Saat Anda menyangka krisis di timur tengah dan afrika utara tak bisa lebih kacau lagi, kali ini dua raksasa sedang beradu tanduk atas ambisi geopolitik, atau, lebih tepatnya, Saudi Arabia saat ini mungkin kelewatan dalam hubungannya dengan Mesir.

Dengan begitu banyak mata yang tertuju di Aleppo, perseteruan Kairo dan Riyadh menjadi lepas dari perhatian, dan dianggap sangat tidak penting jika dibandingkan dengan kehebohan di Syria.

Tanpa mengurangi pencapaian tentara Syria melawan teroris di Aleppo – kemenangan yang kita tahu akan merubah arah perang, dan menegaskan posisi Syria sebagai pilar perlawanan dengan imperialisme tersembunyi ala Barat – kemarahan Mesir atas Saudi Arabia bisa memicu perubahan politik secara tektonik yang bisa mengakhiri monarki-monarki di jazirah. Seolah, arwah Presiden Gamal Abdel Nasser kini kembali untuk menghantui istana-istana emas di Riyadh.

Katakan saja puitis, namun arogansi yang semakin tinggi dari Saudi Arabia merupakan sebuah ironi, karena setiap langkah yang dilakukan oleh monarki itu dengan tujuan memperluas pengaruhnya, malah semakin membuat negeri itu kehilangan pengaruh.. dan malah mengeringkan simpanan ‘darah’nya.

Ya, tanpa ragu lagi, kerajaan Saudi Arabia masih kaya, namun seperti negara lain, kekuatan utamanya terletak pada kemampuannya untuk memaksa negara lain mengikuti kehendaknya. Dan, sementara Riyadh terus memainkan buku cek seperti memainkan biola, perang di Yaman dan rasa tidak suka yang makin mengental dalam koalisi politik dan militernya telah menghilangkan angin dari kapal politik Saudi.

Sepertinya, para pelobi kerajaan ini terlalu overestimate akan daya tariknya sendiri.

Semua ini bermula pada April 2016, saat Mesir masih berusaha meredakan kekhawatiran Riyadh akan pilihan politik Kairo, yang akan ditukar dengan suntikan dana pada ekonomi Mesir yang sulit. Rayuan Presiden Abdel Fattah el-Sisi pun tak bertahan lama, karena lebih dimotivasi oleh uang ketimbang ideologi.

Dan kekuatan inti Saudi Arabia sangat tergantung pada kekayaannya, bukan pada kemampuannya untuk menginspirasi bangsa lain.

Tapi mari kembali ke Mesir.

Dalam pertukaran dengan kontrak yang menguntungkan dan janji dukungan diplomatik, Mesir setuju untuk mengalihkan sebagian integritas teritorialnya kepada Saudi Arabia, dengan penyerahan dua pulaunya: Tiran dan Sanafir. Pulau-pulau itu terletak di pintu masuk selatan Gurun Aqaba, dimana Israel dan Yordania mengoperasikan dua pelabuhan yang penting. Pulau-pulau ini memiliki nilai geopolitik yang penting, sampai-sampai Tel Aviv pun berniat untuk merebutnya.

Namun warga Mesir kurang menyukai pertukaran ini. Bahkan, berita tentang kesepakatan ini memicu debat sengit atas legalitasnya, terutama karena integritas teritorial Mesir merupakan sandaran bagi konstitusi Mesir.

Dalam kemarahannya di sosial media, Hamdeen Sabahi, mantan calon presiden pada 2014, mencela rencana serah-terima tersebut, mengatakan bahwa kesepakatan ini melanggar Konstitusi Mesir yang dengan jelas melarang penyerahan wilayah kepada negara lain. Dalam ajakannya untuk mengakhiri perjanjian itu, Sabahi menengarai bahwa Riyadh sengaja mengambil manfaat atas kesulitan ekonomi Mesir untuk membangun kekaisarannya.

