“Kami tak bisa membiarkan harapan Sistani tak menjadi kenyataan,” ujar Abu Yahia.
Sabih al Hajj Abu Yahia dari Basrah, merupakan pendiri Brigade Zeinab Akile, yang menjadi bagian dari Hashd al Shaabi.
Setelah mengeluarkan fatwa, Ayatullah Ali Sistani menggerakkan milisi setelah jatuhnya Mosul ke tangan Daesh pada Juni 2014, dan gerakan ini berhasil menghentikan perluasan wilayah Daesh ke Baghdad.
Dengan kekuatan sekitar 120.000 personil, Hashd al Shaabi atau lebih dikenal dengan Popular Mobilization Unit (PMU) telah diakui secara resmi dan berada di bawah Kementerian Dalam Negeri Iraq.
Meski didominasi muslim bermazhab Syiah, PMU juga diperkuat oleh pejuang Sunni dan Nasrani. Sosok pejuang PMU mudah ditemukan sepanjang jalan dari Karbala, Najaf, Samarra, Tikrit hingga Baiji.
Mosleh menolak untuk membedakan pejuang Sunni dan Syiah. Ia mengatakan bahwa 1.200 dari serdadunya, merupakan pejuang muslim bermazhab Sunni.
Serdadu Hashd al Shaabi umumnya merasa tersinggung jika ditanya tentang bantuan Iran dan keterlibatan Qassem Soleimani, komandan Tentara Quds milik Iran.
“Kami tak memperoleh apa-apa dari Iran. Mereka mengundang kami ke Iran, dan kami datang dan berdiskusi. Soleimani pernah menjadi penasehat kami, tapi itu dulu. Senjata dan biaya pengeluaran pejuang kami ditanggung oleh pemerintah Iraq,” terang Abu Yahia.
Kassem Mosleh, komandan Brigade Ali al Akbar juga menyatakan hal senada.
“Qasem Soleimani bertindak sebagai penasehat, ia menyampaikan pandangannya tapi tak punya andil di lapangan. Aku tak pernah menerima sedikit pun bantuan dari Iran. Iraq mampu membeli senjata sendiri,” ujar Kassem.
“Kini pengeluaran kami ditanggung oleh pemerintah dan makam Imam Hussein. Dari 5.000 pejuang di bawah komandoku, 3.200 diantaranya kini memiliki gaji bulanan sekitar US $800,” sambungnya.
Mosleh menolak untuk membedakan pejuang Sunni dan Syiah. Ia mengatakan bahwa 1.200 dari serdadunya, merupakan pejuang muslim bermazhab Sunni.
“Kami bukan kepanjangan tangan partai. Ribuan Sunni berperang di sisi kami. Banyak suku Sunni yang ingin bergabung dengan kami, namun dicegah Amerika dengan iming-iming senjata. Suku Jubur, Shammar dan Azze mengatakan mereka akan berjalan kaki hingga Mosul untuk bertempur bersama kami, tapi Amerika melarang mereka. AS hanya akan memberi mereka senjata jika mereka tak bergabung dengan kami (Hashd al Shaabi),” terang Kassem.
Warga Iraq dikenal memiliki rasa tidak percaya yang sedemikian dalam terhadap Amerika Serikat. Mosleh termasuk salah satu orang yang percaya AS sedang bermain di kedua kubu. Rakyat Iraq sendiri menghendaki bantuan Rusia, namun Perdana Menteri Haider al Abadi dinilai tak mampu menyuarakan aspirasi mereka.
“Turki juga menjadi pembantu Daesh. Suatu hari mereka akan menyesalinya. Mereka menyerahkan konsulat mereka di Mosul begitu saja. Ini semua permainan, dan Iraq menderita karenanya. Satu lagi, berita bahwa Massoud Barzani ikut berperang melawan Daesh adalah bohong semata,” ujarnya berapi-api.
“Setelah Daesh merebut kota Salahuddin, Ramadi dan Mosul, mereka langsung menuju Baghdad. Dengan fatwa dari Sistani, rencana mereka berantakan. Ini pelajaran yang bagus bagi Amerika dan Sekutu. Fatwa Sistani tak hanya untuk Syiah. Sistani mengatakan, ‘Sunni tak hanya saudara kita, namun juga darah kita'”, tambah Ali Hamdani, komandan garis depan dari Brigade Ali al Akbar.
Menurut Hamdani, Daesh sudah kehilangan banyak dukungan dari suku-suku Sunni di Iraq, meski masih ada beberapa suku yang terpaksa bertahan dengan gerombolan teror itu. Ia juga menegaskan bahwa ketakutan Turki jika Mosul dimasuki Syiah adalah omong kosong.
“Pertama, itu tidak faktual. Hashd al Shaabi bukanlah milisi Syiah, tapi kami adalah kekuatan untuk mempertahankan Iraq. Turki adalah negara nomer satu pendukung Daesh. Pejuang Sunni bertarung bersama kami di garis depan. Turki dan AS mengatakan bahwa kami tak mungkin merebut Salahuddin, tapi lihat hasilnya hari ini,” tambah Ali.
