Trump tidak suka dibandingkan dengan Obama, tapi kali ini mustahil untuk tidak melihat kesamaannya.

Kedua kandidat tersebut mewakili harapan untuk memisahkan diri dari masa lalu dan bersumpah untuk membalikkan kebijakan gagal dari para pendahulu mereka, dan mereka terpilih di tengah-tengah keputusasaan rakyat Amerika saat itu, entah nyata atau hanya imajinasi.

Mereka memberikan janji-janji dan mengatakan hal-hal yang manis, namun begitu mereka berkuasa, ibarat tong kosong nyaring bunyinya mereka tidak melaksanakan janji-janji mereka tersebut. Obama menjanjikan era baru hubungan dengan dunia Islam, sementara Trump berkata bahwa dia akan melakukan hal yang serupa dengan Rusia.

Namun, keduanya tidak ada yang memenuhi janji kampanye mereka dalam hal hubungan baru ini karena tekanan berat dan intrusif yang mereka hadapi dari militer permanen, intelejen, dan birokrasi diplomatik, atau “deep state” (sebuah organisasi yang disebut-sebut sebagai koordinasi dari orang-orang di dalam dan di luar pemerintahan yang bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan negara tanpa memandang pemimpin resmi; banyak jurnalis dan akademisi mengatakan organisasi ini hanyalah sebuah teori konspirasi – penerjemah).

Pemerintahan Obama akan dicatat dalam sejarah karena mendalangi Revolusi Berwarna yang populer dikenal sebagai “Arab Spring” (dikenal juga sebagai Revolusi Arab; gelombang revolusioner demonstrasi, protes, kerusuhan, kudeta dan perang saudara di Afrika Utara dan Timur Tengah yang dimulai di Tunisia dengan Revolusi Tunisia pada 17 Desember 2010 – penerjemah), sementara tim Trump sudah berhasil menjadi yang paling anti-Rusia yang pernah ada di AS.

Pada saat yang bersamaan, yang muncul di permukaan selama ini adalah apa yang menjadi tindakan mereka yang paling kontroversial, dengan Obama dalam banyak kesempatan memproklamirkan bahwa dia bersedia untuk bernegosiasi dengan Iran dan puncaknya akan membahas perjanjian nuklir, sementara Trump tidak pernah melepaskan kesempatan untuk berkata kepada dunia betapa dia mencintai Israel dan akan melakukan apa saja untuk mendukung kepentingan Israel. Latar belakang inilah yang harus kita ingat saat menerjemahkan dua peristiwa besar yang terjadi di awal minggu ini.

Yang pertama adalah keputusan Komite Olimpiade Internasional (KOI) untuk melarang Rusia ikut serta dalam Olimpiade Musim Dingin 2018, yang menurut dugaan banyak orang disebabkan oleh tekanan “deep state” Amerika pada organisasi tersebut.

Model Perang Hibrid (strategi militer yang mengombinasi perang konvensional, perang ireguler, dan perang dunia maya – penerjemah) ini dirancang untuk membuat kerusakan psikologis maksimal pada populasi Rusia dengan cara mempermalukan mereka secara global.

Keputusan ini jelas membuat banyak orang merasa jijik, tapi reaksi mereka juga menunjukkan bahwa mereka benar-benar percaya pertandingan tersebut memang apolitis, sama seperti Penghargaan Nobel Perdamaian. Bagaimana pun, penggambaran ini tidaklah akurat, tidak peduli seberapa luhurnya cita-cita awalnya.

Olimpiade dan Penghargaan Nobel Perdamaian secara teoritis merupakan perwujudan perdamaian global, harmoni, dan kerja sama, namun pada kenyataannya sering dimanipulasi untuk tujuan pribadi oleh negara-negara Barat yang menjalankan praktik pengaruh disproporsional terhadap aktivitas dan kompetensi pengambilan keputusan mereka.

Bisa dibilang bahwa hal yang sama juga terjadi di PBB – meski pun PBB didirikan di atas pemikiran yang luhur, fakta “politically incorrect” yang ada adalah PBB terkadang tidak berjalan sesuai pemikiran awal karena tidak ada mekanisme pelaksanaan universal untuk memaksa semua pihak untuk menerima keputusan PBB, yang mana biasanya akan diabaikan AS dan Israel sesuka hati mereka.

Hal ini menggiring kita untuk membahas analisis yang ada tentang apa yang baru saja terjadi Rabu kemarin setelah Trump secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.

Tidak seperti skandal Olimpiade yang mengejutkan bagi beberapa orang yang masih percaya tulus akan kemampuan Trump untuk mewujudkan janji kampanyenya untuk memperbaiki hubungan dengan Rusia, mereka tidak lagi bisa pura-pura “lugu” menghadapi kebijakan Trump terhadap Israel.