Mesir begitu marah – sangat marah hingga akhirnya Sisi bersedia agar perjanjian ini direview kembali oleh parlemen. Kesepakatan Saudi ini sudah mati di dalam air sebelum sempat menarik nafas pertamanya.

Insiden ini kini telah berubah menjadi pertengkaran yang panas, dengan masing-masing pihak mengacungkan tinju sebagai bentuk ancaman akan kekuatan masing-masing, jika terus-menerus diprovokasi.

Lalu dimulailah tarian perang.

Pukulan telak pertama terjadi Oktober lalu, saat Mesir memilih untuk berpihak pada Rusia dalam rancangan proposal mengenai Syria kepada Dewan Keamanan PBB, yang kemudian membuat Mesir secara langsung berhadapan dengan Saudi Arabia dan ambisi kerajaan itu untuk menjatuhkan Bashar Assad.

Riyadh membalas November lalu dengan membekukan semua ekspor minyak ke Mesir. Seperti dilaporkan Reuters, Saudi Arabia menghentikan pengiriman minyak yang diatur dalam program bantuan senilai 23 miliar dolar AS .

Perlu dicatat bahwa manuver Riyadh ini diumumkan setelah rumor kunjungan Menteri Perminyakan Mesir, Tarek al-Molla, ke Iran sebagai bagian dari upaya perluasan ekonomi dan sektor energi mulai beredar di media.

Akankah pejabat Mesir akan memutus jalinan awal dengan Iran atas ‘hukuman’ Saudi ini sebenarnya tak terlalu relevan. Yang paling signifikan adalah arah politik jangka panjang, yang kini menempatkan Kairo dan Riyadh dalam posisi berseberangan. Soal Iran, pengalaman telah menunjukkan bahwa setiap manuver yang dilakukan oleh Saudi Arabia, Tehran selalu membalas dengan berkali lipat.

Saat seseorang hanya butuh duduk diam agar semakin kuat, ketidaksabaran seringkali menyebabkan salah perhitungan.

Meski rekonsiliasi dengan Mesir masih memungkinkan, namun manuver terakhir Riyadh di Afrika sepertinya akan memperuncing perseteruan, dan mungkin, membangkitan kemarahan nasional dari Mesir.

Awal Desember ini, berita mulai meluncur dari rencana Saudi Arabia untuk membuka pangkalan militer di Djibouti. Dan Mesir, sangat tidak senang dengan hal ini.

Media The New Arab, mengutip pejabat Mesir yang mengatakan, “Kairo sepenuhnya tak setuju dengan kesepakatan ini karena kami menganggap Djibouti adalah bagian dari kami dan lokasinya sangat penting bagi keamanan nasional Mesir. Langkah ini juga melanggar kode etik yang diterima secara umum di antara negara Arab, karena Djibouti memiliki pengaruh langsung terhadap kapal yang melewati Terusan Suez. Jika Saudi ingin memastikan agar Iran tak mengambil alih wilayah itu, hal ini bisa dipahami – namun, apapun langkah selanjutnya, harus melalui pengawasan dan persetujuan Mesir.”

Sebenarnya apa yang membuat Horn of Africa itu menjadi sangat penting bagi keamanan nasional Mesir? Satu kata: Air.

Perebutan akses sumber air di wilayah itu akan memicu konflik eksistensial yang akan memecah timur tengah dan afrika utara, dan membuka pintu akan radikalisme yang kini marak di Afrika. Seperti Nigeria.

Menurut saya, sikap agresif Saudi Arabia hanya akan memperkuat gerakan perlawanan yang mulai tumbuh di sepanjang timur tengah dan afrika utara, baik dalam segi imperialisme ataupun paham wahabisme.

Hanya waktu yang dibutuhkan pergerakan-pergerakan ini untuk bersatu dan menggulingkan House of Saud, dan efek dominonya yang akan meruntuhkan monarki lainnya..

Catherine Shakdam
https://www.rt.com/op-edge/369928-egypt-saudi-arabia-tiran-sanafir/