Mungkin ada beberapa penjarahan, tapi mereka tak mewakili Hashd al Shaabi. Kami tak akan membiarkan orang-orang seperti itu bersama kami.
Sementara itu, Hussein Ali Abdullah, pimpinan suku Jubur, sepenuhnya setuju dengan apa yang dikatakan Ali Hamdani.
“Setelah fatwa Sistani, aku bergabung dengan Brigade Ali al Akbar bersama empat putraku. Ada sekitar 500 pejuang Sunni dalam unitku. Kami juga mempunyai pejuang dari suku Shammar dan Kaysi. Bersama-sama, kami-lah yang menyerang pusat kota Salahuddin. Sunni, Syiah dan Kristen Iraq semuanya bersatu. Insya Allah, kami akan menghancurkan Daesh,” ujar Hussein.
Hussein menolak tegas tuduhan bahwa ada pembersihan Sunni oleh pejuang Syiah.
“Tidak, Hashd al Shaabi sangat menjunjung tinggi etika. Mereka melindungi dan menolong warga serta mempertahankan harta benda mereka. Dengan usaha Brigade Ali al Akbar, sistem air dan listrik telah diperbaiki dan sekolah kembali dibuka. Ada yang menuduh kami menjarah. Lihat gedung yang kami gunakan ini. Sebelum kami menggunakannya, kami mencari pemiliknya dan meminta ijin. Mungkin ada beberapa penjarahan, tapi mereka tak mewakili Hashd al Shaabi. Kami tak akan membiarkan orang-orang seperti itu bersama kami.”
Menurut Hussein, ada sekitar 500 pejuang Sunni di tiap Brigade Badr dan Asa’in Ahl al Haq. Bahkan di Brigade Salahuddin, terdapat 2.500 pejuang Sunni. Di Anbar, beberapa suku setempat turut bergabung dengan Hashd al Shaabi.
“Memang benar, ada beberapa suku yang memberi dukungan kepada Daesh karena mereka ingin menumbangkan pemerintahan Nouri al Maliki. Mereka berpikir bahwa langkah ini akan mengakhiri penderitaan mereka. Tapi mereka kini menyadari bahwa Daesh mengambil-alih harta benda mereka, meledakkan tempat ibadah mereka, dan membuat hidup mereka semakin menderita. Mereka sepenuhnya sadar sekarang,” terang Hussein.
Di akhir wawancara, Hussein menitipkan pesan untuk Turki. Ia mengatakan, “Kalian tak boleh lagi membeli minyak dari Daesh, meski harganya murah. Jika Iraq sudah stabil dan merdeka, kami akan memberi kalian minyak gratis. Daesh menjual minyak seharga $10 per barrel dan membawanya ke Turki. Dulu, warga Turki biasa melalui wilayah kami untuk berhaji, dan kami biasa menjamu mereka. Kami sebenarnya satu bangsa. Dan demi masa lampau yang penuh kejayaan, kami meminta warga Turki untuk mendukung kami.”
Ada juga salah satu faktor yang kurang diperhitungkan, namun menjadi elemen penting di Hashd al Shaabi, yakni milisi Kristen. Dari 1.5 juta umat Kristen di Iraq pada 2003, kini hanya tinggal 400.000 orang yang tersisa.
Setelah jatuhnya Mosul, mereka mengungsi dari daerah itu. Kini mereka membentuk Brigade Babylon, yang juga menjadi bagian dalam Hashd al Shaabi.
Kapten ‘Johnny’ salah satu komandan Brigade Babylon, sebenarnya adalah supir truk. “Aku datang dari Tel Keppe, dekat Mosul. Menyusul fatwa Sistani, kami mengadakan pertemuan dengan pemimpin kami, Rayan al Kildani, dan memutuskan untuk membentuk pasukan sendiri, dan ada sekitar 1.200 orang yang bergabung. Kami membuat markas di Gunung Hamrin dan Speicher. Kami memperolah senjata dari Hashd al Shaabi.”
“Kami sudah bertemu dengan Qassem Soleimani, namun aku tak bisa mengatakan apa yang kami bicarakan. Aku percaya padamu, tapi jangan mencari Iran di balik segala sesuatu. Kami tak memperoleh bantuan dari Iran. Iraq membeli senjata dengan uangnya sendiri dan membagikannya kepada kami. Warga mendukung kami, dan sebagian besar bantuan yang kami dapat adalah dari Haram (makam Imam Ali). Jika Iran membantu, kami dengan senang hati akan menerimanya,” jelasnya.
Soal hubungan dengan brigade lain, Johnny mengatakan, “Kami bertempur bahu-membahu dengan pejuang Syiah. Tak ada Syiah yang tinggal di Tikrit dan Baiji, namun mereka mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan kota itu dari Daesh. Kami tak membedakan Sunni-Syiah atau Muslim-Kristen. Kami adalah satu Iraq,” pungkasnya.
http://www.al-monitor.com/pulse/originals/2016/01/turkey-iraq-three-commanders-three-faiths.html