Slogan Trump “America First” dapat dengan mudah disamakan dengan “Israel First”, seantusias itulah Trump berkampanye demi kepentingan Israel. Ditambah dengan kecurigaan Presiden terhadap PBB, hukum internasional, dan badan-badan dunia secara umum, tidaklah mengejutkan kalau dia bertekad mewujudkan janji kampanyenya untuk mengakui Yerusalem [sebagai ibukota Israel].

Tetap saja, ada sejumlah orang yang beranggapan bahwa Trump tidak akan melakukan hal itu karena mereka selalu memandangnya sebagai sosok presiden yang menciptakan perdamaian, dan sama seperti Obama, mereka memandang sosok yang tidak memiliki pengalaman politik sama sekali ini sebagai lembaran kosong, lembaran yang bisa mereka tulisi semua keinginan mereka.

Melihat ke belakang, tindakan ini tidaklah bijaksana, apa pun penjelasan yang diberikan untuk membenarkan tindakan tersebut pada saat itu. Trump memang mengangkat harapan semua orang bahwa dia akan mereformasi strategi AS menghadapi Rusia, tapi saat dihadapkan dengan urusan Timur Tengah, dia menyatakan blak-blakan apa yang ingin dia capai, terutama berkaitan dengan Israel.

Pada saat saya menulis ramalan Sputnik yang berjudul “Inilah Tampilan dari Kebijakan Luar Negeri Trump” pada 11 November 2016,

“Washington akan selalu melakukan apa pun sekuatnya untuk mempromosikan kepentingan Tel Aviv, dan ini merupakan salah satu konstanta geostrategis yang tampaknya tidak akan pernah berubah dari kebijakan luar negeri Amerika.”

Siapa pun yang punya pemikiran lain tidak memiliki pemahaman yang cukup kuat mengenai hubungan simbiosis AS-Israel, di mana AS mengeksploitasi lokasi geostrategis Israel sebagai pos unipolar di Timur Tengah yang kaya energi sementara Israel menggunakannya sebagai lobi kuat untuk menjamin dukungan militer dan finansial dari AS tidak terputus.

Presiden AS sebelumnya seperti Obama yang bermain-main dengan memanipulasi persepsi publik untuk menggambarkan diri mereka sebagai “pro-Palestina” sebenarnya selama ini hanya melempar bonggol wortel ke Arab Muslim dan mengecoh massa sehingga berpikir, berfantasi, bahwa AS adalah “pihak netral” dalam proses perdamaian Israel-Palestina.

AS tidak pernah dan tidak akan pernah netral, dan apa yang Trump lakukan dengan mengakui Yerusalem hanyalah membuka topeng kebijakan luar negeri Amerika dan menunjukkan wajah aslinya kepada dunia. Bahkan, bisa dikatakan bahwa Trump melakukan sama yang dilakukan oleh “deep state” dalam menekan KOI untuk melarang Rusia ikut serta dalam Olimpiade Musim Dingin mendatang.

Olimpiade tidak netral, sama seperti PBB, atau Penghargaan Nobel Perdamaian dan terutama peran AS dalam proses perdamaian Israel-Palestina, meski pun mengatakan hal yang sebaliknya akan dipandang sebagai “politically incorrect” dan bisa digunakan sebagai landasan pemberian hukuman oleh siapa pun yang terpelatuk karena disonansi kognitif mereka.

Tidak ada seorang pun yang seharusnya merasa bersalah atau minta maaf atas kekesalan mereka sehingga mereka mengekspresikannya terhadap AS atau Trump akibat keputusan KOI atau menyangkut Yerusalem, tapi sebagian alasan kemarahan mereka bisa saja dikarenakan oleh kekecewaan mereka sendiri setelah akhirnya angan-angan dan fantasi mereka dipatahkan melalui cara yang sangat tidak mengenakkan.

Trump mengecewakan banyak orang, terutama pendukungnya di luar negeri, tapi dia juga mewujudkan mimpi banyak orang lainnya yang merindukan hari di mana mereka bisa menyaksikan Rusia ditendang dari Olimpiade dan AS mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, apalagi keduanya terjadi pada minggu yang sama dan tidak peduli keputusan ini tidak adil bagi orang lain.

Peristiwa ini merupakan kenyataan politik yang tidak mengenakkan, tapi banyak orang – terutama di AS – yang membenci Rusia dan mencintai Israel, terlepas dari apakah sikap mereka tersebut timbul sendiri atau karena manipulasi media massa, dan sebagian orang cepat atau lambat harus menerima kenyataan ini, meski pun menyakitkan.

Andrew Korybko
http://theduran.com/the-olympics-and-jerusalem-disillusionment-confirmed/