Putin campur tangan menghentikan Netanyahu? Dan terutama bagaimana Sunni NATO menjual ide aliansi, dengan Israel menjadi bagiannya?

Problemnya adalah saat ini Saudi merasa mendapat angin dari Trump untuk menyerang Iran, dan jika al-Saud terpancing, maka sangat bodohlah mereka untuk berjudi. Tentunya, Saudi harus menyelesaikan misi Yaman terlebih dahulu, kemudian mengkalibrasi ulang, menganalisa salah kalkulasi apa yang disebut Operasi Badai Penentuan itu. Karena buktinya operasi dua tahun itu tidaklah mulus, jauh dari kemenangan, sementara Yaman sendiri telah perbaiki kemampuan misilnya, bahkan berhasil menyasar target ibukota Riyadh.

Itu sebabnya Saudi memohon Amerika Serikat menjual persenjataan yang lebih canggih untuk memenangkan peperangan Yaman, berbeda dengan Yaman yang mengembangkan senjatanya sendiri. Meski begitu Saudi selalu percaya semua masalah dapat diselesaikan dengan pengeluaran nominal.

Saudi tak hanya harus evaluasi ulang strategi perangnya di Yaman, tapi mereka juga harus mengevaluasi kemampuan finansial. Tak ada yang tahu persis jumlah dolar yang telah dihabiskan Saudi, namun mereka telah defisit anggaran sekitar 90 miliar dolar dan terus membengkak. Menjudikan sepertiga dana cadangan untuk perang hadapi Iran adalah bunuh diri secara militer dan finansial.

Berapa biaya untuk Saudi menang perangi Iran?

Jika salah hitung biaya seperti Operasi Badai Penentuan, persenjataan senilai 100 miliar dolar buktinya tidak cukup unggul dan belum mampu menundukkan Yaman. Seberapa jauh kesiapan Saudi? Hanya butuh 3-4 kali defisit dan pembelian senjata maka Saudi akan kehabisan dana cadangan. Pengeluaran terlalu besar dalam perang adalah tidak lumrah, Yaman dan Suriah merupakan bukti hidup pengeluaran tersebut, seharusnya Saudi belajar.

Perangi Iran memang pilihan terakhir Saudi, kecuali Monarki itu mengubah retorikanya dan berupaya mencari jalan rekonsiliasi dengan tetangga Syiah-nya, Iran. Jika tidak, hanya opsi perjudian perang yang dimiliki Saudi.

Dasar dari aksi militer adalah pragmatisme militer. Bagaimana Saudi dapat berpikir menginvasi dan menundukkan Iran jika mereka nyatanya belum bisa mengalahkan negara yang kelaparan dan terkepung, Yaman? Kemungkinannya Saudi dapat melakukan serangan kejut pada Iran, namun Iran memiliki kemampuan balas di Selat Hormuz yang dapat menargetkan ladang produksi minyak. Singkatnya, perang atas Yaman sudah cukup mahal, tapi perang atas Iran akan jauh lebih mahal, dan dapat memotong kehidupan Saudi, yakni pendapatan minyaknya.

Apakah Saudi percaya perangkat militer impor dapat memberi keunggulan yang mereka butuhkan? Bila mengenal Trump, ia akan menunggu Saudi berlutut dan memohon, kemudian menaikkan harga untuk senjata super, kemungkinannya bahkan A-Bomb, yang jelas memberi Saudi keunggulan. Namun melihat tipikal Saudi-Iran, ini jelas perang badai penentuan.

Apakah Iran pada akhirnya mendatangi daratan Saudi? Tak dapat dibayangkan skenario tersebut. Sementara USA tentunya akan terus menyuplai senjata selama masih ada susu sapi untuk diperah, selama masih ada sesuatu yang dapat diuangkan. Selama al-Saud terus pegang kendali Saudi, kerajaan tersebut akan terus berjalan dengan arogansi, yang tidak akan berhenti sampai warisan jahat itu jatuh dan musnah.

Ghassan Kadi
http://thesaker.is/al-sauds-only-gamble-option/